Damian pemuda urakan, badboy, hobi nonton film blue, dan tidak pernah naik kelas. Bahkan saat usianya 19 tahun ia masih duduk di bangku kelas 1 SMA.
Gwen, siswi beasiswa. la murid pindahan yang secara kebetulan mendapatkan beasiswa untuk masuk ke sekolah milik keluarga Damian. Otaknya yang encer membuat di berkesempatan bersekolah di SMA Praja Nusantara. Namun di hari pertamanya dia harus berurusan dengan Damian, sampai ia harus terjebak menjadi tutor untuk si trouble maker Damian.
Tidak sampai di situ, ketika suatu kejadian membuatnya harus berurusan dengan yang namanya pernikahan muda karena Married by accident bersama Damian. Akan tetapi, pernikahan mereka harus ditutupi dari teman-temannya termasuk pihak sekolah atas permintaan Gwen.
Lalu, bagaimana kisah kedua orang yang selalu ribut dan bermusuhan ini tinggal di satu atap yang sama, dan dalam status pernikahan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Orie Tasya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 14 Kejutan Dari Jessica
"Lepasin, Dam! Ngapain sih lo pakai nyeret gue segala. Sakit tangan gue tahu," sentak Gwen yang kini merasakan nyeri di lengannya.
Damian menyentak tangan Gwen dengan cukup kasar.
Matanya memicing tajam dengan kedua tangan terlipat di depan dada.
"Ngapain lo tadi sama si cowok sok cool itu? Pakai senyum-senyum lagi."
Gwen tak langsung menjawab. Dia menatap Damian yang tidak seperti biasanya. Mungkinkah suaminya ini cemburu? Ah, mana mungkin, mereka tidak saling mencintai. Menikah pun hanya sebuah paksaan.
"Kenapa emangnya, gue 'kan ramah sama semua orang. Emangnya lo suka masang wajah bengis kek penjaga neraka. Noh semua anak takut sama lo. Denger nama lo aja mereka mau pingsan."
Damian tertawa remeh, dan Gwen semakin kesal dengan tingkah Damian. Demi kerang ajaib, kalau bukan karena ia takut beasiswanya dicabut dan ia terancam putus sekolah, ia juga malas menikah dengan pria aneh ini. Meskipun wajahnya sangat tampan, Gwen akui. Tetapi attitude yang dimiliki Damian ini sangat buruk.
"Yah bagus deh mereka takut, biar nggak seenaknya aja sama anak pemilik sekolah."
"Klasik, emang lo pikir ini jaman penjajahan. Bully sana sini, nggak gitu, Dam. Lo bisa buat mental mereka down."
"Bukan urusan gue, sekarang lo jawab deh. Ngapain lo senyam-senyum kek orang sarap sama tuh cowok sok iyes?"
"Kan gue udah bilang, gue itu orangnya ramah dan murah senyum sama orang. Bukan kek lo, suka menebar kebencian di mana-mana."
Lagi-lagi, Damian mendengus kesal. Selalu saja ucapannya mampu dijawab oleh Gwen. Sesungguhnya ia mulai ada rasa aneh ketika pertemuan kedua mereka.
Ingat ya, Damian tidak terjebak love at first sight.
Hatinya mulai jedag jedug saat mereka tidak sengaja ciuman mendadak karena kecerobohan Jason. Mulai saat itu Damian merasa ada yang aneh dengan dirinya. Namun, karena dia itu gengsiannya setinggi gunung himalaya, jadi ia mencoba menahannya.
"Kelewat ramah bisa disangka gila lo, karena senyum-senyum sendiri."
"Apaan sih? Terus maksud lo nyeret gue ke mari itu apa? Lo mau apa? Kalau lo cemburu bilang."
Damian melotot ke arahnya. Namun, Gwen justru tersenyum. Membayangkan aktor China kesayangannya, Linyi. Melotot dengan mimik wajahnya yang imut, bukannya menyeramkan justru menggemaskan. Itu yang membuat tawa Gwen meledak saat ini.
