Luna tak pernah bermimpi bekerja di dunia hiburan, ia dipaksa pamannya menjadi manajer di perusahaan entertainment ternama.
Ia berusaha menjalani hidup dengan hati-hati, menaati aturan terpenting dalam kontraknya. Larangan menjalin hubungan dengan artis.
Namun segalanya berubah saat ia bertemu Elio, sang visual boy group yang memesona tapi kesepian.
Perlahan, Luna terjebak dalam perasaan yang justru menghidupkan kembali kutukan keluarganya. Kejadian aneh mulai menimpa Elio, seolah cinta mereka memanggil nasib buruk.
Di saat yang sama, Rey teman grup Elio juga diam-diam mencintai Luna. Ia justru membawa keberuntungan bagi gadis itu.
Antara cinta yang terlarang dan takdir yang mengutuknya, Luna harus memilih melawan kutukan atau
menyelamatkan orang yang ia cintai.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Cerita Tina, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Jadi Pengalaman
Setelah yakin aman, Luna mendorong pamflet promosi yang menutupi ujung lorong kecil itu
“Ayo,” katanya sambil mengulurkan tangan ke arah Elio.
Elio menatap tangan kecil itu sejenak sebelum menggenggamnya. Tarikan Luna cukup kuat untuk menariknya keluar dari celah sempit itu.
Mereka bergegas menuju mobil yang diparkir di depan toko roti. Begitu masuk, napas mereka masih terengah-engah, seperti baru saja kabur dari kejaran nyata.
Tiba-tiba terdengar tok tok tok dari luar jendela mobil. Luna sontak menjerit kecil, “Ya ampun! Aku kaget!”
Elio segera menoleh dan mendapati kasir toko berdiri di sana, membawa kantong roti mereka yang tertinggal.
Elio membuka pintu mobil, menerima bungkusan itu sambil menunduk sopan.
“Terima kasih." ucapnya.
Kasir itu tersenyum, “Hati-hati di jalan."
Mobil itu melaju pelan. "Hampir saja ketinggalan." kata Elio sambil menoleh ke kantong roti itu.
Luna hanya tersenyum sambil meliriknya sekilas.
Begitu mobil mulai melaju meninggalkan toko roti itu, suasana di dalam mobil terasa sunyi.
Elio menatap Luna lama, seolah ada sesuatu yang ingin dikatakannya tapi tertahan di tenggorokan.
“Luna…” panggilnya akhirnya.
“Hm?”
“Terima kasih."
Sederhana, tapi cara ia mengucapkannya terasa dalam. Luna menoleh sebentar sambil mengangguk dan tersenyum tipis.
Luna mengalihkan pandangan lagi ke jalanan, fokus untuk menyetir tapi jantungnya entah kenapa ikut berdebar.
Sesampainya di kantor, mereka langsung menuju ke studio tari. Anak-anak Neonix lainnya sedang latihan menari memenuhi ruangan yang bercermin besar itu.
Elio meletakkan kantong rotinya di atas meja panjang. Anak-anak lain yang baru selesai latihan langsung menoleh.
“Wah, roti!” seru Shine antusias sambil berlari kecil ke arah meja.
Dalam sekejap, kerumunan kecil terbentuk. Semua berebut memilih roti dengan tawa riang.
Namun sebelum bungkusan terakhir berpindah tangan, Elio dengan cepat mengambil dua buah roti.
Elio melangkah ke arah Luna yang duduk disudut studio tari itu. “Ini untukmu. Dari tadi kau belum makan, kan?” katanya.
“Wah, terima kasih,” ucap Luna pelan sambil tersenyum kecil.
Tatapan Elio sempat berhenti pada wajahnya beberapa detik lebih lama dari seharusnya. Ia berdeham pelan, pura-pura sibuk merapikan topi yang dipakainya
Terlihat pintu studio iti terbuka, Marcel masuk sambil menenteng beberapa gelas kopi untuk semua orang yang berada disana
“Oh, kalian sudah sampai rupanya?” tanyanya santai, tapi matanya cepat menangkap suasana kikuk dia antara keduanya.
Luna yang sedang mengunyah roti buru-buru menelan, lalu mengangguk.
“Tadi sedikit ada kejadian, Kak,” ujarnya Luna.
Marcel menatapnya penuh tanya. “Kejadian apa?”
“Penguntit,” jawab Luna cepat. “Mereka mengejar kami sampai ke toko roti.”
Marcel menarik napas panjang, meletakkan gelas kopinya di meja.
“Mereka pakai seragam sekolah?” tanyanya datar.
Luna mengangguk, agak heran. “Iya. Kok Kakak tahu?”
Marcel hanya mendengus pelan. “Itu sering terjadi, apalagi kalau para fans tahu jadwal mereka. Beberapa terlalu fanatik, dan itu bisa berbahaya.”
“Benarkah?” Luna menatapnya serius. “Jadi kita harus menghadapi hal seperti itu setiap hari?"
“Tentu saja,” jawab Marcel tanpa ragu.
“Kau harus selalu berhati-hati. Terutama Elio, dia satu-satunya yang punya banyak pembenci di grup ini." lanjut Marcel.
Luna terdiam. “Kenapa bisa begitu? Padahal dia tidak melakukan hal aneh-aneh, apalagi kejahatan.”
Marcel menatapnya tajam, “Para pembenci tidak butuh alasan untuk membenci.”
Luna terdiam lama. Kalimat itu menancap dalam. Itu memang benar adanya. Ia melirik sekilas ke arah Elio yang sedang mencocokkan koreografinya dengan Rei.
Untuk pertama kalinya, Luna benar-benar menyadari bahwa dunia gemerlap para artis tak seindah yang terlihat dari layar kaca.
Luna mendengar berbagai fakta dari Marcel tentang apa yang sebenarnya dihadapi para anggota Neonix.
Tekanan profesionalisme dari agensi, komentar jahat dari netizen, dan rivalitas halus antar anggota. Luna hanya bisa terdiam lama.
Ia duduk di ruang kerja kecilnya, memandangi papan jadwal di dinding. Nama Elio, Rey, Adrian, Shine, Dane, Han, Jae, dan Noel, berjejer rapi di daftar tugas dan jadwal latihan.
Tapi yang ia lihat bukan sekadar nama, melainkan anak-anak muda yang tengah berjuang di balik sorotan kamera.
Iya membayangkan bagaimana perjuangan Adrian yang menjadi trainee terlama sampai harus jauh dari keluarganya, hanya untuk mewujudkan cita-citanya.
Kalau grup ini bubar, dia tidak bisa membayangkan betapa hancurnya teman kecilnya itu.
Kepalanya terasa berat. “Ini tidak bisa dibiarkan berlarut,” gumamnya pelan.