Misteri kematian Revano yang tidak pernah meninggalkan jejak, membuat gadis penderita ASPD tertantang menguak kebenaran yang selama bertahun-tahun ditutupi sebagai kasus bunuh diri.
Samudra High School dan pertemuannya bersama Khalil, menyeret pria itu pada isi pikiran yang rumit. Perjalanan melawan ego, pergolakan batin, pertaruhan nyawa. Pada ruang gelap kebenaran, apakah penyamarannya akan terungkap sebelum misinya selesai?
Siapa dalang dibalik kematian Revano, pantaskah seseorang mencurigai satu sama lain atas tuduhan tidak berdasar?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon jewu nuna, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Delapan
“Aletha, kamu tidak akan ijin dalam sesi olahraga pagi ini kan?”
Aletha sejenak diam, menatap siswa-siswi kelasnya sibuk melakukan pemanasan dengan seragam olahraga mereka. Sementara dirinya masih setia berdiri di sudut lapangan dengan jas sekolah yang sama. Maniknya kembali pada sang lawan bicara, menatap kaku sebagai jawaban.
“Haid hari pertama?”
“Iya, saya harus ke UKS”
“Baiklah, saya ijinkan”
Langkah yang masih teratur dilirik oleh Khalil dan Roona. Menimbulkan pertanyaan akan kemana lagi anak aneh itu dipikiran mereka.
Lorong sepi dan hanya beberapa siswa dan guru yang melewatinya untuk sebuah misi mereka sendiri. Sementara Aletha melangkah menuju ruang UKS seperti tujuan utamanya, perutnya memang sakit tapi bukan juga jadi alasan paling logis saat ini.
Kedua matanya menatap seorang petugas perempuan yang sibuk membereskan kotak obat P3K. Sedikit terkejut dengan kedatangan Aletha yang tiba-tiba. Benar kata semua orang, bahwa Aletha adalah gadis horror. Bahkan suara langkah mendekat saja tidak terdengar atau gadis itu pandai saja menyembunyikan suara langkahnya.
“Sudah terbiasa minum obat pereda nyeri?”
Aletha hanya diam. Membiarkan gadis itu mencari obat apa yang cocok diberikan pada penderita haid pertama. Tak peduli dengan setiap pertanyaan darinya, Aletha lebih memilih mengintai. Seperti saat pertema kali memasuki sebuah ruangan. Hanya ruangan ini yang memiliki hawa dingin yang sempit, seperti kedap akibat obat-obatan, atau memang sengaja tidak diberikan pendingin udara. Aletha memiringkan wajahnya saat sebuah kotak yang sedikit berjamur diatas lemari menjadi fokus utamanya.
“Kamu bisa minum ini setelah makan,”
“Itu isinya apa?”
Gadis ber-name tag Raya itu menoleh pada yang ditunjuk Aletha. Membuatnya menghela napas panjang saat justru gadis itu mementingkan isi kotak tidak penting dari pada kesehatannya.
“Dokumen palang merah”
“Lo kenal Sean?”
Pupil mata Raya melebar. Bukan karena sengaja atau justru sebuah kesengajaan yang tidak dia sengaja. Aletha bisa lihat, dia tahu sesuatu. Lambang palang merah yang melekat pada seragam milik pria yang merangkul kakaknya. Sama seperti yang dipakai Raya saat ini, hanya berbeda tahun, dan Aletha yakin harusnya gadis yang sedang bicara dengannya mengenal siapa itu Sean.
“Enggak, kalau sudah tidak sakit, kamu bisa keluar”
Aletha terdiam. Melirik pada obat yang baru saja Raya berikan. Kali ini bukan cumann Mang Adi dan Delleta yang harus bicara, tapi juga Raya. Maniknya mengikuti langkah kaki Raya menuju meja dan mengisi data tanpa bertanya. Gadis yang sempat jadi highlight sekolah saat pertama kali masuk, tentu Raya tidak perlu tanya lebih lanjut bukan?
Posisi tubuh yang membungkuk, menghindar kontak mata, jawabannya terlalu singkat, dan menghindar.
Aletha keluar, meninggalkan sisa kedinginan yang menyerbak diruang UKS. Lantas beranjak pada tangga menuju lantai dua. Sebelum memilih pada ruang tertuju, gadis itu menoleh pada Raya yang melihatnya dibalik jendela UKS.
