Dia memilihnya karena dia "aman". Dia menerima karena dia butuh uang. Mereka berdua tak siap untuk yang terjadi selanjutnya. * Warisan miliaran dollar berada di ujung sebuah cincin kawin. Tommaso Eduardo, CEO muda paling sukses dan disegani, tak punya waktu untuk cinta. Dengan langkah gila, dia menunjuk Selene Agueda, sang jenius berpenampilan culun di divisi bawah, sebagai calon istri kontraknya. Aturannya sederhana, menikah, dapatkan warisan, bercerai, dan selesai. Selene, yang terdesak kebutuhan, menyetujui dengan berat hati. Namun kehidupan di mansion mewah tak berjalan sesuai skrip. Di balik rahasia dan kepura-puraan, hasrat yang tak terduga menyala. Saat perasaan sesungguhnya tak bisa lagi dibendung, mereka harus memilih, berpegang pada kontrak yang aman, atau mempertaruhkan segalanya untuk sesuatu yang mungkin sebenarnya ada?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon zarin.violetta, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tak Ada Dalam Pelatihan
Selene dan Tom akhirnya pergi ke mansion Kakek Lorenzo. Perjalanan keduanya terasa hening karena Tom hanya diam sepanjang perjalanan.
Selene pun tak berani memulai pembicaraan karena dia tak ingin Tom menganggapnya cerewet. Setelah beberapa menit, mereka tiba di sebuah rumah seperti kastil.
Rumah itu begitu megah meskipun terlihat vintage. Ketika mobil berhenti tepat di halaman, Tom mematikan mesin mobilnya.
Dia tak langsung keluar, melainkan menoleh pada Selene dan menangkap dagunya. Selene melebarkan matanya.
“Panggil aku dengan ekspresi cinta terbaikmu,” kata Tom menatap tajam mata Selene.
Selene menelan ludahnya dan napasnya tercekat. Lalu Selene memenjamkan matanya sejenak. Tak lama, dia membukanya kembali.
“Carino,” ucapnya pelan dan lembut. Dia berhasil mengucapkannya.
Lalu Tom mendekatkan wajahnya. Selene meremas pakaiannya.
“Kau harus bersiap untuk ini,” bisik Tom.
“Bukankah ini tidak ada di dalam kontrak?”
“Kau melewatkan poin ‘bersikap mesra’ di depan umum? Yang tak ada di dalam kontrak adalah berhubungan intim, Cara.”
Selene selalu merinding setiap Tom memanggilnya Cara. Dia tahu bahwa dia tak boleh merasakan hal yang lebih pada Tom, dan dia berusaha kuat untuk menolak pesonanya meskipun itu sulit.
“Lalu? Kita harus berciuman, begitu? Untuk hal ini, aku belum dapat pelatihan.” Selene menunduk, suaranya terdengar ragu.
Tom mengenyit, lalu seperti menahan tawanya. Seperti sedang mengejek Selene, tapi Selene tak bisa marah padanya.
“Kau … tak pernah berciuman?”
Selene mengangkat kepalanya. “Apakah itu hal yang wajib dilakukan semua orang?” suaranya terdengar kesal, tapi dia berusaha meredamnya.
Tom kembali menatapnya lagi. Jaraknya semakin dekat dan wangi maskulinnya memenuhi indera penciuman Selene.
“Coba cium aku,” kata Tom. Selene seperti melihat ekspresi meremehkan dan mengejek dari Tom.
Selene tak bergerak, tampaknya masih mencerna dan mempersiapkan mentalnya.
“Jika kau tak bisa melakukan ini, maka—“
CUP
Selene mengecup bibir Tom dengan cepat dan matanya tertutup. Wajahnya merah seperti udang rebus.
Tom melepaskan dagu Selene dan kemudian tertawa terbahak-bahak. Baru kali itu Selene mendengar tawa Tom dan melihat ekspresinya yang berbeda dari biasanya.
Selene ingin berteriak, tapi tak bisa. Dia menutup wajahnya dengan kedua tangannya dan menoleh ke arah jendela mobil.
Selene merasa begitu malu. Amat sangat malu. Dalam hal ini, tampaknya Selene gagal. Dan dia mulai menyadari itu.
‘Tidak, aku tak boleh gagal. Simpan rasa malumu, Sel!’ teriaknya pada dirinya sendiri.
Lalu Selene membuka tangannya dan menoleh pada Tom lagi. Tapi, sebelum dia akan mencium Tom lagi, merevisi ciumannya tadi, Tom sudah terlebih dulu menangkup rahangnya dan menyesap bibirnya.
Ciuman itu begitu lembut, dan membuat tubuh Selene berdesir. Dadanya berdebar kencang hingga tak sadar tangannya mencengkeram kerah jas Tom.
“Begitulah caranya,” bisik Tom ketika bibir mereka masih menempel.
Lalu Tom melepaskan ciumannya dan mengusap bibir basah Selene. “Sudah mengerti?” tanyanya santai dan tenang.
Selene hanya mengangguk saja, tak bisa berucap apa pun karena suaranya pasti bergetar karena ciuman tadi.
“Ayo, kakek sudah menunggu.” Lalu Tom keluar dan dia membukakan pintu Selene. Setelah itu tangannya terulur pada Selene.
Selene menjabatnya dengan perlahan dan berjalan bersamanya, masuk ke dalam mansion Lorenzo Eduardo.
Dadanya masih berdebar tak karuan, dan dia sedikit kesal melihat sikap tenang dan dingin Tom seolah pria itu tak merasakan dampak apa pun dari ciuman tadi.
*
*
pasti keinginanmu akan tercapai..