Kakak dan adik yang sudah yatim piatu, terpaksa harus menjual dirinya demi bertahan hidup di kota besar. Mereka rela menjadi wanita simpanan dari pria kaya demi tuntutan gaya hidup di kota besar. Ikuti cerita lengkapnya dalam novel berjudul
Demi Apapun Aku Lakukan, Om
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Naim Nurbanah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 22
Lina menyandarkan tubuhnya ke dinding, senyum licik mengembang di bibirnya saat menyusun rencana.
"Beri wanita itu obat ini, campurkan ke minumannya," katanya sambil menyerahkan sebuah pil kecil.
"Setelah obatnya bereaksi, giring dia ke toilet wanita. Di sana, aku sudah siapkan pria yang akan bantu kita menjebak si jalang itu." Matanya menatap Kino dengan penuh keyakinan, seolah semuanya sudah berjalan sesuai rencananya.
Di sisi lain, Kino menatap secangkir kopi yang ia siapkan untuk Tuan Marcos, namun pikirannya tidak tenang. Keningnya berkerut, perasaan dilema mendera hati yang paling benci diatur orang lain. Tapi kenapa Lina selalu bisa membuatnya seperti terperangkap jaring laba-laba? Rahasia terbesarnya kini berada di tangan Lina, seolah tak ada celah untuk kabur.
"Apakah aku benar-benar tak punya pilihan lain?" bisik hati Kino dengan suara pelan. Matanya memandang kosong, ketakutan dan kebingungan berperang di dalamnya. Ia merasa seperti tahanan tanpa kunci, terjebak di balik bayang-bayang Lina yang memegang kendali.
Kino menelan ludah berat, matanya terus menghindar dari tatapan tajam Lina yang penuh ancaman. Di dalam dada, rasa ingin lepas dari permainan licik wanita itu menggebu, tapi tubuhnya seakan terpaku, tak berdaya melawan.
"Ayo, tunggu apa lagi? Atau kamu berani melawan aku?" suara Lina menggema, menancap seperti duri di telinganya.
Tanpa berkata apa-apa, Kino menerima obat bius yang disodorkan, tangannya gemetar saat wanita yang tergila-gila pada CEO perusahaan itu melangkah pergi, meninggalkannya dalam keheningan penuh tekanan.
Di balik tirai ruang kerja, Kino menyipitkan mata, mencuri pandang anak magang bernama Gina yang sedang sibuk. Dia mendekati Gina dengan suara serak, menyampaikan perintah yang membuat hatinya berdebar kencang: dua minuman dingin kekinian untuk Wanda, tapi keduanya sudah dicampur obat bius dari Lina.
"Kamu harus berhasil," pikir Kino, menahan napas. Jika gagal, jerat Lina akan semakin dalam, dan ia tak tahu apa yang akan terjadi pada dirinya.
“Semoga Gina bisa menyerahkan minuman itu, dan Wanda meminumnya...” bisiknya dalam hati, doa penuh kecemasan yang menggantung di udara.
Pria itu menatap tajam ke arah Wanda yang tanpa sadar sudah menghabiskan satu gelas minuman dingin. Mata Wanda berkilat samar, lalu dia tiba-tiba berdiri dari kursi kerjanya dan melangkah cepat menuju toilet wanita. Kino segera mengangkat ponsel, mengabari Lina dengan suara pelan,
"Wanda pergi ke toilet." Lina tersenyum tipis, matanya menyimpan rencana yang sudah lama disiapkan.
Wanda berjalan santai, tak menyadari bahwa seseorang sudah menunggu di balik pintu toilet. Saat ia melangkah masuk, tiba-tiba tangan kasar menutup mulutnya. Nafas Wanda terengah, matanya membesar penuh ketakutan. Tubuhnya gemetar mencoba melawan, tapi genggaman pria asing itu terlalu kuat, memaksa Wanda terdiam. Dalam kepanikan yang mencekam, Wanda menggigit dan mendorong dengan sekuat tenaga, berusaha meneriakkan namanya, berharap ada seseorang yang datang menyelamatkannya.
Wanda menolak dengan suara gemetar, "Tolong, lepaskan aku! Atau kamu mau uang? Aku bisa kasih." Tangannya berusaha melepaskan pelukan pria itu, tapi tubuhnya terjepit erat. Pria itu hanya tertawa sinis, napasnya berbau alkohol.
"Jangan coba-coba negosiasi sama aku. Mending kamu diam dan pasrah. Lagian, kamu sudah tidak suci lagi. Wanita yang doyan ganti-ganti pria seperti kamu, mana pantas menolak?" katanya kasar sambil mencubit pipi Wanda dengan dingin, lalu memberikan kecupan paksa yang membuat wajah Wanda menegang.
