Kirana Larasati, gadis yang baru saja lulus SMA, harus menghadapi kenyataan pahit. Adiknya menderita sakit kanker, namun masalah ekonomi membuat adiknya terpaksa dirawat di rumah sendiri. Kirana ingin bekerja dan membantu orang tuanya. Suatu hari, tetangganya bernama Lilis menawarkannya pekerjaan sebagai pengasuh anak.
Kirana bertemu dengan Bastian Rajendra, seorang duda yang memiliki satu anak perempuan bernama Freya Launa.
Awalnya, Kirana hanya berniat bekerja untuk mendapatkan uang demi pengobatan adiknya. Namun, kedekatan Kirana dengan Freya, serta tanggung jawabnya yang besar, membuat Bastian mengambil keputusan tak terduga. Bastian menawarkan sebuah pernikahan kontrak dengan janji akan menanggung seluruh biaya pengobatan adiknya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nur Sabrina Rasmah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
"kata nya mau mandiin saya"
Tak lama kemudian, Bastian kembali ke mobil membawa kantong kecil dari apotek dan beberapa kotak es krim sebagai "sogokan" agar Freya tidak protes saat sesampainya di rumah nanti. Mobil pun melaju tenang hingga akhirnya berhenti di halaman rumah mereka.
Begitu turun dari mobil, Kirana baru saja akan melangkah tertatih saat Bastian sudah bersiap ingin menggendongnya lagi.
"Jangan, Mas! Saya masih bisa jalan sendiri kalau cuma sampai ruang tengah," tolak Kirana cepat sambil memegang tangan Freya sebagai tumpuan. Bastian akhirnya hanya mengawasi dari belakang dengan tangan yang siap siaga berjaga di pinggang istrinya.
Sesampainya di dalam, suasana rumah yang biasanya terasa kaku bagi Kirana kini terasa berbeda. Ada kehangatan baru yang menyelimuti.
"Mama! Ayo main boneka di karpet! Papa tidak boleh ikut karena Papa suka bikin istananya roboh," ajak Freya sambil menarik-narik ujung dress Kirana menuju ruang keluarga yang beralaskan karpet bulu tebal.
Kirana tertawa, melupakan rasa nyerinya sejenak. "Siap, Tuan Putri! Mari kita buat istana yang paling besar."
Kirana duduk selonjoran di karpet, sementara Freya sibuk mengeluarkan semua koleksi boneka dan balok susunnya. Mereka mulai tenggelam dalam dunia imajinasi. Kirana sesekali meringis pelan saat pergelangan kakinya tersenggol, namun tawa riang Freya menjadi obat yang paling ampuh.
Bastian tidak langsung masuk ke ruang kerjanya. Ia melepas jam tangan dan melonggarkan dua kancing teratas kemejanya, lalu duduk di sofa tepat di belakang Kirana, mengamati interaksi dua orang yang paling berharga di hidupnya itu.
"Papa! Lihat, Mama buatkan menara tinggi sekali!" seru Freya bangga.
"Bagus sekali. Tapi sepertinya Mama harus istirahat sebentar," ucap Bastian. Ia tiba-tiba turun dari sofa dan duduk di karpet tepat di belakang Kirana.
"Lho, Mas mau ngapain?" tanya Kirana waspada saat merasakan punggungnya bersentuhan dengan dada bidang Bastian.
"Lanjutkan saja mainnya sama Freya. Saya cuma mau memijat kakimu," jawab Bastian santai sambil menarik pelan kaki Kirana yang terkilir ke atas pangkuannya.
Kirana membeku. Di depan sana, Freya sedang asyik menumpuk balok, sementara di belakangnya, Bastian mulai mengoleskan minyak urut ke pergelangan kakinya. Sentuhan tangan Bastian yang hangat dan gerakan memijatnya yang sangat lembut membuat Kirana kehilangan kata-kata.
"Mas... tidak perlu sampai begini, saya malu dilihat Freya," bisik Kirana dengan suara bergetar.
Bastian mendongak, menatap mata Kirana dengan tatapan yang sangat dalam, jauh dari kesan menggoda yang tadi ia tunjukkan di mobil. "Biarkan saja. Freya harus tahu kalau Papanya sangat menyayangi Mamanya. Diamlah, Kirana. Nikmati saja pelayanannya."
Kirana akhirnya menyerah, ia membuang muka ke arah Freya yang sedang tertawa, mencoba menyembunyikan senyum haru yang mulai muncul. Di tengah riuh rendah suara mainan dan tawa Freya, Kirana merasakan pijatan lembut Bastian di kakinya dan dekapan hangat pria itu di punggungnya.
"Terima kasih, Mas," bisik Kirana hampir tak terdengar.
Bastian berhenti memijat sejenak, lalu mengecup bahu Kirana sekilas. "Sama-sama, Pengasuh kesayangan saya."
"MAS BASTIAN!" jerit Kirana tertahan sambil melempar boneka kelinci Freya ke wajah suaminya, membuat Freya ikut tertawa terpingkal-pingkal melihat Papanya terkena serangan boneka. Di rumah itu, untuk pertama kalinya, Kirana merasa benar-benar telah pulang.
Anjingggggg bajindul bener si babi! batin Kirana kesal sekali. Ia benar-benar tidak habis pikir bagaimana bisa pria yang dulunya sedingin es kutub utara sekarang bertransformasi menjadi spesies "babi mesum" yang jago sekali mencuri kesempatan dalam kesempitan.
