“Sakitnya masih kerasa?”
“Sedikit. Tapi bisa ditahan.”
“Kalau kamu bilang ‘bisa ditahan’ sambil geser duduk tiga kali … itu artinya nggak bisa, Dhifa.”
“Kamu terlalu kasar tadi pagi,” batin Nadhifa.
***
Renzo Alverio dan Nadhifa Azzahra saling mencintai, tapi cinta mereka dibatasi banyak hal.
Renzo, CMO Alvera Corp yang setia pada gereja.
Nadhifa, CFO yang selalu membawa sajadah dan mukena ke mushola kantornya.
Hubungan mereka tak hanya ditolak karena beda keyakinan, tapi juga karena Nadhifa adalah anak simpanan kakek Renzo.
Nadhifa meski merasa itu salah, dia sangat menginginkan Renzo meski selalu berdoa agar dijauhkan dari pria itu jika bukan jodohnya
Sampai akhirnya suatu hari Renzo mualaf.
Apakah ada jalan agar mereka bisa bersatu?
*
*
*
SEKUEL BILLIORAIRE’S DEAL : ALUNALA, BISA DIBACA TERPISAH
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Marsshella, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
30. GAYA ALA BIKSU
Nadhifa terbangun dengan kepala sedikit berat, tubuhnya seperti habis dilindas truk. Begitu melirik jam di meja samping ranjang—06.03.
“Astaghfirullah,” gumamnya cepat, menutup wajah dengan tangan. “Subuh lewat.”
Panik kecil langsung merayap. Ia menoleh ke samping. Renzo masih terkapar tengkurap, nafasnya dalam, rambut awut-awutan menutupi mata. Selimut sudah kabur entah kemana. Nafas Nadhifa tercekat, mengingat semalam.
Tiga ronde. Iya, tiga.
Tangannya terangkat, memukul pelan punggung Renzo. “Mas, bangun. Kita belum subuhan.”
Renzo hanya menggeram malas, melipat lengan di bawah kepala seperti anak kecil.
Nadhifa makin panik. “Mas, ayo … kita harus Qadha. Dan … belum mandi besar,” bisiknya.
Saat ia menggeser kaki hendak turun, gelombang nyeri langsung menyapa tajam. Nadhifa meringis. Oke, tubuhnya benar-benar tak dalam kondisi terbaik. Tapi tetap saja, ia yakin semalam cuma tiga ronde.
“Ya Allah …,” desahnya lirih.
Tiba-tiba Renzo bangkit cepat, berdiri tanpa terlihat pegal sedikit pun.
Nadhifa menatapnya dengan curiga. “Mas, kok bisa bangun cepat banget?”
Renzo berbalik, mengambil handuk dengan wajah santai. “Soalnya kamu tidur duluan. Aku lanjut sendiri. Sampai … sepuluh ronde.”
Mata Nadhifa langsung membelalak. “Sepuluh?! Mas gila?!”
“Hitungan sendiri sih, ada yang pakai imajinasi.” Renzo melangkah santai ke kamar mandi.
Nadhifa ingin melempar bantal, tapi tangannya sudah tak bertenaga. “Mas! Aku ikut mandi sekalian!” serunya, mendorong tubuh pelan-pelan ke arah pintu kamar mandi.
Dari dalam, suara air mulai terdengar, disusul tawa kecil Renzo. “Boleh gabung, asal janji nggak mukul.”
Nadhifa mendengus. “Janji. Nggak mukul.”
Beberapa detik kemudian, pintu terbuka sedikit. Ia masuk dengan langkah pelan. Tapi begitu melihat ekspresi menyebalkan Renzo—yang jelas-jelas puas diri—refleks tangannya malah melayang ke lengannya.
Plak!
“Nadhifaaa …,” gerutunya, setengah tertawa.
“Eh, refleks,” jawab Nadhifa cuek, meski ikut terkekeh.
...***...
Yuda duduk di meja belajar dengan wajah kusut, mata sembab, dan nalar yang setengah hidup. Tugas semalam memang belum rampung, tapi yang paling menyiksa bukan itu. Suara-suara itu.
Ia sudah janji ke dirinya sendiri, pagi ini tidak akan ikut sarapan. Bahkan kalau ditawari makanan paling enak pun, ia akan pergi.
Hoodie ia kenakan, headset dipasang meski tak dinyalakan, lalu langkahnya pelan menuju meja makan.
“Pagi, Yud,” sapa Renzo dengan nada super segar.
“Hai, Nak,” ucap Nadhifa menambahkan senyum manis.
Senyum yang malah membuat Yuda merinding, mengingat malam tadi—oh Tuhan, jangan diingat.
“Eh, ada tahu goreng. Ambil aja,” ujar Nadhifa menyodorkan piring kecil.
Yuda hanya mengambil satu tahu. Tanpa berani menatap keduanya, ia langsung membungkuk ringan. Bukan salim, tapi versi non-muhrim. Tangannya menekuk di dada. Gaya ala biksu.
“Wah, buru-buru amat?” Renzo mengangkat alis.
“Acara dadakan, bareng temen kampus. Assalamualaikum,” jawab Yuda cepat.
Pintu apartemen ditutup rapat dari luar. Yuda berdiri menghadap lorong, lalu “Huaahh…” Ia buang napas panjang, mengusap dada lega. “Akhirnya bebas.”