Tiba-tiba suara langkah kaki terdengar, dan sorot mata mereka tertuju ke pintu toilet yang terbuka perlahan. Linda, Kino, dan beberapa rekan kerja lainnya berdiri membeku, matanya melebar memandang pemandangan yang tak terduga itu. Wanda merasakan dada sesak, malu dan takut sekaligus, tubuhnya mengejang saat semua mata tertuju padanya. Hatinya berdegup keras, tak menyangka bahwa momen yang penuh ketakutan itu justru terungkap di depan orang-orang yang selama ini dikenalnya.
Wanda terpaku, dadanya berdebar tak menentu. "Kenapa harus saat ini? Kenapa di tempat ini?" pikirnya sambil menunduk, wajahnya memerah. Panik dan malu bersarang dalam hatinya, membuat tangannya gemetar halus. Tanpa sadar, beberapa pasang mata tertuju padanya, bisik-bisik mulai terdengar. Lina berdiri dengan senyum sinis, matanya menusuk ke arah Wanda.
"Lihat karyawan baru itu! Ngomong-ngomong mesum di kamar mandi sama kekasihnya, bagaimana bisa kita biarkan ini?" suaranya lantang, berusaha membakar amarah orang-orang sekitar.
"Kalau dibiarkan, wanita ini akan menggoda semua pria di perusahaan," tambahnya, penuh nada peringatan.
Kegaduhan makin memuncak, Wanda merasa tubuhnya makin panas dan tak nyaman. Nafasnya tersengal, seolah ruang di sekelilingnya menyempit. Ia menunduk, memeluk diri sendiri, berusaha menahan rasa malu yang mencekam.
"Aduh, panas banget," bisiknya pelan, suaranya hampir patah.
"Tolong aku…" ucapannya tanpa sadar semakin menjeratnya dalam penilaian buruk mereka. Wajahnya yang semula tenteram kini kacau, kehilangan kendali atas diri sendiri di tengah sorotan yang menusuk itu.
*****
Di kampus, setelah mengikuti mata kuliah yang sama, Salsa dan Salwa duduk di kantin. Keduanya memesan makanan berat dan minuman dingin, lalu menunggu pesanan di depan mereka. Saat piring dan gelas sudah terhidang, mereka mulai menyantap sambil saling bertukar cerita ringan. Tapi suasana berubah saat Salsa menatap Salwa lebih lama, lalu pelan-pelan bertanya,
"Gimana kabar kakak kamu sekarang? Masih keluar tiap malam, nggak? Maksudnya, apa dia masih kerja jadi wanita malam?" Suaranya rendah, tapi tak menyembunyikan rasa penasaran yang dalam. Salwa menghela napas, wajahnya sejenak memudar.
"Entahlah, Salsa. Aku rasa lebih baik aku gak ikut campur urusan dia," jawabnya lirih. Namun, seolah ingin meyakinkan, ia menambahkan,
"Cuma, katanya kak Wanda, kakak aku sekarang sudah kerja pagi. Diterima jadi sekretaris di perusahaan besar di kota ini." Matanya tetap menatap jauh, menyimpan harapan yang belum tentu nyata.
Salsa menatap layar handphone Salwa yang retak-retak dan layarnya sering nge-hang.
"Wah, syukurlah! Aku jadi ikutan senang nih. Nanti kakak kamu pasti makin banyak duitnya, ya? Bisa beliin kamu HP baru yang mahal tuh," katanya dengan senyum kecil sambil mengusap-usap ponsel lawas Salwa. Salwa mengernyit, matanya menatap kaca pelindung yang sudah pecah.
"HP ini masih bisa aku pakai, kok. Gak masalah," jawabnya pelan, suaranya setengah meyakinkan diri sendiri.
"Yang penting si kakak Wanda makin cantik dan penampilannya makin oke. Kan jadi sekretaris perusahaan besar, harus punya modal baju kerja mahal dan makeup yang lebih cetar dari kemarin," ucap Salwa sambil melirik ke cermin kecil di meja. Salsa mengangguk serius mendengar omongan sahabatnya.
"Wah, seandainya aja kantor papa belum punya sekretaris, aku pasti rekomendasiin kakak kamu. Tapi denger-denger, Tante Lina sudah jadi sekretaris pribadi papa di situ," jelas Salsa sambil mengangkat bahu ringan. Salwa menatap kosong ke layar ponselnya, membayangkan kakaknya berjuang di dunia yang penuh tuntutan penampilan dan kesempurnaan.
kau ini punya kekuatan super, yaaakk?!
keren, buku baru teroooss!!🤣💪