Alda Putri Anggara kehilangan kedua orang tuanya sejak kecil dan tumbuh di bawah asuhan paman dan bibi yang serakah, menguasai seluruh harta warisan orang tuanya. Di rumah sendiri, Alda diperlakukan seperti pembantu, ditindas oleh sepupunya, Sinta, yang selalu iri karena kecantikan dan kepintaran Alda. Hidupnya hanya dipenuhi hinaan, kerja keras, dan kesepian hingga suatu hari kecelakaan tragis merenggut nyawanya untuk beberapa menit. Alda mati suri, namun jiwa seorang konglomerat wanita cerdas dan tangguh bernama Aurora masuk ke tubuhnya. Sejak saat itu, Alda bukan lagi gadis lemah. Ia menjadi berani, tajam, dan tak mudah diinjak.
Ketika pamannya menjodohkannya dengan Arsen pewaris perusahaan besar yang lumpuh dan berhati dingin hidup Alda berubah drastis. Bukannya tunduk, ia justru menaklukkan hati sang suami, membongkar kebusukan keluarganya, dan membalas semua ketidakadilan dengan cerdas, lucu, dan penuh kejutan
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon inda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 13 – “Rencana Rahasia dan Cinta yang Mulai Mengganggu Strategi”
Malam itu udara terasa lembut, angin berembus membawa wangi bunga dari taman belakang.
Aurora duduk di balkon rumah Varmond, memandangi langit yang bertabur bintang.
Di tangannya, segelas teh melati mengepul pelan.
Biasanya, di jam segini, pikirannya penuh strategi, siapa musuh berikutnya, bagaimana langkah bisnisnya, atau bagaimana membuat Marsha dan mantan suaminya terjebak dalam permainan balas dendamnya.
Tapi malam ini… ia malah memikirkan seseorang.
Seseorang yang baru saja mengatakan hal yang membuat dadanya berdetak tidak normal.
“Kamu satu-satunya yang bisa bikin aku merasa hidup lagi.”
Arsen Varmond.
Pria dingin, misterius, keras kepala… tapi diam-diam lembut.
Aurora menggelengkan kepala, mengumpat pelan, “Tidak, tidak, jangan mulai lembek, Aurora! Ini cuma misi, bukan romansa!”
Namun hatinya tidak mendengarkan logika.
Ia menatap ke arah jendela kamar Arsen yang masih menyala, lalu tersenyum kecil.
“Mungkin sedikit romansa gak akan menghancurkan dunia,” gumamnya pelan.
Keesokan harinya, Arsen terlihat sibuk di ruang kerjanya.
Aurora mengetuk pintu pelan lalu masuk.
“Permisi, Tuan Dingin. Aku bawa sesuatu yang bisa mencairkan suasana,” katanya sambil mengangkat nampan berisi teh dan roti kecil.
Arsen mendongak. “Kamu mulai suka bikin teh sekarang?”
“Bukan. Aku cuma pengen tahu apakah teh buatan tangan seindah wajah pembuatnya.”
Arsen memutar matanya. “Kamu itu bisa gak sih bicara tanpa narsis lima detik saja?”
Aurora tersenyum manis. “Tidak bisa. Itu bakat alami.”
Ia duduk di sofa, memperhatikan layar laptop Arsen yang menampilkan dokumen bisnis.
“Hmm… laporan merger? Kamu serius ngerjain ini semua sendirian?”
Arsen menjawab tanpa menoleh, “Ya. Aku gak percaya sama staf lain. Terlalu banyak bocorannya.”
Aurora menatapnya, lalu bergumam, “Kamu dan aku sama, ternyata. Sama-sama dikhianati orang yang paling dipercaya.”
Arsen terdiam.
Kalimat itu menggantung di udara, berat dan penuh arti.
Ia menatap Aurora dengan pandangan lembut bukan kasihan, tapi pengertian.
“Alda…” panggil Arsen
Aurora menatap balik, tersenyum samar. “Sudahlah. Luka lama gak perlu diulang. Sekarang aku cuma mau hidup dengan caraku sendiri.”
Arsen mengangguk. “Dan cara itu termasuk mengubah dapur jadi laboratorium eksperimen makanan?”
Aurora terkekeh. “Tentu saja. Kalau kamu keracunan, anggap aja pengorbanan demi cinta.”
“Cinta?” Arsen mengangkat alis.
Aurora tersenyum geli. “Ups. Maksudku, demi hubungan kerja kita yang hangat ini.”
Mereka saling pandang sejenak, lalu tertawa kecil suasana yang dulu terasa tegang, kini terasa hangat dan ringan.
Siangnya, Aurora pergi ke sebuah galeri seni tempat acara amal berlangsung.
Ia datang bukan sebagai istri Varmond, tapi sebagai “Aurora Lin” bagi orang kepercayaan sedangkan orang lain mengetahui dia Alda pengusaha muda misterius yang akhir-akhir ini banyak diperbincangkan media.
Tujuannya sederhana, memperluas jaringan… dan memastikan rencana balas dendam berjalan tanpa celah.
Di tengah keramaian, seseorang menghampirinya.“Permisi… Nona Alda, kan?”
