Seraphina Luna — supermodel dengan kehidupan yang selalu berada di bawah sorotan kamera. Kalleandra — pria asing yang muncul di malam tak terduga.
Mereka bertemu tanpa sengaja di sebuah klub malam. Sera mabuk, Kalle membantu membawanya pulang ke apartemennya. Tanpa disadari, dua wartawan melihat momen itu. Gosip pun tercipta.
Seketika, hidup mereka berubah. Gosip itu bukan sekadar cerita — ia memaksa mereka untuk mengambil keputusan yang tak pernah terbayangkan: menikah. Bukan karena cinta, tapi karena tekanan dunia.
Di balik cincin dan janji itu tersimpan rahasia dan luka yang belum pernah terungkap. Akankah cinta lahir dari dari gosip… atau ini hanya akhir dari sebuah pertunjukan?
"Di balik panggung, selalu ada cerita yang tak pernah terucap."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon amariel, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
DI ANTARA DUA DUNIA
Pagi di Sukabumi terasa damai.
Langit cerah, udara wangi tanah basah.
Sera duduk di teras rumah dinas, rambutnya digelung asal, wajah polos tanpa makeup — versi dirinya yang bahkan ia sendiri jarang lihat di cermin.
Bian datang dengan gaya khasnya, bawa dua gelas kopi dan kantong plastik penuh gorengan.
"Pagi Mbak Model Internasional!”
“Pagi Bi. Tumben nggak salah panggil?”
“Tadi nyaris. Hampir mau aku panggil Mbak Cengeng yang Dingin.”
“Mau kutuangin kopi panas ke muka nggak?”
Sera nyengir setengah malas.
Dua orang itu — walau beda dunia — selalu berhasil bikin pagi nggak terlalu sunyi. Dan obrolan ringan dengan segelas kopi pun mengalir. Bian mulai nyerocos sambil buka-buka handphone.
“Sera, itu email dari orang luar negeri udah dibaca belum? Yang dari… apa tadi… Madison Milan Fashion Week?”
“Udah.”
“Terus jawab?”
“Belum.”
“Loh, itu kesempatan langka banget loh! Bisa tampil di Milan!”
“Aku tahu.”
“Terus kenapa diem?”
Sera menatap ujung jalan.
Anak-anak kecil lewat sambil bawa layangan, suara mereka bercampur bunyi ayam dari halaman tetangga.
“Karena aku nggak tahu… aku harus ngejar yang jauh, atau bertahan sama yang nggak berani nyamperin.”
Bian diam.
Jarang-jarang dia lihat Sera bicara kayak gitu. Biasanya semua pakai nada tinggi, atau sarkasme halus. Tapi kali ini nada Sera nyaris kayak… pasrah.
“Bi, orang kayak aku tuh cuma bisa milih salah satu. Entah cinta, entah mimpi.”
“Terus kalau dua-duanya nggak mau pergi?”
“Ya, salah satu pasti bakal kalah duluan.”
********************************
Sementara itu, Kalle baru keluar dari ruang pasien.
Rekan-rekannya sibuk bahas kabar dari Jakarta — katanya, rumah sakit pusat bakal kirim tim baru buat bantu proyek Sukabumi.
"Katanya salah satunya dokter perempuan, baru balik dari luar negeri.”
“Oh ya? Siapa namanya?” tanya Kalle santai.
“Dokter Alina Pramudita, katanya.”
Hening.
Senyum Kalle kaku sesaat.
Tapi ia cepat menutupinya dengan senyum tipis profesional.
“Oh. Baik. Siapkan ruangan tambahan aja.”
Dua kali dia mendengar nama Alina di sebut. Dunia ini kecil banget, ya. Atau mungkin Tuhan memang hobi bercanda.
******************
Sera menerima telepon dari Jakarta — Madison Agency memintanya mengisi jadwal fitting minggu depan sebagai perwakilan Asia di Milan Fashion Week.
Wajahnya datar, tapi matanya bergetar.
Dia melihat ke meja: ada foto pernikahan kecil mereka di sana, yang dulu dikirim Kalle diam-diam setelah menikah.
“Milan atau Sukabumi, ya?” gumamnya.
Bian langsung nyeletuk dari dapur:
“Pilih Milan sih kalau gue ! Di sana nggak ada hujan tiba-tiba kayak di sini!”
“Tapi di sana juga nggak ada Kalle,” jawab Sera spontan.
Sunyi.
Sera sendiri kaget. Kalimat itu keluar begitu saja — tanpa nalar, tanpa filter. Membuat Bian, menoleh dengan wajah yang lebih terkejut.
