Xander tubuh dengan dendam setelah kematian ibunya yang di sebabkan kelalain sang penguasa. Diam-diam ia bertekat untuk menuntut balas, sekaligus melindungi kaum bawah untuk di tindas. Di balik sikap tenangnya, Xander menjalani kehidupan ganda: menjadi penolong bagi mereka yang lemah, sekaligus menyusun langkah untuk menjatuhkan sang penguasa.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nona Jmn, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Operasi Penyalamatan
Xander keluar dari gudang dengan langkah ringan, seolah tak ada yang terjadi di dalam. Padahal ia baru saja memanipulasi sistem sensor yang harusnya berbunyi begitu ada orang asing masuk. "Teknologi usang," gumamnya dingin. Ia sempat melirik lampu indikator merah di dinding yang seharusnya menyala, tapi tetap mati.
Ia menuruni lorong, menuju ruangan perawatan pasien. Sorot matanya tajam menyapu tiap wajah. Ia tahu–tak semua pasien di sini benar-benar sakit. Banyak yang hanya boneka, aktor, atau bahkan agen rahasia.
Akhirnya ia berhenti di salah satu bangsal. Ada sepuluh pasien dengan wajah pucat dan tubuh lemah. Mata mereka penuh ketakutan, seolah sudah lama terkurung.
Xander melangkah masuk. Tapi hitamnya menutupi sebagian wajah, hanya matanya yang tampak.
"Kalian pasien asli, kan?" suaranya rendah, tapi cukup tegas.
Pasien-pasien itu saling pandang. Salah satunya, seorang pria paruh baya dengan infus di lengannya, menggeleng pelan. "Siapa kamu? Kami nggak kenal. Jangan bikin masalah. Kalau petugas tahu–"
Xander menyeringai tipis. Ia mengeluarkan ponselnya, memperlihatkan vidio yang baru direkam di gudang tadi: koper penuh uang, narkoba dan obat terlarang. Kamera juga sempat menangkap logo rumah sakit.
"Masih ragu? Ini bukti. Kalian diperlakukan seperti tikus percobaan. Kalau tetap di sini, kalian cuman tinggal nunggu mati."
Beberapa pasien menutup mulut, jelas terkejut. Yang lain mulai menangis pelan.
Seorang pasien wanita dengan suara bergetar bertanya, "Kalau... kalau kita ikut kamu, apa jaminannya kita bisa keluar hidup-hidup?"
Xander mendekat, menatapnya tajam. "Gue udah siapkan jalan keluar. Gue nggak datang buat main-main. Kalau mau tetap jadi korban, silahkan. Kalau mau bebas, ikut gue sekarang."
Keheningan sesaat menyelimuti ruangan. Lalu, pria paruh baya tadi perlahan bangkit dari ranjang. "Aku ikut."
Yang lain saling berpandangan, lalu satu per satu mulai melepaskan selimut dan duduk di kursi roda atau berdiri dengan sisa tenaga mereka. Akhirnya, semua sepuluh pasien itu memilih percaya.
"Bagus." Xander mengangguk "Ikuti jalur yang gue kasih. Jangan berhenti, jangan ngomong, dan jangan menoleh ke belakang. Mobil gue udah nunggu di parkiran barat. Kalau ada yang tanya, cukup bilang kalian dipindahkan. Gue akan urus sisinya."
Pasien wanita tadi menatapnya sekali lagi, kali ini dengan tatapan lebih yakin. "Terima kasih... Siapa pun lo."
Xander tersenyum samar, lalu berbalik. "Nama gue nggak penting. Yang penting, kalian bisa keluar dari neraka ini."
Dengan isyarat tangannya, ia memimpin mereka melewati lorong-lorong gelap rumah sakit, menuju jalan yang sudah ia atur sebelumnya.
Sepuluh pasien itu berjalan pelan mengikuti Xander. Suara roda kursi berdecit kecil di sepanjang lorong sepi. Mereka berusaha tidak menimbulkan suara, tapi rasa takut membuat napas mereka terdengar lebih keras dari biasanya.
Tiba-tiba–
"Berhenti! Siapa kalian?" suara seorang staf terdengar dari ujung lorong. Dua orang pria dengan jas putih berjalan cepat mendekat, wajah mereka penuh curiga.
Pasien-pasien itu spontan berhenti, tubuh mereka menegang. Seorang wanita bahkan mulai gemetar dan hampir menangis.
Xander mengangkat tangannya memberi isyarat diam. Ia melangkah maju satu langkah, menutupi pasien di belakangnya. "Kami di pindahkan ke ruang isolasi," ucapnya datar dengan suara berat, sengaja mengubah nada bicara agar terdengar berbeda.
Tapi staf itu tidak mudah percaya. "Perintah siapa? Kami nggak terima laporan apa pun!" salah satunya merogoh saku, hendak menekan tombol darurat di walkie–talkie.
Sret!
Dalam sepersekian detik, Xander bergerak. Ia menendang walkie–talkie hingga terlepas, lalu sikunya menghantam rahang pria pertama. Satu lagi mencoba melawan, tapi Xander sudah lebih cepat–mengunci lengannya, lalu menjatuhkannya ke lantai dengan cekatan.
Kedua staf itu terkapar, hanya bisa mengerang pelan. Pasien-pasien yang menyaksikannya adegan itu menutup mulut, takut berteriak.
Xander menoleh sebentar ke arah mereka. "Tenang. Mereka cuman pingsan. Sekarang jalan!"
Dengan langkah tergesa, rombongan itu melanjutkan perjalanan melewati lorong belakang rumah sakit. Beberapa kali mereka hampir berpapasan dengan suster jaga, tapi Xander selalu tahu jalur lain. Ia seperti sudah memetakan seluruh bangunan ini di kepalanya.
Akhirnya, mereka tiba di parkiran barat. Sebuah mini bus hitam dengan kaca gelap terparkir rapi. Pintu sampingnya sudah terbuka lebar.
"Cepat naik!" perintah Xander.
Satu per satu pasien masuk ke dalam. Kursi empuk dan ruang cukup luas membuat mereka bisa langsung duduk dengan lega. Beberapa langsung menangis lega, sebagian lain berulang kali mengucapkan terima kasih.
Xander menutup pintu mini bus setelah semuanya masuk, lalu menoleh ke arah bangunan Dream Hospital yang masih berdiri angkuh. Matanya menyepit, penuh tekad.
"Ini baru permulaan," gumamnya dingin, sebelum masuk ke kursi kemudi dan menyalakan mesin.