NovelToon NovelToon
ADOPSI YANG MENJADI OBSESI

ADOPSI YANG MENJADI OBSESI

Status: sedang berlangsung
Genre:Cinta Terlarang / Crazy Rich/Konglomerat / Obsesi / Beda Usia / Cinta Seiring Waktu / Menyembunyikan Identitas
Popularitas:456
Nilai: 5
Nama Author: frj_nyt

Ia ditemukan di tengah hujan, hampir mati, dan seharusnya hanya menjadi satu keputusan singkat dalam hidup seorang pria berkuasa.

Namun Wang Hao Yu tidak pernah benar-benar melepaskan Yun Qi.

Diadopsi secara diam-diam, dibesarkan dalam kemewahan yang dingin, Yun Qi tumbuh dengan satu keyakinan: pria itu hanyalah pelindungnya. Kakaknya. Penyelamatnya.
Sampai ia dewasa… dan tatapan itu berubah.

Kebebasan yang Yun Qi rasakan di dunia luar ternyata selalu berada dalam jangkauan pengawasan. Setiap langkahnya tercatat. Setiap pilihannya diamati. Dan ketika ia mulai jatuh cinta pada orang lain, sesuatu dalam diri Hao Yu perlahan retak.

Ini bukan kisah cinta yang bersih.
Ini tentang perlindungan yang terlalu dalam, perhatian yang berubah menjadi obsesi, dan perasaan terlarang yang tumbuh tanpa izin.

Karena bagi Hao Yu, Yun Qi bukan hanya masa lalu

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon frj_nyt, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

23

Berita itu meledak sebelum matahari benar-benar tinggi. Judul-judul besar memenuhi layar ponsel, papan iklan digital di stasiun, dan layar televisi di kafe-kafe kampus.

WANG HAO YU KEMBALI KE TANAH AIR. KABAR TUNANGAN MENYUSUL.

CEO KONGLOMERAT WANG GROUP DIDUGA AKAN MENIKAH TAHUN INI.

Nama itu yang selama lima tahun terakhir hanya hidup samar di sudut ingatan Yun Qi tiba-tiba kembali dengan cara yang begitu kasar, seolah tidak peduli apakah ia siap atau tidak. Yun Qi sedang duduk di meja belajar asrama ketika An Na berteriak kecil dari ranjang atas. Xiao Lan dia sudah tidak tinggal di asrama dia tinggal bersama orang tuannya. keluarga nya membeli rumah tak jauh dari kampus mereka.

“QI! KAMU HARUS LIHAT INI!” Nada suaranya bukan sekadar heboh. Ada campuran kaget, penasaran, dan sesuatu yang sulit dijelaskan. Yun Qi mengangkat kepala dari buku statistik yang terbuka di depannya. “Apa sih?” tanyanya, malas-malasan.

An Na melompat turun, ponselnya sudah di tangan, layar menghadap Yun Qi. “Ini! CEO super kaya itu Wang Hao Yu balik ke negara ini. Katanya udah tunangan.” Nama itu menghantam Yun Qi lebih keras dari yang ia duga. Tangannya yang memegang pena berhenti. Detik itu juga, suara asrama tawa, obrolan, langkah kaki di koridor terasa menjauh, seolah ia tenggelam di dalam air. “…siapa?” tanyanya, padahal ia tahu betul.

“Wang Hao Yu. Kamu nggak pernah denger?” An Na mengerutkan dahi. “Dia legend banget. Dulu pergi ke luar negeri, sekarang balik. Media rame banget.”

Yun Qi menelan ludah. “Oh.” Satu suku kata itu keluar terlalu pelan, terlalu datar. Ia mengalihkan pandangan ke layar ponsel. Foto itu muncul jelas terlalu jelas. Seorang pria berdiri di depan gedung kaca tinggi, setelan hitam sempurna, wajah dingin, mata tajam. Lebih dewasa. Lebih asing. Tapi tidak berubah di tempat yang paling menyakitkan. Itu dia. Gege…

Panggilan itu muncul di kepalanya tanpa izin. “Katanya sih tunangannya dari keluarga elite juga,” lanjut An Na, antusias tanpa menyadari perubahan wajah Yun Qi. “Cocok lah, sama-sama kaya. Dunia mereka tuh beda sama kita.” Yun Qi tersenyum tipis. Senyum yang terasa kaku di pipinya. “Iya,” katanya. “Pasti beda lah.”

Ia menunduk kembali ke bukunya, tapi angka-angka itu tidak lagi bermakna. Barisan data di halaman tampak kabur, huruf-hurufnya seolah menari. Napasnya terasa lebih pendek. Di sudut pikirannya, kenangan lama mulai merangkak naik, apartemen yang terlalu besar, suara langkah kaki yang jarang terdengar, punggung pria dewasa yang selalu menjauh tapi tak pernah benar-benar pergi. Dia sudah tunangan. Kalimat itu berulang-ulang, seperti ketukan kecil yang pelan tapi konsisten. 

Di gedung Wang Group, suasana jauh dari kata tenang. Ruang rapat utama dipenuhi layar besar yang menampilkan potongan berita, grafik saham yang bergerak naik turun, dan wajah Hao Yu sendiri dipotret dari berbagai sudut, sebagian tanpa izin. Lin Zhe berdiri di samping meja, tablet di tangan. “Respon publik campur, tapi mayoritas positif. Saham naik dua persen sejak pagi. Isu tunangan—”

“Bukan isu,” potong Hao Yu. Suaranya rendah, tegas. Ia duduk di kursi kepala meja, jari-jarinya saling terkait. Wajahnya tetap tenang, tapi sorot matanya dingin. Lin Zhe terdiam sejenak sebelum melanjutkan. “Baik. Kabar tunangan resmi belum dikonfirmasi, tapi keluarga pihak sana sudah memberi sinyal ke media.”