Aurora menoleh. Seorang pria tinggi, tampan, dan berkarisma berdiri dengan senyum profesional. “Aku Li Wen, CEO dari perusahaan Tian Group. Kita sempat kerja sama proyek dua bulan lalu.”
Aurora menatap pria itu dengan tatapan penuh evaluasi.
Aura tenangnya berbeda bukan seperti pengusaha licik atau pria sok berkuasa.
Ada sesuatu yang jujur di sorot matanya.
“Oh, tentu. Aku ingat kamu. Kamu yang waktu itu menolak investasi korupsi dari perusahaan L&G, kan?”
Li Wen tersenyum. “Benar. Sepertinya kita punya pandangan yang sama tentang keadilan.”
Aurora tersenyum samar. “Keadilan? Atau balas dendam?”
Li Wen tertawa pelan. “Kadang dua hal itu hanya dipisahkan oleh niat.”
Percakapan mereka mengalir ringan, tapi dalam.
Aurora jarang merasa nyaman dengan orang baru tapi entah kenapa, pria ini terasa… aman.
Bukan ancaman. Tapi juga bukan sekadar kenalan biasa.
Namun di tengah obrolan hangat itu, Aurora menangkap sosok seseorang di kejauhan.
Seorang wanita dengan gaun merah menyala Marsya.
Dan di sebelahnya, mantan suaminya, leonard.
Aurora menegakkan punggungnya, matanya berubah tajam.
Leonard dan Marsha terlihat mesra, tapi senyum mereka palsu.
Mereka sedang berusaha menutupi kepanikan, karena kabar tentang kebocoran data di perusahaan mereka sudah mulai tersebar. Apa lagi sekarang kepemimpinan sudah di ambil alih oleh A.C orang misterius
Li Wen memperhatikan perubahan ekspresi Aurora.
“Kamu baik-baik saja?” tanya Li Wen
Aurora menatapnya, lalu tersenyum ringan. “Sangat baik. Aku cuma sedang menikmati pertunjukan karma bekerja cepat.”
Li Wen mengernyit, tapi tak bertanya lebih jauh.
Sementara itu, Aurora berjalan pelan ke arah bar, mengambil segelas anggur putih, dan bersiap menonton “mantan”nya tenggelam dalam kepanikan.
Namun tak disangka, Leonard dan Marsha menghampirinya.
“Aurora…?”
Aurora menatap mereka, tersenyum kecil. “Oh, maaf, salah orang. Aku Alda. Tapi kalian kelihatan gugup sekali. Ada yang salah?”
Leonard menelan ludah. “Kamu— kamu benar-benar mirip… seseorang yang dulu aku kenal.”
Aurora mendekat, berbisik pelan dengan nada lembut tapi menusuk, “Kalau begitu, mungkin itu tanda dari semesta. Bahwa dosa lama belum lunas.”
Marsya gemetar. “Kamu siapa sebenarnya…?”
Aurora menatapnya dengan senyum dingin. “Cuma seseorang yang datang untuk menyapa masa lalu.”
Setelah mereka pergi dengan wajah pucat pasi, Aurora kembali meneguk anggurnya.
Li Wen datang mendekat dan berkata pelan, “Kamu bukan sekadar pengusaha, ya?”
Aurora menatapnya tenang. “Dan kamu bukan sekadar CEO yang polos, kan?”
Li Wen tersenyum kecil. “Kamu menarik, Aurora. Tapi hati-hati. Orang yang main di dua dunia bisnis dan dendam bisa kehilangan arah.”
Aurora menatapnya dengan tatapan menggoda. “Aku tidak pernah kehilangan arah. Aku justru sedang menuntun yang lain menuju kehancuran mereka.”
Namun di balik senyum itu, ada sedikit keraguan.
Karena setiap kali ia memikirkan balas dendam, wajah Arsen muncul di benaknya — dengan tatapan lembut dan suara pelan yang selalu membuatnya kehilangan fokus.
Dan malam itu, saat ia pulang ke rumah, Arsen sudah menunggunya di ruang tamu.
“Kamu kemana saja seharian?” tanyanya datar, tapi sorot matanya dalam.
Aurora menjawab santai, “Acara bisnis. Kenapa? Kamu khawatir aku kabur?”
Arsen berdiri,mulai bisa berjalan perlahan untuk mendekat. “Entah kenapa… aku memang khawatir. Karena kamu makin misterius, Alda.”
Aurora menatapnya, kali ini tidak bercanda.
“Kalau aku bilang aku bukan wanita yang kamu kenal selama ini… apa kamu masih mau percaya sama aku?”
Arsen menatapnya lama.
Lalu ia berkata pelan, “Aku gak tahu kamu siapa, tapi aku tahu satu hal, aku gak mau kehilangan kamu.”
Aurora terdiam.
Hatinya bergetar.
Untuk pertama kali dalam hidup barunya, ia merasa rencananya mulai goyah bukan karena musuh, tapi karena cinta.
Ia menatap Arsen dalam-dalam, lalu berbisik pelan,
“Kalau begitu… jangan pernah berhenti mempercayai aku. Karena satu-satunya hal yang lebih berbahaya dari dendamku… adalah saat aku mulai mencintaimu.”
bersambung