Arum Mustika Ratu menikah bukan karena cinta, melainkan demi melunasi hutang budi.
Reghan Argantara, pewaris kaya yang dulu sempurna, kini duduk di kursi roda dan dicap impoten setelah kecelakaan. Baginya, Arum hanyalah wanita yang menjual diri demi uang. Bagi Arum, pernikahan ini adalah jalan untuk menebus masa lalu.
Reghan punya masa lalu yang buruk tentang cinta, akankah, dia bisa bertahan bersama Arum untuk menemukan cinta yang baru? Atau malah sebaliknya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aisyah Alfatih, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
22. Empat Tahun Kemudian...
“Tidak, Tuan … bukan aku … Tuan Reghan, ku mohon…”
Suara teriakan itu terus bergema di dalam ruang yang sunyi itu. Langit di luar tampak muram, hujan menetes lembut di jendela, menimbulkan bunyi gemericik yang tenang berlawanan dengan napas tersengal Arum yang baru saja tersentak bangun dari tidurnya.
Tubuhnya gemetar, keringat membasahi wajah dan lehernya. Kedua matanya terbuka lebar, menatap kosong ke arah langit-langit kamar.
“Nggak ... bukan aku...” suaranya bergetar, sisa dari mimpi yang begitu nyata, mimpi tentang malam ketika punggungnya dicambuk berkali-kali, darah menetes, dan suara jeritan menggema di antara tembok dingin keluarga Argantara.
Pintu kamar berderit pelan. Seorang pria masuk dengan langkah hati-hati, lampu meja dinyalakan, menyinari wajah lembut pria itu, dia adalah Gavin, lelaki berusia tiga puluhan dengan sorot mata yang selalu tenang.
“Arum,” panggilnya lembut, duduk di sisi ranjang.
“Mimpi itu lagi?”
Arum mengusap wajahnya, berusaha menenangkan diri.
“Iya … masih sama. Aku … mendengar suara cambuk itu lagi.”
Gavin menghela napas pelan, menatap wanita di hadapannya penuh khawatir.
“Kamu nggak boleh terus-terusan disiksa oleh masa lalu, Arum. Sudah tidak tahun sejak malam itu.”
Dia meraih tangan Arum, menggenggamnya hangat. “Aku bisa membawa kamu ke rumah sakit besok, atau ke psikiater yang kamu mau.”
Namun Arum hanya menggeleng. “Aku baik-baik saja, Gavin. Aku cuma … terlalu lelah.”
Dia tersenyum kecil, berusaha menutupi guncangan yang belum pernah benar-benar sembuh. Tiba-tiba, suara langkah kecil terdengar dari luar. Seorang bocah laki-laki berusia tiga tahun berlari tergopoh-gopoh memasuki kamar sambil menyeret boneka kelincinya.
“Mama!” serunya.
Gavin tersenyum melihatnya datang. Ia berjongkok, mengulurkan tangan.
“Hei, Revan, kemari.”
Bocah kecil itu langsung menggapai tangan Gavin. Lelaki itu mengangkatnya dengan lembut, lalu menaruhnya di atas ranjang di samping Arum. Revano menatap ibunya dengan mata besar dan polos.
“Mama kenapa?” tanyanya dengan suara lirih.
Arum tersenyum kecil, mengusap rambut anak itu.
“Mama nggak apa-apa, Sayang. Mama baik-baik aja. Revan tidur lagi, ya.”
Revano menguap, lalu merebahkan diri di pangkuan Arum, sementara Gavin menatap keduanya dengan tatapan yang sulit dijelaskan, antara sayang dan luka yang ia sembunyikan sendiri.
“Kalau kamu terus begadang seperti ini, aku beneran bawa kamu ke rumah sakit besok,” ujar Gavin lagi, setengah menggoda namun serius.
Arum hanya menatapnya, kemudian berkata pelan, “Tiga tahun, Gavin. Harusnya aku udah sembuh dari semua ini. Tapi setiap kali aku tidur … aku selalu kembali ke malam itu.”
Gavin menatapnya lama, lalu menjawab lembut, “Mungkin luka di tubuh bisa sembuh, Arum. Tapi luka di hati butuh waktu lebih lama. Tapi kamu nggak sendiri, aku dan Revano selalu di sini.”
