NovelToon NovelToon
Sampai Cinta Menjawab

Sampai Cinta Menjawab

Status: sedang berlangsung
Genre:Angst / Penyesalan Suami / Percintaan Konglomerat / Nikah Kontrak
Popularitas:1.2k
Nilai: 5
Nama Author: BYNK

Demi kabur dari perjodohan absurd yang dipaksakan oleh ayahnya, Azelia Nayara Putri Harrison nekat meminta bantuan dari seorang pria asing yang ditemuinya secara tidak sengaja di jalan.

Namun pria itu bukanlah orang biasa—Zevian Aldric Rayford Steel, pewaris utama keluarga Steel; sosok yang dingin, ambisius, arogan, dan… anehnya, terlalu cepat jatuh hati pada wanita asing yang baru ditemuinya.

Saat Zevian menawarkan pernikahan sebagai jalan keluar dari imbalan yang dia minta, Nayara menyetujuinya, dengan satu syarat: pernikahan kontrak selama 2400 jam.
Jika dalam waktu itu Zevian gagal membuat Nayara percaya pada cinta, maka semuanya harus berakhir.

Namun bagaimana jika justru cinta perlahan menjawab di tengah permainan waktu yang mereka ciptakan sendiri? Apakah Zevian akan berhasil sebelum kontrak pernikahan ini berakhir?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon BYNK, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 14: Kecurigaan Vina.

Langit senja mulai menyapu cakrawala dengan semburat oranye keemasan, perlahan mengusir terang siang yang sedari tadi menggantung kokoh. Cahaya lembutnya menembus jendela kamar, memantul tenang di permukaan lantai marmer, membentuk garis cahaya yang menghiasi ruangan seperti lukisan hidup.

Di depan cermin besar yang terbingkai ukiran kayu klasik, Nayara berdiri sembari mengeringkan rambutnya dengan handuk kecil. Uap hangat masih samar menyelimuti kulitnya, aroma sabun dan lotion samar menyatu dengan udara sore yang tenang. Kali ini, penampilannya lebih sederhana dari biasanya—hanya kaus polos berwarna putih yang melekat pas di tubuhnya, dipadukan dengan rok hitam pendek yang membuat kakinya tampak jenjang. Sebuah cardigan tipis berwarna cokelat susu membungkus tubuhnya, memberikan kesan hangat dan anggun dalam waktu yang bersamaan.

Tas selempang kecil berwarna gelap menggantung manis di bahunya, tampak kasual namun elegan. Walaupun tak mencolok, setiap item yang melekat di tubuh Nayara memiliki nilai fantastis—cukup untuk membeli sebuah motor baru. Tapi Nayara tidak pernah memamerkannya; baginya, kenyamanan dan kerapian adalah kunci, bukan kemewahan.

Rambutnya dibiarkan tergerai, sedikit bergelombang karena baru selesai dikeramas. Ia sengaja melakukannya—ingin memberikan kesan dewasa dan lebih percaya diri. Sebuah jam tangan mewah melingkar manis di pergelangan tangan kirinya, menciptakan kontras dengan kulitnya yang putih pucat. Dia menghela napas pelan, seolah ingin memastikan dirinya siap.

Ketika tangannya hendak meraih gagang pintu, ponsel di atas meja bergetar pelan lalu berdering. Layar menyala menampilkan nama yang cukup familiar—Vina. Seketika, sudut bibir Nayara terangkat membentuk senyum tipis. Ia meraih ponselnya dan menggeser ikon hijau, suara lembutnya mengalir menyambut panggilan dari sahabat yang sudah lama tak ia temui.

“Halo,” ujar Nayara sambil menyemprotkan parfum ke leher, lengan, dan beberapa bagian tubuhnya yang lain. Aroma floral dengan sentuhan vanilla langsung menyebar di udara, menambah kesan segar dan hangat pada dirinya. Ia melirik pantulan dirinya di cermin, memastikan semuanya terlihat sempurna—meski sebenarnya, ada banyak hal yang masih terasa kurang di dalam hatinya.

“Halo, Nyonya. Selamat malam. Saya ingin membebankan biaya langganan aplikasi saya pada Anda.” balas Vina dengan suara ceria dari seberang langsung menyambut.

Nayara tertawa kecil, tawa yang ringan namun tulus. Lelucon itu mungkin terdengar garing bagi sebagian orang, tapi baginya, itu adalah bagian dari pesona Vina—sahabatnya yang selalu tahu bagaimana mencairkan suasana, bahkan di saat-saat yang terasa kosong.

“Langganan aplikasi apa sampai seorang Nona muda Pradipta membebankan biayanya pada rakyat jelata seperti saya?” balas Nayara dengan nada menggoda, ekspresi wajahnya menghangat, mata berbinar samar karena senyum yang tidak bisa ia tahan. Vina ikut terkekeh, suara tawanya terdengar di ujung sambungan.

