Alya adalah gadis muda yang tumbuh dalam hidup penuh luka. Sejak kecil ia terbiasa dibully di sekolah dan hidup di bawah bayang-bayang ayah yang terlilit utang. Puncaknya, Alya hampir dijual untuk bekerja di sebuah bar demi melunasi utang sang ayah. Di tempat itulah hidupnya mulai berubah ketika ia tanpa sengaja bertemu Zavian—seorang mafia berusia 29 tahun, pemimpin perusahaan besar, sosok dingin dan berwibawa yang menyimpan dendam mendalam akibat kehilangan adik tercintanya di masa lalu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mga_haothe8, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
"Hari-Hari yang Tetap Dijalaninya"
Pagi itu, Alya bangun dengan tubuh yang terasa asing.
Pipi kirinya sedikit bengkak, warna keunguan samar masih tertinggal meski sudah ditutup bedak tipis. Lengannya pegal, bukan karena kerja kemarin, tapi karena malam sebelumnya ayahnya kehilangan kendali. Tidak sampai membuatnya masuk rumah sakit, tapi cukup untuk meninggalkan bekas—di kulit dan di hati.
Ia berdiri di depan cermin kos yang buram, menatap pantulan dirinya sendiri.
*Aku masih harus berangkat,* pikirnya.
Tidak ada waktu untuk memikirkan “kenapa”. Hidup Alya tidak pernah memberi ruang untuk itu.
Ia mengenakan seragam sekolah, lalu melipat baju kerja kafenya rapi di tas. Pagi sekolah, siang hingga sore di kafe. Setiap hari seperti itu. Tubuhnya sering protes, tapi ia memaksa diam.
Di sekolah, Alya sudah hafal cara berjalan: kepala sedikit menunduk, langkah cepat, mata menghindari siapa pun yang terlalu lama menatap.
Namun, sekolah tidak pernah benar-benar membiarkannya lewat tanpa luka.
“Heh, itu anaknya si tukang mabuk, kan?”
Bisikan itu tidak pelan. Tidak pernah pelan.
Alya duduk di bangku paling belakang. Tasnya ia peluk erat. Beberapa murid tertawa kecil. Ada yang sengaja menendang kursinya dari belakang.
“Kabarnya dulu kerja di bar, ya?” suara seorang siswi terdengar nyaring. “Pantesan duitnya cepet.”
Tawa pecah.
“Kerja apa, sih, di bar malam? Nyanyi doang?”
“Atau nemenin om-om?”
Kata-kata itu seperti pisau kecil, satu per satu, menusuk tanpa darah tapi perihnya menetap.
Alya menunduk lebih dalam. Guru masuk kelas, dan semua kembali seolah tidak terjadi apa-apa. Seperti biasa, Alya belajar dalam diam, mencatat, menjawab jika ditanya—berpura-pura hidupnya normal.
---
Di jam istirahat, Alya tidak pernah ke kantin.
Ia memilih duduk di tangga belakang gedung kelas, tempat cat dinding mengelupas dan jarang dilewati guru. Di sanalah ia biasanya makan roti murah sambil menunduk, berharap waktu berjalan lebih cepat.
Hari itu harapannya gagal.
“Heh, Alya.”
Suara itu membuat bahunya menegang. Tiga siswi berdiri di depannya. Salah satunya menyilangkan tangan, menatap wajah Alya dengan senyum miring.
“Kamu tutupin apa sih?” kata yang lain sambil menunjuk pipi Alya. “Bekas ditampar bokapmu lagi?”
Alya berdiri hendak pergi, tapi seseorang mendorong bahunya keras hingga punggungnya membentur dinding.
“Jangan sok suci,” desis siswi pertama. “Dulu kerja di bar, sekarang pura-pura jadi anak baik.”
“Ayahnya tukang mabuk, anaknya jual badan,” tambah yang lain sambil tertawa.
“Cocok, kan?”
Salah satu dari mereka menarik tas Alya dan menjatuhkannya ke lantai. Buku-bukunya berserakan. Ada yang menginjaknya dengan sengaja.