Bastian hanya terkekeh pelan sambil menangkap boneka kelinci yang membal mental dari wajahnya. Ia sama sekali tidak terlihat tersinggung, justru wajahnya memancarkan kepuasan yang luar biasa setelah berhasil membuat Kirana tersenyum.
"Nah, begitu dong senyum," ucap Bastian. Ia melepaskan kaki Kirana dari pangkuannya. "Saya ke dapur dulu ya, mau membuatkan teh hangat untukmu dan mengambil es krim untuk Freya."
Ia berdiri dengan gerakan anggun, merapikan sedikit kemejanya yang agak berantakan. Sebelum benar-benar pergi ke dapur, Bastian mengusap puncak kepala Freya.
"Papa pergi sebentar ya, Sayang," ucapnya lembut.
Freya mengangguk antusias. "Oke, Papa! Jangan lupa es krim vanila!"
Bastian tersenyum dan berjalan menuju dapur.
Kirana melongo, mulutnya terbuka sedikit saking kagetnya dengan perubahan sikap Bastian. Ia menatap punggung Bastian dengan pandangan kosong. Dia benar-benar... berubah.
"Mama Ana? Ayo pasang kepalanya! Istananya belum jadi!" panggil Freya sambil menyodorkan kepala boneka plastik.
Kirana tersentak, mencoba kembali ke dunia nyata. Ia menerima boneka itu dengan tangan gemetar. "I-iya, sayang... kita pasang kepalanya. Ayo, kita lanjutkan membuat istana terhebat di dunia!"
Kirana tersenyum, hatinya terasa hangat melihat Freya yang kembali ceria. Di rumah itu, untuk pertama kalinya, Kirana merasa benar-benar telah pulang.
Kirana baru saja akan menyusun balok terakhir di puncak istana saat suara langkah kaki Bastian kembali terdengar. Pria itu berdiri di ambang pintu ruang keluarga, namun kali ini ia tidak membawa nampan. Ia hanya bersandar santai di kosen pintu dengan tangan masuk ke saku celana.
"Sudah hampir sore. Freya, ayo mandi," perintah Bastian tenang.
Freya langsung cemberut, memeluk boneka kelincinya erat-earat. "Bentar lagi, Papa. Istananya belum selesai!"
"Tidak ada nanti-nanti. Mama kamu juga harus mandi dan istirahat supaya kakinya cepat sembuh," Bastian melirik Kirana dengan tatapan yang—lagi-lagi—sulit diartikan.
Kirana yang merasa tidak enak karena kakinya sedang "manja", segera menimpali untuk membujuk Freya. "Iya sayang, ayo kita mandi dulu. Nanti kalau sudah wangi, kita lanjut main lagi, oke?"
"Sama Mama Ana?" tanya Freya dengan mata berbinar.
"Tentu saja," jawab Kirana mantap.
"Oke kalau begitu, kita mandi dulu ya, Freya!" seru Kirana sambil mencoba bangkit berdiri dengan bantuan tangan kursi.
Melihat Kirana bersiap-siap, Bastian justru berjalan mendekat. Ia tidak membantu Kirana berdiri, melainkan berdiri tepat di depan istrinya itu dengan senyum miring yang mendadak membuat bulu kuduk Kirana berdiri.
"Bagus kalau kamu sudah setuju," ucap Bastian rendah.
Kirana mengernyit bingung. "Setuju apa? Ya setuju mandi lah, biar segar. Memangnya kenapa?"
Bastian sedikit membungkuk, membisikkan sesuatu tepat di samping telinga Kirana sementara Freya sibuk membereskan satu-dua balok di dekat mereka. "Tadi pagi kamu bilang mau mandiin saya, kan? Kebetulan badan saya agak pegal. Jadi... jadwal mandinya barengan sekarang?"
Deg!
Kirana nyaris terjungkal ke belakang kalau saja tangan Bastian tidak sigap menangkap tengkuknya. Mata Kirana melotot sempurna, jantungnya serasa mau melompat keluar dari tenggorokan.
"MAS BASTIAN! Sumpah ya, otak Mas beneran perlu diservis ke bengkel!" sembur Kirana dengan suara tertahan agar tidak terdengar Freya. "Maksud saya itu mandiin Freya! FRE-YA! Bukan bapaknya!"
Bastian tertawa rendah, suara basnya terdengar sangat seksi namun menyebalkan di telinga Kirana. "Oh, salah dengar ya? Padahal saya sudah berharap banyak."
"Papa! Mama! Ayo!" Freya sudah berdiri di dekat tangga, menatap kedua orang tuanya dengan bingung. "Katanya mau mandi?"
Bastian menegakkan tubuhnya, kembali ke mode 'Papa Wibawa' dalam sekejap. "Iya sayang, ayo. Biar Papa yang gendong Mama ke atas, soalnya kaki Mama masih sakit. Freya jalan di depan ya?"
Tanpa menunggu persetujuan, Bastian langsung mengangkat Kirana dalam gendongan bridal style. Kirana hanya bisa mencengkeram kemeja Bastian kuat-kuat, menyembunyikan wajahnya yang sudah semerah tomat di dada pria itu.
Bajindul! Babi satu ini bener-bener nggak kasih napas buat jantung gue! batin Kirana frustrasi, sementara Bastian justru mengecup keningnya sekilas sambil terus melangkah naik ke lantai dua.
di bab sblm nya jg gitu aku masih diem..eeh ini ketemu lg..kesel sm majikan boleh² aja tp g mesti ngebatin dengan kata² kotor.