Istri penurut diabaikan, berubah badas bikin cemburu.
Rayno, pria yang terkenal dingin menikahi gadis yang tak pernah ia cintai. Vexia.
Di balik sikap dinginnya, tersembunyi sumpah lama yang tak pernah ia langgar. Ia hanya akan mencintai gadis yang pernah menyelamatkan hidupnya.
Namun ketika seorang wanita bernama Bilqis mengaku sebagai gadis itu, hati Rayno justru menolak mencintainya.
Sementara Vexia perlahan sadar, cinta yang ia pertahankan mungkin hanyalah luka yang tertunda.
Ia, istri yang dulu lembut dan penurut, kini berubah menjadi wanita Badas. Berani, tajam, dan tak lagi menunduk pada siapa pun.
Entah mengapa, perubahan itu justru membuat Rayno tak bisa berpaling darinya.
Dan saat kebenaran yang mengguncang terungkap, akankah pernikahan mereka tetap bertahan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nana 17 Oktober, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
24. Aroma Cemburu
Rayno tersadar, menarik napas dalam, lalu melangkah masuk ke ruang rapat.
Tapi pikirannya masih tertinggal, bersama Vexia.
Suasana ruang rapat siang itu terasa lebih tegang dari biasanya.
Beberapa direktur sudah duduk rapi, lembaran laporan keuangan dan proyeksi bisnis terbuka di hadapan mereka.
Rayno duduk di kursi ujung meja. Posisi pimpinan. Tapi kali ini, tatapannya kosong.
Suara-suara di ruangan hanya terdengar seperti gema jauh, tak benar-benar menembus pikirannya.
Bayangan Vexia pagi tadi terus berputar di kepalanya.
Jaket kulit. Motor sport yang menderu. Wajah dingin di balik helm.
Cara tangannya menangkis, gerak refleks yang begitu presisi. Jelas bukan kemampuan yang baru dipelajari.
Bukan sekadar bisa bela diri, tapi nalurinya terlatih; ia tahu kapan harus menyerang, kapan bertahan.
Seandainya Rayno tak cukup sigap, mungkin bogem mentah istrinya sudah lebih dulu menghantam wajahnya tadi.
Namun satu pukulan itu saja sudah cukup. Darah di bibirnya menjadi bukti seberapa kuat perempuan itu.
Sosok itu… begitu berbeda dari perempuan yang duduk bersamanya di meja makan selama ini.
Perempuan yang menatapnya dengan mata lembut dan suara tenang kini menjelma menjadi bayangan dingin yang penuh jarak.
“Dia begitu percaya diri dengan dirinya sekarang,” gumamnya dalam hati. “Apa ini wajah aslinya? Atau aku yang terlalu buta untuk mengenalinya selama ini…?”
Dani melirik majikannya dari sudut meja rapat.
Sejak pagi, ada yang berbeda dari bosnya. Datang dengan bibir pecah, tangan berlumur darah, dan wajah yang… entah, seperti sedang menahan sesuatu.
Biasanya ekspresinya datar dan tak terbaca, tapi hari ini ada kegelisahan yang sulit disembunyikan.
“Tadi di lobi, pandangannya sempat tertegun lama pada Vexia. Ya, admin dari divisi lintas devisa itu.”
Dani sempat mengira ada sesuatu di antara mereka, tapi buru-buru menepis pikirannya.
“Ah, mana mungkin.”
Namun kini, di ruang rapat, Rayno bahkan tak fokus. Layar presentasi terus berganti, tapi matanya kosong menatap meja.
Dani mengingat pagi tadi, ketika bosnya tiba-tiba menanyakan letak ruang administrasi, lalu membuka rekaman CCTV ruangan itu.
Padahal biasanya, Rayno tak pernah peduli hal sepele seperti itu.
“Kenapa tiba-tiba tertarik dengan ruangan itu? Bukannya Vexia yang bertugas di sana?” gumamnya dalam hati.
Jantung Dani berdetak pelan.
“Jangan-jangan... ini beneran ada hubungannya dengan Vexia?”
“Tuan Rayno?”
Suara itu memecah lamunan Rayno.
Rayno menoleh cepat. Pak Arman menatapnya dengan alis terangkat.
“Kami sudah membahas revisi anggaran untuk proyek cabang Surabaya. Anda setuju atau ada pertimbangan lain?”
Rayno terdiam sepersekian detik. Ia bahkan tak tahu topik apa yang baru saja dibicarakan.
Seketika ruangan sunyi, hanya suara detak jam yang terdengar.