Tiba-tiba, dari sisi kiri muncul sosok tinggi. Rambutnya awut-awutan, mata lelah. Sama persis seperti dirinya. Sosok itu juga mengusap dada.
Mereka terdiam. Sama-sama menderita semalam. Keduanya berdeham bersamaan, lalu mulai melangkah. Bareng.
Beberapa detik berjalan, Arshen menyenggol lengan bajunya. “Ngaku deh. Nggak bisa tidur, ya?”
Yuda melirik. “Lo juga, ‘kan?”
“Gimana bisa tidur? Suaranya tembus tembok!” Arshen melotot kecil.
Yuda ingin tertawa, tapi … ya, dia terkekeh.
Belum sempat ia menjawab, Arshen sudah menyambung, “Aku pikir … Tante Nadhifa kalem. Tapi ternyata—”
“Stop. Jangan lanjut. Gue trauma,” potong Yuda cepat.
Mereka saling pandang, lalu tertawa kecil. Sama-sama korban.
“Ayo, kita sarapan di luar. Cari tempat yang … bebas kenangan suara,” ajak Yuda.
“DEAL!” sahut Aksen.
Dan mereka pun melangkah, dua pemuda tak bersalah yang harus menanggung derita dari apartemen penuh cinta.
...***...
Warung langganan di ujung blok jadi tempat pelarian mereka pagi itu. Duduk di bangku panjang dari kayu, Yuda dan Arshen makan dalam diam selama beberapa menit. Masing-masing sibuk mengunyah sambil pura-pura lupa dengan kejadian semalam.
Yuda memilih ketoprak. Manis, pedas, kacangnya pas. Tapi selera makannya sedikit terganggu oleh memori suara-suara dari balik tembok kamar.
Di seberang, Arshen terlihat semangat mengaduk mie rebus kesukaannya—pakai telur ceplok dan cabai rawit lima biji.
Yuda sempat melirik mangkuk itu dengan tatapan heran. “Lo makan mie terus?” tanyanya.
Arshen mengangkat alis, lalu nyeruput kuahnya. “Ini makanan favorit gue ... sejak dulu.”
Yuda mengangguk, lalu menambah kerupuk ke piringnya. Tapi Arshen belum selesai bicara.
“Dulu, waktu kecil ... gue pernah musuhan sama Papa gue sebelas tahun.”
Ucapan itu membuat Yuda menoleh cepat. “Hah? Serius? Kok bisa?”
“Gara-gara minta mie terus. Papa bilang kebanyakan micin. Gue ngambek. Akhirnya dikurung di kamar. Seharian dan usia gue mungkin masih dua tahunan.”
Yuda langsung keselek kerupuk. “Hk—hk—buset ... lo dikurung?”
Arshen mengangguk mantap. Dia menyeruput kuah mie-nya lagi. Santai, seolah cerita barusan bukan penghancur selera makan global.
Yuda memandangi ketoprak di depannya. Rasa kacang yang tadinya enak, sekarang mendadak seperti bubur bayi.
“Besok kita sarapan di kafetaria aja, ya,” gumamnya lemah.
Arshen mengangkat mangkuk mie dengan senyum puas. “Asal ada mie.”
...***...
Pagi itu, Yuda membawa motornya. Arshen duduk di belakang. Seharusnya Arshen nyetir sendiri, tapi motornya masih ditinggal di kampus sejak insiden tempo hari.
Kasus sasaeng membuatnya trauma balik sendiri. Alasan klise, tapi Yuda hanya mengangkat bahu. Lagipula, ia juga menikmati aura cogan naik level saat mengendarai motor sportnya.
Begitu mereka masuk area parkir kampus, seolah seluruh dunia bergerak dalam slow motion. Gadis-gadis mulai menoleh. Beberapa berbisik, beberapa bahkan langsung teriak.
Dua cogan naik motor sport? Double kill.
Cogan semotor? Triple kill.
Yuda sempat melirik spion. Arshen malah bergaya ala seleb TikTok sambil tersenyum tipis. Membuat siapapun yang menonton ingin halu.
“Kita udah kayak karakter webtoon,” gumam Yuda.
“Udah, nikmati aja sorotan,” balas Arshen sambil tertawa.
Tapi kesenangan itu hanya bertahan lima belas detik. Saat Yuda berhenti, dari arah gerbang kampus, seseorang berlari.
Bukan siapa-siapa. Tapi dia. Gadis sasaeng itu.
Refleks Yuda terlambat satu detik. Sebelum sempat berteriak atau pasang mode kabur, gadis itu sudah … memeluk Arshen dari depan. Tepat saat Arshen masih memegang helm.
Arshen membeku. Tangannya masih menggenggam tali helm, tapi pelukan itu penuh semangat, seperti fans ketemu bias setelah konser.
Yuda langsung sadar situasinya bisa salah paham. Jangan sampai ia dianggap pacar sah Arshen, sementara ini berubah jadi momen rebutan.
Dengan gerakan terlatih, Yuda melepaskan helm. Masih diam. Lalu … lari!!!!!!
Bukan karena takut, tapi karena harga diri dan rencana masa depan.
Ia bisa mendengar Arshen berteriak dari belakang, “Yudaaa! Jangan tinggalin gue!”
Tapi Yuda pura-pura tidak kenal. Bahkan ketika ada mahasiswi bertanya, “itu temen lo?”
Dia hanya menjawab, “nggak. Gue anak baru.” Dan terus berlari ke gedung jurusan, meninggalkan motor dan drama yang baru saja terjadi.