'Muka imut gini, ditakuti satu sekolah. Gila aja yang takut modelan preman manis kek Damian ini.'
"Kenapa lo tertawa?" tanyanya.
"Muka lo kek Barbie, Dam."
"Anjirr! Gue cowok, gue cakep anying!"
Gwen berusaha menahan tawanya agar tidak meledak lagi. Bisa-bisa ia dibunuh Damian di sini.
"Tau kok tau, sorry. Terus tujuan lo nyeret gue ke sini mau ngapain?"
Damian diam, dia sedang mencari alasan yang tepat, agar tak ketahuan jika hatinya merasa tak rela Gwen dekat dengan Axel.
"Gue nyurigain lo."
"Selingkuh?"
"Kagak, njirr. Gue nyurigain lo nyebar pernikahan kita ke temen-temen lo yang sesama rakyat jelata itu. Gue nggak mau gosip pernikahan antara lo sama gue tersebar. Kalau sampai tersebar, dan itu lo yang nyebar. Gue habisin juga lo," ancamnya.
Gwen mendecih, ia ingin berbalik pergi. Menurutnya ini membuang waktu. Padahal ia saja belum makan siang, dan jam istrirahat hampir berakhir. Bisa-bisanya Damian membuang waktu berharganya.
Dia sudah berbalik, dan akan berjalan kembali ke kantin, sebelum lengannya kembali ditahan oleh Damian.
"Woy, mau ke mau lo? Mau kabur? Kagak ada, jawab dulu tuh pertanyaan. Lo mau nyebarin berita pernikahan lo sama gue?"
Terdengar decihan samar dari bibir si pemilik nama lengkap Mariana Gwen Axelir. Gadis itu lantas berbalik, hanya untuk memberikan tatapan tajam pada Damian.
"Buat apa gue nyebarin berita pernikahan lo sama gue. Unfaedah banget tau. Lo pikir gue mau nyebar berita itu, apa untungnya sama gue. Malah gue bisa rugi."
"Kali aja lo kesenengan bisa nikah sama gue, makannya mau lo sebarin tuh berita, biar lo terkenal karena berhasil jadi istri seorang Damian Alexander Pranata."
Jengah, Gwen benar-benar jengah saat ini. Ia terkekeh kesal. "Damian Alexander Pranata, dengerin gue baik-baik. Nggak ada itu bukunya gue harus seneng nikah sama lo. Gue itu kepaksa tahu, nggak? Gue masih mikirin pendidikan gue, gue nggak mau beasiswa gue dicabut, paham. Lagipula lo hampir ngelecehin gue tempo hari. Ya gue terima lah tawaran Bu Jessica buat nikah sama lo. Gue cuma takut lo bakal ngelakuin hal sama lagi karena lo masih dendam sama gue. Seenggaknya kalau gue udah nikah sama lo, lo ada tanggung jawabnya kalau lo khilaf lagi. Sampai di sini, paham? Kalau nggak paham berarti lo beneran bego."
Damian kesal, namun ia tak bisa mencegah ketika Gwen pergi dari taman belakang sekolah yang terkenal angker itu.
"Anjirr banget sih. Gue itu sebenarnya kenapa, mana jantung gue jedag jedug mulu lagi kalau deket sama tuh cewek, nggak bisa diginiin gue. Mesti gue bawa ke paranormal sakti nih, apa penyebab dada gue clubing tiap ketemu tuh cewek. Jangan-jangan dia nyebar ilmu pelet lagi," gumamnya frustasi sembari mengacak kasar rambutnya.
***
Bel pulang sekolah berbunyi nyaring. Gwen baru saja membereskan alat sekolahnya saat ponselnya berbunyi.
Ia buru-buru mengecek benda persegi panjang itu yang ia berada di dalam tas.
"Telepon dari siapa, Gwen?" tanya Jane, karena gadis itu duduk sebangku dengan Gwen.