“Aplikasi yang bisa membuat dunia berubah sesuai keinginan kita.” Ujar nya yang langsung di membuat Nayara terdiam sejenak, pandangannya mengarah ke langit senja di balik jendela yang mulai gelap, lalu tawa lirih pun mengalir dari bibirnya. Namun, berbeda dengan tawa sebelumnya, kali ini terdengar lebih dalam, menyimpan sedikit getir yang sulit dijelaskan.

“Jika ada aplikasi seperti itu, mungkin aku akan dengan senang hati membayarnya… agar Tuhan tidak secepat itu mengambil ibuku,” ucap Nayara sembari tertawa kecil. Tapi Vina tahu betul, itu bukan tawa bahagia. Itu adalah tawa yang muncul dari luka yang belum pulih, dari kehilangan yang tak pernah benar-benar pergi.

Hening sejenak tercipta, namun hanya cukup untuk menyampaikan rasa—dan kemudian, Vina memutuskan untuk kembali pada maksud utama dari panggilannya, menyadari bahwa sahabatnya mungkin sedang butuh hal lain selain kenangan yang menyakitkan.

“Kamu tahu informasi apa yang ku punya, Nay?” tanya Vina dari seberang telepon, suaranya terdengar antusias, penuh rasa ingin berbagi. Nayara mengerutkan kening, lalu menghela napas malas. Ia duduk di pinggir ranjang, memainkan ujung selimut dengan jari-jari pucatnya yang lentik.

“Ya mana aku tahu kalau kamu belum bicara apa-apa. Jangan ngarang, Vin,” geramnya ringan, nada kesalnya lebih terdengar seperti kebiasaan daripada benar-benar marah.

“Baiklah, baiklah... dengarkan aku! Tadi pagi di kampus, aku dengar para mahasiswi heboh sekali, mereka membahas tentang Zevian Steel yang akan menikah dalam waktu dekat. Kamu tahu tidak, Nay, aku sampai jengah melihat para wanita itu sok dramatis—seolah mereka pemilik Zevian!” suara Vina langsung naik satu oktaf, seperti biasa saat dia menemukan kabar yang menurutnya penting. Nayara bahkan bisa membayangkan sahabatnya itu mengibaskan rambut dengan ekspresi dramatis sambil menggerutu. Vina memang selalu seperti itu jika sudah menyangkut pria tampan—seolah urusan dunia bisa dibalik hanya karena satu senyum mereka.

“Owhhh…” Nayara menarik suaranya, lama, malas. “Lalu, apa hubungannya denganku?” tanyanya kemudian dengan nada ogah-ogahan. Ia bangkit perlahan dari tempat duduk, berjalan pelan ke arah cermin dan menatap pantulan wajahnya yang terlihat lelah.

“Apa dia tidak mengundangmu, Nay?” tanya Vina, kini dengan nada kecewa yang mulai muncul. Ia sebenarnya berharap kabar itu akan mengejutkan Nayara atau setidaknya membuatnya bereaksi. Bukankah Nayara pernah bertemu langsung dengan pria bernama Zevian itu?

“Tidak,” jawab Nayara datar, tanpa pikir panjang. Suaranya dingin, seperti menutup topik.

“Sungguh? Dia sama sekali tidak mengundangmu? Lalu… kamu tahu siapa wanita yang jadi pilihan Zevian?” tanya Vina lagi, suara kepo-nya begitu khas. Dia memang selalu seperti detektif amatir jika sudah menyangkut gosip, apalagi yang melibatkan pria tampan, kaya, dan berkarisma seperti Zevian.

“Berapa kali aku harus katakan kalau Zevian tidak mengundangku? Jadi aku tidak tahu siapa wanita itu dan lagi aku tidak perduli,” jawab Nayara dengan nada dingin yang mulai menyiratkan rasa jengkel. Ia membalikkan badan, berjalan menuju jendela dan menyingkap tirai, menatap langit malam yang mulai gelap. Angin malam menyelinap lewat celah jendela, membawa aroma basah tanah yang sejuk.

“Atau… jangan-jangan dia sendiri yang langsung datang dan mengundang secara pribadi?” Vina kembali melontarkan dugaan yang membuat Nayara menghela napas berat. Gadis itu menggigit bibir bawahnya, mencoba menahan emosi. Bukan karena gosipnya, tapi karena Vina terlalu berlebihan menanggapi semuanya. Rasanya seperti dipaksa peduli pada sesuatu yang justru ingin Nayara hindari.

“Vin, untuk apa dia mengundangku? Aku tidak mengenalnya. Aku bahkan hanya bertemu dengannya sekali. Apa itu cukup untuk membuat seorang Zevian mengundang seseorang yang bahkan tidak ia kenal?” ujar Nayara, berusaha menetralkan emosi yang mulai merambat di dadanya. Ia kembali duduk di tepi ranjang melipat tangan di dada, menatap lantai kamar dengan pandangan kosong, seolah sedang mencari logika di antara perasaan yang bercampur aduk.

