Arzhel hanyalah pemuda miskin dari kampung yang harus berjuang dengan hidupnya di kota besar. Ia terus mengejar mimpinya yang sulit digapai.nyaris tak
Namun takdir berubah ketika sebuah E-Market Ilahi muncul di hadapannya. Sebuah pasar misterius yang menghubungkan dunia fana dengan ranah para dewa. Di sana, ia dapat menjual benda-benda remeh yang tak bernilai di mata orang lain—dan sebagai gantinya memperoleh Koin Ilahi. Dengan koin itu, ia bisa membeli barang-barang dewa, teknik langka, hingga artefak terlarang yang tak seorang pun bisa miliki.
Bermodalkan keberanian dan ketekunan, Arzhel perlahan mengubah hidupnya. Dari seorang pemuda miskin yang diremehkan, ia melangkah menuju jalan yang hanya bisa ditapaki oleh segelintir orang—jalan menuju kekuatan yang menyaingi para dewa itu sendiri.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon SuciptaYasha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
13 Diusir dari kost, pesan hotel
Seketika, cahaya emas menyala di hadapannya. Sebuah gulungan berornamen naga melayang turun dari udara kosong.
Para preman terdiam sepersekian detik, lalu salah satunya bersuara, “Heh? Bocah ini ternyata bisa sulap juga!”
Gelak tawa kembali meledak.
“Cepat, bocah! Bikin kelinci keluar dari topi juga, hahahaha!”
"Heh... Maaf mengecewakan kalian tapi ini bukan sulap," jawab Arzhel dengan santai.
Dengan sekali gerakan, ia membuka gulungan itu. Saat itu juga gulungan terbakar menjadi abu, serpihan cahaya menyatu dengan tubuhnya.
Mata Arzhel membelalak. Ledakan rasa sakit dan gairah berbaur di dalam tubuhnya. Seakan-akan ratusan perkelahian brutal, ribuan teknik insting jalanan, tertanam ke dalam otot dan sarafnya.
Ia menarik napas panjang, menurunkan ransel berat dari punggung, lalu menatap lurus ke arah mereka. Senyumnya tipis—tapi lebih mengancam dari apapun yang pernah mereka lihat.
Para preman itu terkekeh, suara mereka bergema di lorong.
“Sudah cukup bermain-mainnya, hajar bocah ini sekarang juga!”
Tiga orang langsung menerjang bersamaan. Salah satunya mengayunkan tongkat kayu ke arah kepala Arzhel. Namun tiba-tiba tubuh Arzhel bergerak sendiri, refleks yang baru saja tertanam dalam dirinya.
Ia menunduk, bahunya menyenggol dada lawan, dan dengan sekali pukulan siku, tulang rahang preman itu bergeser ke samping. Preman itu ambruk seketika, mulutnya berlumur darah.
Belum sempat dua lainnya bereaksi, Arzhel meraih pergelangan tangan salah satu preman yang memegang rantai besi. Dengan gerakan cepat, ia memelintirnya ke belakang.
Krak!
Suara tulang retak terdengar, membuat si preman menjerit kesakitan sebelum kepalanya dihantam ke dinding.
Preman ketiga berteriak marah, mencoba menikam dengan pisau kecil. Tapi Arzhel sudah berputar, menyapu kakinya rendah.
Lawan terjungkal, pisau terlepas, lalu wajahnya disambut lutut Arzhel yang menghantam dengan brutal. Preman itu langsung terkapar tak bergerak.
“Ap—apa-apaan dia itu?!” salah satu preman lain mundur terkejut.
Tapi Arzhel tidak menjawab. Matanya tajam, tubuhnya tegak, langkahnya maju perlahan. Dua orang kembali menyerang dengan senjata tumpul, mencoba mengapitnya dari kiri dan kanan.
Arzhel mengangkat kedua lengannya, menahan serangan silang. Dentuman keras terdengar, tapi tangannya tidak bergeming.
Dengan gerakan yang tampak kasar namun presisi, Arzhel membanting kepala lawan ke arah lututnya, sementara tangan satunya mendorong wajah musuh lain ke dinding. Kedua preman itu jatuh hampir bersamaan.
Satu demi satu mereka mencoba melawan, tapi tubuh Arzhel bergerak dengan insting yang mustahil dipelajari hanya dalam sehari—pukulan lurus, tendangan kotor ke arah lutut, bantingan keras ke lantai.
Suara tubuh terhempas dan tulang berbunyi memenuhi lorong itu.
Tak lama kemudian, belasan preman yang tadi begitu percaya diri kini bergelimpangan di lantai, meringis kesakitan, sebagian tidak sadarkan diri.
Arzhel berdiri di tengah-tengah mereka, napasnya sedikit berat, kepalan tangannya bergetar dengan sisa adrenalin. Ia menatap tangannya sendiri, lalu bergumam dengan suara rendah:
“Luar biasa… teknik ini benar-benar gila. Terima kasih, Dewa Tinju Neraka.”
Ia mengangkat ransel uangnya kembali, menyampirkannya di punggung, dan berjalan keluar dari lorong itu dengan tenang, seolah tidak ada apa-apa yang terjadi.