“Ini sedikit melenceng dari yang kita bicarakan semalam”
Aletha berbalik, manusia itu lagi.
“Apa yang kalian lakukan disini?”
—
Gadis itu mendengus saat perintah yang sebenarnya tidak ingin dia turuti justru memaksanya datang. Pada ruangan yang sudah sempat beberapa kali dia datangi semenjak bergabungnya dia ke sekolahan ini. Kali ini bersama Khalil yang duduk disampingnya, menghadap Mahen yang menatap kedua manusia itu dengan sedikit kebingungan.
“Sejak kapan kamu berteman dengan perempuan, Khalil?”
“Dia bukan teman saya”
Mahen tersenyum, menatap Aletha memecah kecanggungan dengan suaranya yang khas.
“Ini masih jam pembelajaran pertama dan saya kira seragam olahraga tidak digunakan di laboratorium biologi”
Aletha menatap jam dinding yang masih menunjukkan pukul tujuh lebih lima puluh menit. Tidak peduli dengan alibi apa yang akan digunakan Khalil. Gadis itu masih penasaran dimana letak dokumen yang dia cari, atau sesekali sempat terpikir bahwa dokumen itu tidak benar-benar ada disini?
“Aletha, saya bicara dengan kamu”
Gadis itu kembali menatap Mahen. Memberikan jawaban dari kebisuan yang dia sengaja. Aletha meletakkan beberapa pil yang dia dapat dari Raya. Membuat pria paruh baya itu menghela napas panjang.
“Kamu belum seminggu ada disini, saya pikir keanehan kamu yang kali ini tidak membuat semua orang yang ada disini takut sama kamu, Aletha”
“Sudah terbukti omongan saya?”
“Aletha, mulai besok kamu pakai seragam sesuai standar sekolahan ini”
Gadis itu hanya diam saat Mahen meletakkan seragam berwarna biru tua dimeja. Membuat Khalil sedikit melirik karena ternyata selain bisu kepadanya, kepala sekolah juga sudah lebih dulu jadi sasaran kejudesannya.
“Selamat bersenang-senang dengan seragam barumu, jangan tidak betah disini”
Aletha meninggalkan ruangan setelah menerima seragam itu. Membuat Khalil justru tidak enak kepada Mahen akibat perlakuan tidak sopan dari Aletha. Pria itu terus mengikuti langkah kaki Aletha yang menjauh dari ruang kepala sekolah.
“Al, lo harus bersikap normal supaya misi kita berjalan sesuai apa yang kita pengen”
“Bukan kita!”
Khalil menghentikan langkahnya, tepat saat Aletha juga berdiri tegap didepan sana. Hanya ada kesunyian lorong tepat dibelakang gudang, tak jauh dari ruang kepala sekolah yang dibatasi celah kecil diantara ruangan itu. Suara tak bergema yang Aletha yakini bisa didengar Khalil. Suara bentakan yang tidak pernah dia terima dari seorang Aletha Waniwongso atau lebih tepatnya Athena Putri Sach.
“Cuman gue” lirih suara Athena benar-benar menusuk jantung Khalil.
Bagi Athena, Khalil adalah ancaman yang bisa menganggu rencananya kapan saja. Bahkan baru saja dia hampir ketahuan karena kedatangannya yang tiba-tiba memancing kehadiran Mahen.
“Kalo lo beranggapan gue nggak normal, kenapa lo masih mau ada disini, sementara gue udah kasih akses buat lo bongkar semua identitas gue” Aletha berbalik, menatap Khalil yang tak jauh darinya terdiam pada sendu yang dia ciptakan sendiri.
“Kalo nggak jadiin gue budak dari rencana awal lo yang nggak pernah kejadian, penggal leher gue sekarang”
Mengamati, memahami, dan memprediksi.
Khalil menghela napas, mengusap rambutnya sedikit kasar. Bahkan dia lupa kalau partner nya adalah orang jenius yang pernah dia temui. Kenapa dia lupa kalau Aletha bahkan lebih bodoh dari jiwanya sendiri? Untuk sekedar membaca gerak-gerik, apakah sebuah penolakan yang diterima dengan lapang dada bukan maksud untuk mendapatkan sesuatu?
“Sorry”
“Khal, lo berhadapan dengan orang yang salah. Ini bukan tentang kita kalo lo bicara dari sudut pandang gue dan bukan tentang gue kalo bicara dari sudut pandang lo”
To Be Continue...