Alina harus menerima kenyataan kalau dirinya kini sudah bercerai dengan suaminya di usia yang masih sama-sama muda, Revan. Selama menikah pria itu tidak pernah bersikap hangat ataupun mencintai Alina, karena di hatinya hanya ada Devi, sang kekasih.
Revan sangat muak dengan perjodohan yang dijalaninya sampai akhirnya memutuskan untuk menceraikan Alina.
Ternyata tak lama setelah bercerai. Alina hamil, saat dia dan ibunya ingin memberitahu Revan, Alina melihat pemandangan yang menyakitkan yang akhirnya memutuskan dia untuk pergi sejauh-jauhnya dari hidup pria itu.
Dan mereka akan bertemu nanti di perusahaan tempat Alina bekerja yang ternyata adalah direktur barunya itu mantan suaminya.
Alina bertemu dengan mantan suaminya dengan mereka yang sudah menjalin hubungan dengan pasangan mereka.
Tapi apakah Alina akan kembali dengan Revan demi putra tercinta? atau mereka tetap akan berpisah sampai akhir cerita?
Ikuti Kisahnya!!!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ara Nandini, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
20. Mantan sampah
"Perkenalkan, saya Revan Nandikara, direktur baru kalian," ucap pria itu dengan nada tenang namun berwibawa.
"Mulai hari ini, saya akan memimpin perusahaan ini. Saya percaya kita semua di sini punya tujuan yang sama, membuat perusahaan ini berkembang dan lebih maju dari sebelumnya," lanjutnya dengan tatapan tajam.
Matanya menyisir satu per satu karyawan yang berbaris rapi di depannya.
"Saya hanya akan sesekali berada di sini karena saya juga memiliki tanggung jawab di tempat lain," katanya lagi, suaranya mantap.
"Saya harap kita semua bisa bekerja sama membangun perusahaan ini ke arah yang lebih baik. Tapi, saya juga tidak segan untuk mengganti siapa pun yang tidak sesuai dengan standar dan kehendak saya," lanjutnya tegas.
Sejak tadi, Alina berdiri di barisan belakang, meremas jemarinya. Tangannya dingin, tubuhnya kaku. Dia tidak menyangka kalau direktur baru itu adalah Revan.
Rasanya Alina ingin menangis. Belum lagi, dia menyadari fakta bahwa gadis yang berdiri di samping Revan adalah sekretarisnya.
Pantas saja waktu itu, saat di restoran Jepang, dia melihat Devi tampak memakai pakaian kantoran.
Boleh tidak sih dia resign? Tapi, itu akan terkesan seperti dia yang menghindar. Lagipula, kalau resign, dia mau kerja apa?
Alina menarik napas panjang, mencoba menetralkan perasaannya. Dia harus bersikap biasa saja. Di antara mereka sudah tidak ada apa-apa lagi.
Tapi... sepertinya Alina harus berjaga-jaga. Dan mungkin, dia tidak akan membiarkan Aeris menginjakkan kaki lagi ke tempat ini.
Begitu pengumuman selesai, seluruh karyawan bubar, termasuk Alina. Wanita itu cepat-cepat masuk ke ruangannya, tidak ingin berlama-lama di sana.
Sesampainya di dalam, Alina langsung menutup pintu ruangannya, lalu bersandar di sana.
Rasanya, dadanya sesak.
Dia teringat ucapan Aeris tentang bocah yang menyebut Revan sebagai 'om toilet'. Itu berarti... benar Aeris pernah melihat Revan, dan mereka memang makan di restoran yang sama.
Sudah risiko jika tinggal di kota yang sama dan menghirup udara yang sama.
Tok! Tok! Tok!
Pintu ruangannya diketuk. Lekas, Alina mengusap sudut matanya yang berair. Ia menarik napas, lalu membuka pintu.
"Kenapa, Sis?"
"Pak Revan mau ngecek ruangan editor. Kamu siap-siap aja, beliau udah di sebelah," jawab Siska cepat, lalu bergegas kembali.