**************************
Kalle pulang agak larut.
Sera udah di ruang tamu, duduk sambil nonton TV tapi matanya tak fokus.
“Kamu belum tidur?”
“Belum.”
“Besok ada jadwal pemotretan lagi?”
“Mungkin… belum tahu.”
“Oh.”
Sunyi lagi.
Hanya suara TV dan jam dinding.
Kalle menatap sebentar, lalu berkata pelan,
“Kamu dapat kabar dari luar negeri?”
Sera menoleh cepat.
“Kamu tahu?”
“Bian ngomong waktu ngantar di dapur kemarin.”
“Dan kamu nggak nanya langsung?”
“Aku nggak mau kamu ngerasa dikekang.”
“Atau kamu cuma nggak peduli.”
Sera berdiri, langkahnya pelan, tapi nada suaranya tajam.
“Kal… kamu tuh selalu bilang ingin aku bahagia, tapi kamu sendiri nggak pernah nyoba jadi bagian dari kebahagiaan itu.”
Kalle hanya menatap, tanpa membalas.
"Aku cuma nggak mau kamu kehilangan diri kamu sendiri,” ujarnya akhirnya."Bukannya itu impian kamu."
Sera tersenyum sinis.
“Impian aku sudah hilang semenjak memutuskan menikah."
Ia berbalik menuju tangga.
Tapi sebelum benar-benar naik, ia berhenti dan berkata lirih,
"Kalau nanti aku ke Milan… kamu bakal samperin aku nggak, Kal?”
Kalle menatap punggungnya lama.
"Aku datang..Itupun kalau kamu minta."
Sera diam sesaat, lalu melangkah pergi tanpa jawaban.
Dua dunia itu sama-sama indah. Tapi satu diisi cahaya lampu panggung, satunya wangi antiseptik rumah sakit. Dan di antara keduanya, ada hati yang belum tahu di mana seharusnya pulang.
*************************
Pria dan wanita itu merunduk. ada kesunyian sesaat di tempat itu.
"Saya dan istri bertanggung jawab atas segala keadaan Delani Sifa. untuk itu kami meminta kesediaan bapak dan ibu agar mengijinkan untuk dia di pindahkan ke Saphira medical center. Kebetulan juga di sana lebih lengkap peralatannya."
"Saya berterima kasih atas perhatian pak Adipati terhadap Dela. Kalau ini demi kesembuhannya tentu saja kami tidak akan menolak. Hanya saja disini, saya juga ingin meminta tolong kepada bapak perihal Della." mata sayu pria itu menatap Adipati dalam.
"Katakan saja, Pak Anto. Saya pasti siap membantu."
"Tolong untuk bantu kami mencari keadilan bagi Della." ujarnya singkat.
Adipati diam. Sementara Restu, anak muda yang duduk tak jauh darinya melirik diam-diam.
"Saya sama istri merasa kalau apa yang terjadi pada Della seperti bukan kecelakaan biasa, Pak. Meski beberapa polisi yang kemarin mendatangi kami menjelaskan kronologi di lapangan. Di mana katanya ini murni kecelakaan sesuai dengan CCTV. Tetap saja kami merasa ini janggal." Urai anto kembali.
"Della itu baru beberapa hari pulang kerumah, pak. Dia pulang membawa kabar yang kurang mengenakkan bagi kami sebagai orang tua. Ayahnya ini sempat marah sebelum dia pergi. jadi mungkin saat ini ada rasa bersalah yang di rasakannya."
Suara perempuan menyela di antara percakapan mereka.
"Della sedang mengandung saat datang menemui kami. Hanya saja dia tak mengatakan siapa ayah dari bayinya." Anto kembali bersuara." Tolong bantu kami, Pak."
Leher Anto memutar kearah jendela kamar dimana sosok Della, putrinya terbaring.
"Kata dokter, kondisinya kritis. benturan di kepala dia cukup keras. Kita tidak tahu kapan dia bisa siuman." lanjut Anto." Kami ingin tahu apa yang terjadi pada Della dan siapa ayah dari anak yang dikandungnya."
Tanpa sadar Restu menoleh pada Adipati yang kini juga tengah memandangnya. Dua pria itu terdiam dalam pikirannya masing-masing.
"Saya akan minta asisten saya ini untuk mencari tahu, pak Anto. Anda dan istri tidak usah khawatir."
Kalimat yang cukup membuat kelegaan di raut wajah Anto dan istrinya. Tapi--tidak untuk Adipati saat ini.