“Biarkan,” kata Hao Yu. “Media terus menekan. Mereka ingin pernyataan.” Hao Yu menatap layar di depannya sebuah artikel yang menampilkan wajahnya berdampingan dengan siluet wanita yang sengaja dibuat kabur. “Beri pernyataan standar. Fokus pada bisnis.”

Lin Zhe mengangguk, lalu ragu sejenak. “Tentang… Yun Qi.” Nama itu membuat Hao Yu mengangkat kepala. “Dia sudah melihat beritanya,” lanjut Lin Zhe hati-hati. “Lingkaran kampusnya ramai membicarakan ini.”

“Dia—” Hao Yu berhenti. Rahangnya mengeras. “Bagaimana reaksinya?”

“Tidak ada reaksi ekstrem. Aktivitasnya normal. Tapi…” Lin Zhe memilih kata dengan hati-hati. “Dia terlihat lebih pendiam hari ini.” Keheningan jatuh di ruang rapat. Hao Yu menyandarkan punggung, menatap langit-langit sejenak. Dadanya terasa berat, bukan karena kejutan ia sudah memperkirakan reaksi media melainkan karena satu hal kecil yang tidak bisa ia kontrol: perasaan seorang gadis yang pernah memanggilnya Gege dengan suara pelan. “Terus pantau,” katanya akhirnya. “Tanpa intervensi.” Lin Zhe mengangguk, meski tahu perintah itu hanya berlaku di atas kertas.

Sore hari, Yun Qi berjalan keluar kampus bersama Chen Rui. Matahari mulai condong ke barat, cahaya jingga menyapu pepohonan dan bangunan tua. Biasanya, momen seperti ini membuatnya merasa ringan. Hari ini tidak. “Kamu kelihatan capek,” kata Chen Rui sambil meliriknya. “Kuliah berat?” Yun Qi mengangguk. “Sedikit.”

Chen Rui tertawa kecil. “Ayo makan di luar. Jangan mikirin tugas terus.” Ia mengiyakan tanpa benar-benar berpikir. Mereka berjalan berdampingan, tapi jarak di antara mereka terasa lebih jauh dari biasanya. Setiap kali Chen Rui berbicara, Yun Qi menjawab, tapi pikirannya melayang.

Di layar ponsel yang bergetar di saku tasnya, notifikasi berita terus bermunculan. Ia tidak membukanya lagi. Satu kali sudah cukup. “Qi,” panggil Chen Rui tiba-tiba, menghentikan langkah. “Kamu dengar berita itu, kan?” Yun Qi terkejut. “Berita apa?”

“Yang CEO itu,” katanya santai. “Wang Hao Yu. Kampus rame banget. Ada yang bilang dia sugar daddy mahasiswa—”

“Bukan,” potong Yun Qi terlalu cepat. Chen Rui mengangkat alis. “Hah?”

“Bukan… maksudku,” Yun Qi menarik napas, mencoba menenangkan diri. “Itu cuma gosip.” Chen Rui mengangkat bahu. “Iya sih. Orang kaya selalu jadi bahan omongan. Lagian, dunia mereka beda.”

Kalimat itu kembali menusuk. Dunia mereka beda. Yun Qi tersenyum tipis. “Iya.” Chen Rui meraih tangannya, menggenggam dengan ringan. Hangat. Nyata. Tapi entah kenapa, Yun Qi tidak merasa sepenuhnya di sini.

Malam itu, Hao Yu berdiri di depan jendela apartemennya, memandangi kota yang berkilau di bawah. Lampu-lampu kecil seperti bintang palsu, berderet rapi, terkendali. Di tangannya, segelas minuman yang tidak ia sentuh sejak dituangkan. Di layar tablet di meja, laporan terbaru terbuka. Foto-foto Yun Qi hari ini berjalan di kampus, duduk di perpustakaan, makan malam dengan seorang pria.

Ia menutup layar. “Tunangan,” gumamnya pelan. Kata itu terasa asing di lidahnya. Ia tahu pernikahan adalah alat. Aliansi. Strategi. Sesuatu yang logis. Selama bertahun-tahun, ia tidak pernah mempertanyakan itu. Sampai sekarang.

Bayangan Yun Qi kecil kurus, basah kuyup, menatapnya dengan mata besar yang takut tapi berharap muncul tanpa diundang. Lalu bayangan Yun Qi dewasa, tersenyum kecil pada pria lain. Tangannya mengepal. “Ini tidak seharusnya begini,” katanya pada dirinya sendiri. Tapi pikirannya tidak setuju.

Di asrama, Yun Qi berbaring telentang, menatap langit-langit. Ponselnya diletakkan terbalik di samping bantal. Ia tahu, jika ia membukanya, berita itu masih ada. Nama itu masih ada. 'Dia akan menikah'. Pikiran itu membuat dadanya sesak, dan ia tidak tahu kenapa. 'Bukankah itu wajar? Bukankah itu memang seharusnya terjadi?' Ia memejamkan mata, mencoba tidur, tapi bayangan masa lalu dan suara masa kini bercampur jadi satu.

Di kota yang sama, dua orang terjaga di malam yang sama dipisahkan oleh jarak, waktu, dan kebenaran yang belum diucapkan. Dan kabar tunangan itu, yang awalnya hanya berita, perlahan berubah menjadi retakan kecil. Retakan yang akan melebar.

1
@fjr_nfs
tinggalkan like dan Komen kalian ☺❤️‍🔥
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!