Gwen menatap layar ponselnya, ada nama Bu Jessica terpampang di sana.
"Ah, dari Dirly, Jane," bohongnya.
"Ada apa? Lo disuruh jaga stand jualan Ibu lo di pasar malam lagi?"
Gwen menggeleng pelan, ia merasa bersalah telah berbohong dengan Jane. Tetapi mau bagaimana lagi, tak mungkin ia mengatakan jika itu adalah telepon dari Bu jessica. Nanti Jane bertanya macam-macam lagi.
"Nggak kok, Jane. Itu saudara jauh Ibu mau dateng ke rumah. Jadi, gue disuruh balik cepet palingan sama Dirly."
"Yah, lo nggak bisa ikut kita-kita makan di caffe depan tuh baru buka, Axel yang traktir. Soalnya dua minggu lagi dia mau ikut olimpiade sains di Kolombia. Dia wakil dari sekolah kita, bareng lima siswa lainnya dari SMA berbeda. Dia minta doa ke kita semua nih. Ntar kalau dia menang kita mau diajak jalan-jalan ke Bali."
Gwen sempat terkejut kalau Axel mau mengikuti olimpiade sains mewakili negaranya. "Serius lo?"
Jane mengangguk. "Serius lah gue, orang si Axel itu udah menyabet juara pertama olimpiade sains di Indonesia kok. Sekarang dia ikut dalam tim indonesia yang akan berangkat ke Kolombia dua minggu lagi. Lo nggak tahu ya, dia itu pemegang juara umum selama dua tahun berturut-turut di sekolah ini."
Gwen menatap Jane dengan binar cerah di matanya.
"Wah keren banget si Axel, nggak nyangka gue. Terus ke mana tuh anak?"
"Dipanggil Bu Linda ke ruangannya. Bahas persiapan olimpiade katanya."
Gwen menganggukan kepalanya. Dia Sebenarnya ingin sekali ikut acara makan-makan dengan sahabatnya itu. Tetapi, apakah si kampret Damian itu mengizinkan.
"Eh ponsel lo bunyi lagi, angkat dulu deh. Mungkin adik lo mau bicara penting."
Gwen mengangguk, lalu berpamitan dengan Jane. Gadis itu berjalan keluar menuju ke arah kamar mandi untuk mengangkat panggilan dari ibu mertuanya. Ia tidak mau ada yang mendengar pembicaraannya dengan Jessica.
'Hallo, Ma. Maaf Gwen lama ngangkatnya. Gwen baru selesai kelasnya. Ada apa ya, Mama telepon, Gwen?"
tanyanya pada sang ibu mertua di seberang sana.
"Gwen pulang sekarang, ya. Mama sama Papa ada kejutan buat kalian berdua."
"Sekarang juga, Ma?" Gwen kembali bertanya.
"Iya, Gwen. Ayo buruan ajak Dami pulang. Mama udah nggak sabar nih kasih kalian kejutan. Yaudah sampai jumpa di rumah ya, Gwen."
Jessica lalu menutup ponselnya, dan Gwen segera keluar dari kamar mandi.
"Kejutan apaan sih, jangan bikin yang aneh-aneh ya, Bu Jessica. Sudah cukup anak Ibu bikin saya frustasi," ujarnya seorang diri.
Sekarang lebih baik dia pulang saja ke rumah. Ah satu lagi ia harus pulang sendiri, karena Damian pasti tak mau memberinya tumpangan di area sekolah.
"Balik ajalah naik Bus. Daripada gue harus jalan kaki satu kilo. Biarin aja si kampret Damian nunggu di sana sampai lumutan."
Gwen melenggang pergi menuju halte bus terdekat.
Hatinya agak berdebar denagn kejutan apa yang akan diberikan oleh Jessica nantinya.
Pikirannya sudah campur aduk, takut apa yang dia pikirkan akan terjadi.
"Jangan sampai deh, gue belum siap."
...***Bersambung***...