Novel ini akan mengisahkan tentang perjuangan Lucas Alarik yang menunggu sang kekasih untuk pulang kepelukannya. Mereka berjarak terhalang begitulah sampai mungkin Lucas sudah mulai ragu dengan cintanya.
Akankah Mereka bertemu kembali dengan rasa yang sama atau malah asing?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon lee_jmjnfxjk, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 21.Rumah yang Kosong, Kota yang Asing
Danu berdiri di depan rumah itu lebih lama dari yang ia rencanakan.
Pagar besi hitam tertutup rapat. Tidak ada suara dari dalam. Tidak ada tanda-tanda kehidupan. Rumah Gio—yang biasanya sunyi tapi selalu terasa ada orang di dalamnya—kini seperti bangunan yang ditinggalkan begitu saja.
Ia menekan bel.
Sekali.
Dua kali.
Tidak ada jawaban.
Danu menghela napas, lalu mengeluarkan ponselnya. Menelepon. Tidak diangkat. Mengirim pesan. Terkirim, tapi hanya satu centang yang menyala.
Perasaan aneh yang sejak kemarin ia abaikan kini naik pelan ke dadanya. Ia mengintip lewat sela pagar—halaman bersih, terlalu bersih. Tidak ada motor. Tidak ada sepatu di teras. Pot kecil yang biasanya dirawat Gio tampak kering, tanahnya retak.
“Gio…” gumamnya lirih.
Ia mengetuk pintu, lebih keras kali ini, meski tahu tidak akan ada yang membuka. Sunyi menjawabnya dengan kejam. Tidak ada pamit. Tidak ada pesan. Tidak ada apa pun yang bisa ia pegang.
Baru sekarang Danu menyadari satu hal yang menyakitkan:
Gio tidak sekadar menjauh.
Gio menghilang.
Tangannya mengepal tanpa sadar. “Lu ke mana…?” ucapnya pelan, seperti berharap rumah itu tiba-tiba menjawab.
...****************...
Bandara di Jepang terasa dingin dan terlalu luas bagi Gio.
Langkahnya pelan, bahunya turun. Mual kembali datang—lebih kuat dari sebelumnya. Ia berhenti sejenak, memegangi perutnya, menunduk sambil menarik napas pendek. Dunia terasa sedikit berputar.
“Gio.”
Suara itu membuatnya menoleh cepat.
Dua sosok berdiri tidak jauh darinya.
Yang pertama adalah Revan—wajah yang ia kenal sejak kecil, sorot mata yang lembut tapi tegas. Yang kedua berdiri sedikit di belakangnya, tubuh tegap, tatapan tajam, aura yang tidak bisa disembunyikan.
Athaya.
“Paman…” suara Gio bergetar. “Aya…”
Athaya menatapnya lama. Ada kelegaan yang tidak sepenuhnya bisa ia sembunyikan, tapi ia tidak berkata apa-apa. Revan melangkah lebih dulu.
“Kamu kelihatan pucat,” ucap Revan lembut. “Sudah makan?”
Gio menggeleng pelan. Tubuhnya gemetar, dan kali ini ia tidak cukup kuat untuk menahannya. Revan langsung menopangnya saat langkahnya goyah.
“Kita bawa dia dulu,” kata Revan pada Athaya dengan nada tenang.
Athaya mengangguk singkat. “Iya.”
Tidak ada pertanyaan. Tidak ada interogasi. Hanya tindakan cepat dan hati-hati.
Saat mereka berjalan, Gio menunduk. “Maaf… nyusahin,” ucapnya lirih.
“Kamu keluarga,” jawab Revan pelan. “Itu bukan menyusahkan.”
Athaya berjalan di sampingnya. “Kamu aman sekarang,” katanya singkat, tapi suaranya tidak sekeras biasanya.
Gio mengangguk. Matanya panas, tapi ia menahannya. Untuk saat ini, itu cukup.
...****************...
Di Jakarta, Lucas duduk berhadapan dengan Dewi di sebuah kafe yang sepi.
“Lu udah mikirin mau lanjut ke mana setelah lulus?” tanya Dewi sambil mengaduk minumannya.
Lucas menggeleng tanpa ragu. “Enggak.”
Dewi mengangkat alis. “Serius? Banyak yang langsung daftar.”
“Bukan prioritas gw,” jawab Lucas singkat.
“Kenapa?” Dewi menyandarkan dagu di tangannya. “Lu pinter. Sayang kalau berhenti.”
Lucas terdiam. Ia menatap meja, jarinya mengetuk pelan. “Gw gak bisa ninggalin hal-hal tertentu.”
Dewi tidak memaksa. “Kadang hidup gak nunggu kita siap,” katanya pelan. “Sekolah selesai, Lucas. Mau gak mau lu harus milih.”
Lucas menghela napas panjang. Kepalanya penuh—tentang ujian yang baru lewat, tentang Athaya yang semakin jauh, tentang rasa tidak tenang yang terus menghantui.
“Gw capek,” ucapnya jujur.
Dewi tersenyum kecil. “Kalau gitu, jangan jalan sendiri.”
Ia tidak menyentuh Lucas. Tidak perlu. Kalimat itu sudah cukup untuk membuat Lucas berhenti berpikir terlalu jauh.
Dan di sanalah kesalahan itu tumbuh—bukan karena niat buruk, tapi karena ia membiarkan seseorang lain mengisi ruang yang seharusnya ia jaga.
Sementara satu rumah di Jakarta tetap kosong,
satu keponakan akhirnya menemukan keluarga di negeri asing,
dan satu langkah kecil Lucas perlahan menggeser arah yang tidak akan mudah ia perbaiki.
—bersambung—