Arum menatap ke arah anak kecil itu, hasil dari cinta yang tak pernah diinginkan, tapi kini menjadi alasan satu-satunya untuk bertahan hidup. Dia menghela napas panjang, menatap ke luar jendela.
Hujan turun lebih deras, seperti menghapus jejak masa lalu yang masih membekas di jiwanya.
Keesokan paginya.
Sinar matahari menembus tirai ruang makan sederhana yang tampak hangat. Aroma roti panggang dan telur dadar memenuhi udara. Revano duduk di kursi makan mungilnya, menggoyang-goyangkan kaki sambil memainkan potongan buah di piring.
“Pelan-pelan, sayang. Jangan kebanyakan buah dulu, nanti perutnya sakit,” ucap Arum lembut sambil tersenyum.
“Lepan kuat, Ma. Lepan pengen makan yang banyak bial bica jadi doktel kayak Papa Avin,” sahut bocah itu polos, membuat Gavin yang duduk di seberang meja tersenyum tipis.
“Wah, dokter kecil nih,” Gavin mengacak rambut si kecil. “Tapi dokter harus sehat dulu. Nanti Papa ajak jalan-jalan, tapi habiskan sarapan, ya.”
Arum tersenyum, menatap keduanya, dua orang yang kini menjadi dunia kecilnya. Dia tak pernah menyangka, dari luka masa lalu yang begitu gelap, ia bisa merasakan pagi seperti ini lagi.
Namun, kebahagiaan itu hanya berlangsung sesaat. Saat Arum mengambil potongan pepaya untuk disuapkan, ia melihat cairan merah menetes di bawah hidung Revano.
“Revan?” panggilnya panik.
Bocah itu mengerjap bingung, lalu menatap tangannya yang kini ternoda darah. “Mama … dalahnya kelual.” gumamnya lucu khas bayi yang belum bisa menyebut kosa kata dengan benar.
Arum segera berlari mendekat, menekan lembut hidung anaknya dengan tisu. Tapi darah itu tak berhenti, napasnya mulai tersengal.
“Gavin!” panggilnya dengan suara bergetar.
Gavin yang baru saja akan meneguk kopi langsung berdiri, langkahnya cepat menghampiri.
“Astaga, Arum, kita harus ke rumah sakit sekarang!”
Revano mulai menangis ketakutan. Arum memeluknya erat, panik, tak bisa berpikir jernih.
“Tidak apa-apa, Nak, tidak apa-apa,” bisiknya, walau suaranya sendiri sudah gemetar.
Gavin mengambil kunci mobil. “Ambil mantel dan kartu identitas, aku bawa kalian sekarang.”
Sepanjang perjalanan ke rumah sakit, Arum memeluk Revano di kursi belakang. Bocah itu tampak lemas, kepalanya bersandar di dada sang ibu. Arum mencium puncak kepalanya berulang kali, air matanya jatuh tanpa bisa ditahan.
Sesampainya di rumah sakit, Gavin segera menugaskan tim medis untuk memeriksa. Arum hanya bisa menunggu di luar ruang periksa, tubuhnya dingin, jantungnya berdegup kencang. Setiap suara di lorong rumah sakit terasa menakutkan. Tak lama kemudian, Gavin keluar bersama dokter anak berseragam putih, wajah Gavin tampak tegang.
“Arum,” panggilnya lembut, “ikut aku ke ruang dokter, ya.”
Arum menatapnya, mencoba membaca dari sorot mata Gavin, tapi pria itu menghindari tatapannya. Langkah Arum terasa berat, seolah setiap tapak mendekatkannya pada sesuatu yang menakutkan.
Di ruang konsultasi, dokter itu duduk dengan wajah serius.
“Bu Arum, kami sudah melakukan pemeriksaan awal terhadap darah Revano. Hasilnya menunjukkan indikasi yang mengkhawatirkan. Untuk memastikan, kami lakukan tes lanjutan, dan hasilnya … Revano mengidap leukemia limfoblastik akut.”
Suasana hening, hanya terdengar detak jam di dinding. Arum mematung, menatap kosong ke arah meja.
“Penyakit ini menyerang sel darah putih,” lanjut sang dokter hati-hati. “Revano perlu penanganan segera, termasuk kemungkinan transplantasi sumsum tulang belakang. Tapi kami harus mencari donor yang cocok.”