Bu Ratri, yang duduk di seberang, menatapnya sekilas lalu tersenyum sopan, mencoba mengurai ketegangan.
“Mungkin Tuan Rayno sedang memikirkan hal lain. Kita bisa lanjutkan ke agenda berikutnya dulu,” katanya menengahi.
Rayno mengangguk pelan, berusaha menguasai diri.
“Maaf, saya... hanya kurang fokus sebentar. Silakan lanjut,” katanya datar.
Namun bahkan setelah rapat berlanjut, pikirannya tetap tak bisa berpindah.
Setiap kali mendengar nama Vexia disebut, bahkan sekadar dalam konteks pekerjaan, jantungnya berdegup lebih cepat.
Ia menatap layar proyektor, tapi yang muncul di kepalanya bukan angka atau grafik.
Yang terbayang hanyalah ban motor yang berputar cepat, Vexia yang melaju di antara dua truk dengan tenang,
dan tatapan dingin di lobi kantor barusan. Tatapan yang membuat dadanya sesak entah karena takut atau rindu.
Tapi juga kekaguman yang tak bisa ia bantah.
Untuk pertama kalinya dalam pernikahan mereka, Rayno sadar,
ia benar-benar tak mengenal istrinya.
Rapat selesai, tapi pikirannya tidak.
Rayno kembali ke ruang kerjanya dengan langkah berat. Pintu tertutup pelan, menyisakan keheningan yang justru terasa menyesakkan.
Di atas meja, tumpukan berkas menunggu untuk ditandatangani.
Namun sejak beberapa menit lalu, matanya tak beranjak dari layar laptop.
Salah satu jendela kecil di layar menampilkan tayangan CCTV ruang administrasi.
Vexia ada di sana. Duduk tegak di kursinya, fokus menatap layar komputer.
Jemarinya bergerak cepat di atas keyboard, wajahnya tenang tanpa ekspresi.
Rayno bersandar di kursi, menghela napas panjang.
“Kenapa aku malah memandanginya seperti ini?” gumamnya pelan.
Namun matanya tetap terpaku.
Sesekali, ia menyentuh bibirnya yang masih terasa perih. Bekas pukulan yang belum hilang.
Setiap kali ingatan itu muncul, napasnya terasa berat, campuran antara marah… dan rindu.
Berkas-berkas di mejanya tak bergeser sedikit pun.
Jam di dinding menunjukkan waktu makan siang.
Tapi Rayno masih duduk di sana, menatap layar seperti seseorang yang takut kehilangan sesuatu yang sedang ia lihat.
Dan kemudian, sesuatu di layar membuatnya menegakkan tubuh.
Seorang pria. Bira, staf dari divisi administrasi, berjalan mendekati Vexia.
Rayno menyipitkan mata. Tangannya perlahan mengetuk meja, satu ketukan setiap kali langkah Bira makin mendekat.
Di Ruang Administrasi
Bira menyandarkan diri santai di tepi meja kerja Vexia.
Vexia hanya melirik sekilas lalu membereskan berkas-berkasnya.
“Xi, makan siang di luar yuk,” ucap Bira ringan, mencoba terdengar santai.
Dari meja sebelah, Vega langsung menoleh. Tatapannya menusuk, penuh rasa iri.
Bibirnya menekuk sinis, tapi tak berkata apa-apa. Belum.
Vexia berhenti sejenak, menatap Bira dengan satu alis terangkat.
“Gak salah ngajak aku makan di luar?” nada suaranya datar, tapi sorot matanya tajam.
Bira terkekeh kecil. “Nggak lah. Anggap aja permintaan maaf karena kemarin aku sempat ngeremehin kamu.”
Vexia menarik napas pelan, lalu tersenyum tipis.
“Thanks. Aku hargai niat baikmu.”
Ia berdiri, menepuk bahu Bira ringan.
“Tapi aku lebih nyaman makan sama Kak Hana dan Kak Hani.”
Tanpa menunggu respon, ia menghampiri meja si kembar yang sudah bersiap pergi.
Bira hanya menghela napas panjang, setengah kecewa tapi juga tersenyum kecil.
Dari meja sebelah, Vega mendengus pelan.
“Sok jual mahal,” gumamnya, cukup keras hingga beberapa orang mendengar.
Beberapa rekan menatap tak nyaman, tapi tak ada yang berani menegur. Atau mungkin malas.
Bira menatap Vega sejenak, lalu memilih beranjak mengikuti arah Vexia dan si kembar.