...
Dalam perjalanan pulang, Arzhel singgah sejenak di sebuah supermarket. Matanya berbinar ketika ia melihat rak-rak penuh barang. Dengan uang hasil judinya itu, ia membeli banyak produk mulai dari minuman, camilan, hingga barang-barang sehari-hari seperti sikat gigi dan shampo botol.
Meskipun remeh, tapi dia tahu jika barang-barang tersebut bisa dijual kembali ke Market Ilahi dengan keuntungan berlipat ganda.
“Ini investasi terbaik,” gumamnya sambil mendorong troli penuh barang.
Setelah selesai, ia kembali ke kost dengan ransel berat dan dua kantong besar di tangan kanan dan kirinya.
Namun begitu sampai di depan gerbang, pemandangan yang ia temui membuat langkahnya terhenti.
Di sana berdiri ibu kost dengan wajah merah padam, tangannya bertolak pinggang. Di belakangnya, para penghuni kost lain mengintip dengan tatapan ingin tahu, sebagian menyeringai, sebagian prihatin.
“Arzhel!!” bentak ibu kost, suaranya keras menusuk telinga. “Jangan pernah datang lagi ke tempat ini, pergi kau!”
Arzhel mengangkat tangan, berusaha menenangkan.
“Ibu, tenang dulu. Aku akan membayar uang sewa sekarang juga.”
Namun ibu kost tidak peduli, ia hendak menunjuk Arzhel dengan kasar namun teringat tangannya yang dipelintir kemarin membuatnya sedikit ketakutan.
“Tidak ada alasan! Kau sudah membuat masalah cukup lama! Sekarang juga angkat kakimu dari tempat ini! Kau diusir!!”
Suara itu menggema, dan beberapa penghuni kost terkejut. Ada yang menutup mulut menahan tawa, ada juga yang tampak kasihan.
Arzhel berdiri terdiam beberapa detik, genggaman tangannya di ransel menguat. "Tapi bu-"
“Tidak ada tapi-tapian! Angkat kaki sekarang juga atau aku laporkan ke polisi!”
Arzhel menahan napas, kepalan tangannya sempat mengencang. Ingin sekali ia melempar tas ranselnya ke wajah wanita itu, membuktikan bahwa dirinya bisa membayar berkali-kali lipat.
Tapi sepertinya uang sewa bukan masalah utamanya, ibu kost berperilaku seperti itu karena Arzhel sempat mengancam ibu kost dengan tatapan membunuh sebelumnya.
“Aku akan pergi, tapi barang-barangku—”
“Biarkan saja! Kalau perlu aku buang besok pagi!” bentak ibu kost tanpa memberi ruang sedikit pun.
Arzhel terdiam. Tidak ada yang bisa ia lakukan kecuali memalingkan wajah. Dengan ransel berat di punggung, ia melangkah pergi meskipun dengan enggan.
Malam mulai turun, lampu jalan berkelip samar, dan bayangan tubuhnya memanjang di trotoar.
Perutnya sudah lama kosong, tenaganya terkuras setelah semua kejadian hari ini.
'Mencari tempat tinggal baru… biar besok saja,' pikirnya. Malam ini ia butuh atap dan ranjang yang nyaman untuk bermalam.
Arzhel akhirnya memilih sebuah hotel bintang empat yang tak jauh dari pusat kota. Lobby-nya berkilauan dengan chandelier kristal, lantai marmer yang dingin namun berkilap, dan senyum ramah resepsionis yang membuatnya sejenak lupa pada amarah ibu kost tadi.
Setelah registrasi, ia mendapat kartu kamar, lalu masuk ke sebuah ruangan luas dengan dinding putih krem elegan.
Begitu pintu tertutup, ia langsung menjatuhkan tubuhnya ke kasur empuk.
“Hhh…” desahannya panjang, bercampur lelah dan kesal. Dia memang sudah berniat untuk pindah dari kostnya setelah mendapatkan cukup uang, tapi diusir dengan kasar seperti itu membuatnya merasa kesal sendiri.
"Tidak perlu kau usir, aku juga bisa pergi sendiri, dasar ibu-ibu sialan..." lirihnya masih menyimpan kesal yang mendalam.
Beberapa menit ia hanya berbaring dengan pikiran kesal, menatap langit-langit, membiarkan pikirannya melayang. Namun perutnya kembali berontak. Ia bangkit, meraih telepon kabel di meja samping, lalu menekan tombol layanan kamar.
☎️ "Room service, apa yang bisa saya bantu?” suara ramah terdengar dari seberang sana.
Arzhel menghela napas, lalu berkata, “Aku ingin pesan makanan. Yang berat, enak, dan cepat.”
☎️ “Baik, Tuan. Kami rekomendasikan steak wagyu medium rare dengan saus jamur truffle, ditemani sup krim asparagus untuk pembuka. Untuk minuman, mungkin segelas red wine house selection? Dan sebagai penutup, kami sarankan tiramisu klasik dengan saus espresso.”