“Donor?” gumam Arum, suara nyaris tak terdengar. “Siapa yang … yang bisa mendonorkan?”
“Biasanya, yang paling cocok adalah keluarga sedarah ... seperti ayah atau ibu kandungnya,” jawab dokter hati-hati.
Tubuh Arum membeku, dunia di sekelilingnya seolah berhenti. Keluarga kandung, kata itu menggema berkali-kali di kepalanya, memaksa wajah seseorang muncul di benaknya, yaitu wajah Reghan.
Gavin meremas tangan Arum, menatapnya dengan prihatin.
“Arum, kita akan cari jalan sama-sama. Tapi kamu tahu … cepat atau lambat, kamu harus mempertimbangkan untuk memberitahunya.”
Arum menggeleng kuat, air matanya jatuh tanpa henti.
“Tidak, Gavin … aku tidak akan kembali ke sana. Aku tidak akan membiarkan siapa pun dari keluarga itu menyentuh anakku.”
Tapi ketika ia menoleh ke arah pintu dan melihat Revano digendong perawat, wajah pucatnya tersenyum lemah memanggil “Mama…” seluruh pertahanannya runtuh.
Arum memeluk anaknya erat, menangis tanpa suara. Dia tahu kali ini, hidup memaksanya berhadapan kembali dengan masa lalu yang paling ingin ia lupakan.
Dokter itu menatap Arum dan Gavin dengan ekspresi penuh empati.
“Bu Arum, Dokter Gavin,” ucapnya pelan, “kami menyarankan agar Revano dibawa ke rumah sakit pusat di kota. Di sana fasilitasnya jauh lebih lengkap, alat medisnya lebih canggih, dan tim dokter spesialis anak serta onkologi-nya sangat berpengalaman. Mereka juga memiliki bank donor yang lebih luas ... mungkin saja kita bisa menemukan pendonor yang cocok, selain dari keluarga sekandung.”
Arum menatap dokter itu dengan mata sembab. “Jadi … masih ada harapan?” suaranya bergetar, nyaris tak terdengar.
“Masih, Bu. Tapi kita harus bergerak cepat,” jawab sang dokter tegas namun lembut. “Kami akan bantu proses rujukan secepatnya.”
Arum mengangguk pelan, tangannya bergetar di atas pangkuan. Ia tahu tubuhnya sendiri sudah lemah, bahkan jika diminta menjadi donor pun, dokter sudah memperingatkan risikonya terlalu besar.
Saat dokter keluar meninggalkan ruangan, Gavin berjongkok di hadapan Arum, menggenggam tangannya erat.
“Dengar, Arum,” ucapnya pelan namun tegas, “kita akan bawa Revan ke kota. Aku sudah urus semuanya ... ruang perawatan, penginapan, transportasi. Kamu tidak perlu khawatir.”
“Gavin…” Arum menatapnya, matanya masih berkaca. “Aku takut … kalau ini semua tidak berhasil…”
Gavin tersenyum samar, walau jelas ada kekhawatiran di matanya.
“Kamu harus percaya, Arum. Revan anak kuat. Dan kamu … ibu yang hebat. Sekarang bukan waktunya memikirkan masa lalu.”
Dia mengusap lembut pipi Arum. “Apa pun yang terjadi, aku akan selalu di sisi kalian. Kita lawan ini bersama.”
Air mata Arum jatuh lagi, tapi kali ini ia mengangguk mantap.
gas laaah
ga jelas banget dah itu orang
dulu aja menghakimi tanpa belas kasih
sekarang aja sok berhak atas cucunya
g usah dipaksa klo emng membhyakan re,, gampang ja nebus keslhan yg telah mnghncurkn arum , pnjrakan atau siksa aja itu orang yg sdh fitnah arum han, greget bngt sm mereka yg jhat tp aman" aja hidupnya 😢😢
gara gara part ini aku sampai nangis bombai.......,😭😭😭 nyesek banget rasanya nya.....
udah jangan bersinggungan lagi dengan reghan,
walaupun Revan anak reghan kayanya terlalu sakit kalo Arum dan reghan harus bertemu lagi,,takut banget nanti keluarga reghan mengusik Arum lagi,,