“Eh, ini buku pelajaran?”
“Buat apa? Emang otak kamu kepake? kan yang kepake goyangan”
Tawa mereka pecah lagi.
Alya berlutut memunguti bukunya, tangan gemetar. Ia tidak melawan. Tidak membalas. Pengalaman mengajarkannya bahwa melawan hanya membuat segalanya lebih buruk.
“Kasihan ya,” kata salah satu dari mereka, berpura-pura iba. “Sekolah tapi mikirnya duit doang. Takut bokapnya ngamuk lagi.”
Sebelum pergi, seseorang menendang botol minumnya hingga airnya tumpah ke seragam Alya.
“Kotor. Kayak hidupmu.”
Mereka pergi seolah tidak melakukan apa-apa.
Alya duduk lama di lantai, napasnya pendek-pendek. Matanya perih, tapi tidak ada air mata yang jatuh. Menangis di sekolah hanya akan memberi mereka kemenangan lain.
Bel masuk berbunyi.
Ia berdiri, merapikan seragam basahnya seadanya, lalu masuk kelas dengan kepala tertunduk. Tidak ada guru yang bertanya. Tidak ada teman yang peduli.
Siang itu, saat Alya berdiri di balik Kafe Senyawa, Mira sempat memperhatikan memar samar di pergelangan tangannya.
“Kamu jatuh?” tanyanya singkat.
Alya mengangguk. “Iya, Mbak.”
Mira tidak mendesak. Hanya menyerahkan lap bersih.
“Kalau capek, tarik napas. Jangan pecah di jam kerja.”
Alya mengangguk lagi.
Ia mengelap meja, menyeduh kopi, melayani pelanggan—dan untuk beberapa jam, ia bukan anak tukang mabuk. Bukan bahan ejekan. Bukan sasaran amarah.
Ia hanya Alya.
Seseorang yang bekerja.
Seseorang yang bertahan.
Tidak ada yang tahu bahwa setiap pulang sekolah, ia langsung berganti peran. Dari siswi menjadi pekerja. Dari target ejekan menjadi seseorang yang harus tersenyum pada pelanggan.
Di Kafe Senyawa, hari-harinya tetap berat.
Tangannya masih sedikit gemetar saat memegang cangkir, tapi ia tidak salah lagi seperti hari pertama. Mira masih dingin, masih tajam, tapi koreksinya kini lebih singkat.
“Lebih rapi.”
“Ulangi.”
“Bagus. Pertahankan.”
Satu kata terakhir itu cukup membuat Alya bertahan hari itu.
Ia pulang larut, tubuhnya remuk. Di rumah, ayahnya sudah tidur, botol masih ada di meja. Tidak ada permintaan maaf. Tidak pernah ada.
Alya masuk kamar, mengganti baju, lalu membuka buku pelajaran. Ia belajar dengan mata berat, sesekali air mata jatuh ke kertas tanpa suara.
Ia lelah. Sangat.
Tapi ada satu hal yang tidak berubah.
Meski dipukul, ia tetap berangkat kerja.
Meski diejek, ia tetap bersekolah.
Meski dunia seperti ingin mendorongnya jatuh, Alya tetap berjalan.
Bukan karena ia kuat.
Tapi karena jika ia berhenti, tidak ada siapa-siapa yang akan menangkapnya.
Di suatu sore, Mira memperhatikan Alya dari balik bar. Melihat cara gadis itu tetap bekerja meski matanya sembab, meski bahunya menurun.
“Dia datang lagi,” gumamnya.
Zavian yang kebetulan singgah hanya mengangguk pelan.
“Orang yang paling sulit dipatahkan,” katanya, “adalah yang tidak punya pilihan selain bertahan.”
Alya tidak tahu itu.
Yang ia tahu hanyalah satu hal sederhana yang terus ia ulang dalam hati setiap hari:
*Sedikit lagi. Bertahan sedikit lagi.*
Dan mungkin—hanya mungkin—di balik semua luka yang tidak terlihat, hari esok tidak akan selalu sekeras hari ini....semoga saja