Jantung Alina kembali berdegup kencang. Tangannya mulai dingin lagi.
Dia bingung harus melakukan apa. Haruskah dia pergi saja? Tapi itu hanya akan membuatnya terlihat menghindar. Ia mencoba menarik napas panjang.
"Tenang, Al. Hadapi aja," batinnya.
•
•
"Ini ruangan design cover kami, Pak," jelas Mahen sambil membuka pintu. "Setiap proyek cover buku dikerjakan oleh tim ini, mulai dari konsep, sketsa, sampai jadi."
"Berapa orang yang bekerja di perusahaan ini?" tanya Revan, tatapannya tajam memeriksa seisi ruangan.
"Kurang lebih ada 60 orang, termasuk bagian desain, layout, dan juga satpam serta cleaning service," jawab Mahen.
Revan mengambil satu contoh desain cover di meja kerja terdekat dan mengernyit.
"Desainnya terlalu datar dan tidak punya karakter," komentarnya. "Kurang greget, seperti tidak ada emosi di dalamnya."
"Siapa yang bertanggung jawab di bagian ini?" tanyanya lagi.
Mahen menunduk pelan. "Tanisa, Pak. Tapi hari ini dia tidak masuk tanpa keterangan," katanya hati-hati.
Revan hanya mendengus pelan dan kembali melanjutkan langkahnya, keluar dari ruangan itu. Kini dia berhenti tepat di depan pintu yang bertuliskan Editor In House – Alina.
Alina yang sudah mengetahui kedatangan mereka, perlahan membuka pintu dari dalam.
Dia sudah bersiap. Toh, cepat atau lambat memang harus bertemu. Anggap saja mereka bukan siapa-siapa.
"Ini Alina, salah satu editor terbaik kami. Dia yang sering menangani naskah-naskah prioritas dan sudah beberapa kali membawa karya kita jadi bestseller," ujar Mahen memperkenalkan.
Revan menatap Alina lekat-lekat, seolah ingin menelanjangi pikirannya. Sementara itu, Alina berusaha bersikap tenang. B aja, seolah tak terjadi apa-apa.
"Apa Anda ingin melihat ke dalam?" tanya Mahen.
Tanpa menjawab, Revan langsung melangkah masuk ke ruangan wanita itu. Devi mengikuti di belakangnya.
Alina merasakan gejolak tak nyaman dalam dadanya. Rasanya ingin sekali mengacak-acak wajah polos Devi.
Drttttt!
Ponsel Mahen tiba-tiba bergetar. Pria itu segera merogoh saku celananya.
"Maaf, saya permisi sebentar," katanya lalu melangkah keluar meninggalkan ruangan.
OMG. Sekarang hanya mereka bertiga di ruangan itu.
"It's been a long time since we met," kata Revan, terkekeh sinis.
"Gue nggak nyangka lo kerja di sini," lanjutnya lagi, suaranya mengandung nada mengejek.
"Sejak kapan lo tinggal di sini? Apa lo ke sini mau deketin gue lagi?"
"Revan... jangan gitu," ucap Devi pelan sambil menyentuh lengan Revan untuk menenangkannya.
Alina menarik napas. "Maaf, saya tidak punya hak untuk menjawab pertanyaan Anda," katanya datar.
"Dan satu lagi... tolong jangan terlalu ge-er. Saya di sini hanya bekerja secara profesional, dan tidak ada hubungannya sama sekali dengan Anda."
Setelah itu, Alina melangkah mendekat. Ia menatap Revan langsung dan tersenyum tipis.
"Masa lalu sudah selesai, Revan. Kita tidak punya hubungan apa-apa lagi. Jadi, tolong bersikaplah profesional. Saya akan menghormati Anda jika Anda bisa melakukan hal yang sama pada saya."
Pandangan Alina lalu beralih pada Devi yang sedari tadi hanya menunduk.