Langkahnya cepat, seperti tak ingin kehilangan momentum.
Di Ruang Kerja Rayno
Pria itu menegang, menyaksikan semuanya dari layar.
Wajahnya datar. Tapi pena di tangannya perlahan patah di tengah genggaman.
Terdengar suara kecil “krek”, nyaris bersamaan dengan desis napas berat yang keluar dari dadanya.
Matanya menajam, menatap layar yang menampilkan Bira berjalan di belakang Vexia.
Ada sesuatu di sorot matanya. Bukan hanya cemburu, tapi juga rasa bersalah yang menyesakkan.
Bibirnya bergerak pelan, nyaris tak bersuara.
“Jangan… jangan coba-coba mendekati istriku.” Kata-kata itu keluar dari bibirnya tanpa disadarinya.
Ia menutup laptopnya dengan sedikit keras, lalu menyandarkan tubuh di kursi.
Namun pikirannya tak berhenti berputar. Wajah Vexia, senyum dinginnya, dan pria yang kini berjalan di belakangnya.
Untuk pertama kalinya dalam hidupnya, Rayno sadar,
ia takut.
Bukan kehilangan perusahaan, tapi kehilangan perempuan yang selama ini ia abaikan.
Tangannya refleks menekan tombol interkom.
“Dani, ke ruanganku,” ucapnya datar tapi suaranya bergetar halus.
Beberapa detik kemudian, pintu diketuk pelan.
“Tuan memanggil saya?”
Rayno menatap asistennya. Lama. Seolah sedang menimbang sesuatu yang bahkan ia sendiri tak mengerti.
“Dani.”
“Iya, Tuan?”
Ia menarik napas. Pandangannya sempat terarah ke jendela. Langit mendung, sama seperti dadanya.
“Menurutmu, makanan di kantin enak?”
Dani mengerjap cepat, nyaris menjatuhkan pena di tangannya.
“Eh… enak, Tuan. Tapi… saya tidak tahu menurut Anda.”
Dalam hati, Dani bergumam bingung. "Kenapa tiba-tiba nanya makanan di kantin?"
Rayno mendesah pendek, lalu berdiri. Gerakannya tegas tapi matanya… gelisah.
“Temani aku makan di kantin.”
“Hah?” Dani mematung.
“Tuan Rayno? Di kantin?”
Ia menatap punggung sang bos yang sudah berjalan keluar, wajah datarnya menyembunyikan badai yang belum mereda.
Itu seperti melihat singa yang tiba-tiba memutuskan jadi vegetarian.
Dani masih bengong beberapa detik.
“Ya ampun… kenapa hari ini tuan aneh banget?” gumamnya pelan, buru-buru menyusul. Langkahnya setengah berlari mengikuti sang majikan yang jarang sekali, atau mungkin tidak pernah, turun ke dunia para staf.
...🌸❤️🌸...
.
To be continued
asisten keren👍😂😂
Vega masih cari gara-gara maunya - dasar muka badak hati culas.
Nah..nah...nah...Rayno ke club yang sama dengan istrinya 😄.
Dani kaget wooooy.
Yovie teman Rayno ternyata tahu juga tentang masa lalu Rayno.
Masih mengharap gadis di masa lalunya - tapi pikiran dan hati tak bisa dipungkiri - Vexia menari-nari dibenaknya. Dasar Rayno o'on 🤭😄
Nah lo istri pergi gak pamit - rasain Rayno.
Sampai sepuluh kali Rayno menghubungi istrinya baru diangkat.
Dani jiwa kepo-nya kambuh lagi - tertarik melihat Vexia di tempat hiburan malam.
Vexia pergi mentraktir karyawan satu divisi di tempat hiburan malam paling mewah di kotanya.
Nova ikut ya - tak tahu malu ini orang - suka sirik terhadap Vexia - ee ikut bergabung. Ngomong gak enak di dengar pula.
Vexia hafal berbagai macam minuman - Vega semakin menjadi siriknya.
Jangan-jangan Rayno juga ke tempat yang sama dengan Vexia.
kira2 apa mereka saling menyapa pas ketemu.atau pura2 gak liat..harus banget nunggu ya thor...gak bisa sekarang aja apa? baiklah bakalan sabar menunggu, tapi gpl lho
hayo siapa tuh yang panggil vexia rayno atau cowok lainnya
Apa Vexia akan dikasih hukuman oleh Rayno atw malah Rayno yang dihukum Vexia dengan tidak disapa & tidak kenal yang namanya Rayno alias dicuekin 😛