"Oh, jadi ini pacar lo sekarang? Yang juga merangkap jadi sekretaris? Hm, sangat... tidak cocok sekali," ujarnya dengan tawa kecil yang sinis, nada bicaranya pun berubah jadi gaul.
"Cukup!" bentak Revan tiba-tiba.
Tatapannya tajam menusuk ke arah Alina.
Sungguh Alina, dari dulu sampai sekarang kamu memang nggak berubah. Masih tetap sama... angkuhnya.
"Pak Revan, apa Anda sudah selesai?" tanya Mahen yang baru saja selesai berbicara di telepon.
Mahen mengernyit sedikit saat melihat atmosfer ruangan yang terasa canggung.
"Mahen, Pak Revan sangat memuji ruanganku yang bersih ini," kata Alina sambil tersenyum manis. "Ditambah, beliau juga memuji hasil kerjaku."
Mahen melirik Revan yang hanya diam. Tapi sebelum sempat bicara lebih lanjut, Alina kembali berkata dengan nada sok ramahnya.
"Mm… oh my God! Saya sampai lupa menawari kalian duduk. Kasihan kan pacar Anda, pasti kakinya pegal."
"Tidak perlu," potong Revan singkat. "Saya akan pergi sebentar lagi."
Ia lalu menoleh ke Devi. "Ayo, Dev," katanya sembari menggenggam tangan gadis itu dan mengaitkan jari-jari mereka. Keduanya berjalan keluar dari ruangan.
Mahen hanya mengangguk dan mengikuti mereka dari belakang.
Begitu langkah kaki terakhir menjauh, Alina menghembuskan napas panjang. Dadanya terasa sesak.
Ck. Sial. Aku menderita karena berusaha melupakannya… tapi dia di sini malah terlihat berbahagia dengan pacarnya, gerutunya dalam hati.
••••••
"Berarti Alina memang tinggal di sekitar sini," kata Revan saat mereka sudah berada di dalam mobil.
Devi menoleh pelan, menatap Revan yang sejak tadi tampak gelisah.
"Hm… apa kamu akan memberitahu Mama?"
"Nggak," jawab Revan cepat. "Nanti Mama bakal nyamperin dia. Yang terpenting sekarang, aku harus cari tahu dulu Aeris itu anak siapa... dan di mana tempat tinggal Alina."
Devi menghela napas. Rasa bersalah yang selama ini dipendam kembali mengusik.
"Aku... ngerasa bersalah banget sama Alina," ucapnya lirih. "Padahal aku tahu dulu dia cinta banget sama kamu."
"Sayang… kenapa ngomong gitu lagi, ih?" kata Revan, menoleh pada Devi dengan nada sedikit kesal.
"Maksudku… kalau memang Aeris beneran anak kamu, berarti kamu berdosa banget karena lepas dari tanggung jawab. Nggak kebayang deh kalau Alina harus ngurus anak sendirian. Aku kalau di posisinya, pasti nggak bakal kuat," ucap Devi pelan.
"Nggak sepenuhnya salah aku," sahut Revan sambil menghela napas. "Alina juga yang nggak bilang dari awal."
"Tapi ya, aku nggak mau menghakimi dia. Kita nggak tahu apa yang dia rasain atau pikirin waktu itu. Bisa aja... dia punya alasan sendiri."
Devi hanya menatap Revan sejenak sebelum pria itu mengubah topik.
"Udah… kamu jangan pikirin itu lagi. Jadi, tugas kamu sekarang adalah... siapin diri," ucap Revan sambil menggenggam tangan Devi. "Karena dalam satu bulan ini, aku bakal beresin semua masa lalu. Setelah itu, aku ngelamar kamu… dan kita nikah."
Devi terkekeh kecil. "Emang yakin kita sampai nikah?"
"Yakinlah," jawab Revan mantap. "Apapun yang terjadi, pokoknya kita harus nikah."
Devi tidak menjawab lagi. Gadis itu mengalihkan pandangannya ke jendela mobil.
Semoga saja... bisiknya dalam hati.