Di seberang sana, Vina terdiam sejenak sebelum bertanya dengan suara pelan namun jelas terdengar khawatir.

“Apa dia mencampakkanmu setelah menyentuhmu?” tanya nya yang mana pertanyaan itu membuat Nayara sontak berdiri dari duduknya. Matanya melebar, ekspresinya berubah antara kesal dan tidak percaya.

“Apa?! Kenapa kamu bicara seperti itu, aku bukan wanita murahan Vin, untuk apa aku melakukan itu?” suaranya meninggi sedikit, nadanya penuh kegeraman yang ditahan. Ia berjalan mondar-mandir di dalam kamar, gelisah, sambil mengusap wajahnya dengan tangan kanan. Lalu, ia berhenti tepat di depan cermin dan menatap bayangannya sendiri.

“Aku rasa... otakmu itu yang perlu dibersihkan. Pikiranmu terlalu jauh.” lanjut Nayara yang membuat suasana hening sesaat. Ia menarik napas dalam dan melanjutkan dengan nada yang mulai menurun, namun masih ada jejak kekesalan di sana.

“Waktu itu, dia hanya menolongku. Tidak lebih dari itu. Kami tidak ada hubungan apa-apa. Jadi, untuk apa dia mengundangku ke acara pernikahannya? Lagipula... aku juga tidak ingin datang ke pernikahannya.” lanjut Nayara tak lama di balik ujung telepon, Vina terdengar menghela napas.

“Bukan begitu... hanya saja, aneh saja. Masa kamu bahkan tidak tahu? Sampai tidak diundang sama sekali?” ujar Vina lagi, masih dengan nada bingung.

“Dia yang menolongku, Vin. Bukan aku yang menolong dia,” jawab Nayara, nadanya dingin namun tetap tenang. “Itu privasi dia. Mau mengundang siapa pun, itu hak dia. Toh... itu juga pernikahannya, bukan pernikahanku,” lanjutnya, suara pelan itu mengandung rasa getir yang tersembunyi.

“Itu benar... tapi maksudku seperti ini, katanya banyak orang yang dapat undangan dari keluarga Steel. Bahkan keluargaku juga dapat undangan itu. Keluarga Razka juga, dan masih banyak lagi,” ujar Vina, mencoba menjelaskan dari sudut pandangnya. Nayara memejamkan mata sesaat, lalu berkata dengan nada sedikit kaku.

“Papa tidak ada hubungannya dengan keluarga Steel. Jadi mungkin saja kalau mereka tidak mengundangku.” jawabnya napas Nayara sedikit berat, seolah ia menahan sesuatu di balik kalimatnya. Sesuatu yang tidak ingin ia bocorkan—rahasia yang selama ini ia simpan sendiri.

“Aku paham... Maaf ya, Nay, aku sudah berburuk sangka.” suara Vina terdengar lebih lembut kali ini. Nayara tidak menjawab. Hanya diam, bibirnya tertutup rapat, sementara pikirannya melayang entah ke mana.

“Oh iya... kamu sampai jam berapa kemarin?” tanya Vina, mencoba mengalihkan pembicaraan.

“Siang. Aku sampai siang,” jawab Nayara singkat, suaranya masih terdengar lesu.

“Akhh... Tapi kamu baik-baik aja di sana, kan? Kalau memang sudah tidak sanggup, kamu boleh menginap di rumahku. Pintu rumahku selalu terbuka untuk sahabatku.” Vina menghela napas, seolah masih merasa bersalah atas ucapan nya sebelumnya. Nayara tersenyum tipis, walau tak terlihat oleh siapa pun. Ia tahu Vina mungkin cerewet dan terlalu blak-blakan, tapi ketulusannya selalu berhasil menyentuh sisi rapuh Nayara yang paling dalam—terutama saat menyangkut masa lalu kelam di vila itu, yang ingin ia kubur selamanya.

“Aku baik-baik saja, Vin. Aku akan bicara kalau memang sudah lelah,” ujar Nayara, suaranya terdengar tenang, namun matanya menatap langit-langit kamar dengan kosong. Ia berusaha meyakinkan sahabatnya, meski hatinya sendiri belum tentu sepenuhnya yakin.

“Tapi kamu selalu diam jika lelah, Nay. Aku bahkan sulit untuk membedakan... apakah kamu sedang bahagia, atau sebaliknya,” ucap Vina, kali ini lebih lembut. Nada suaranya membawa kehangatan, namun juga terselip rasa kecewa yang tak bisa disembunyikan.

Nayara hanya terkekeh pelan. Tawa itu hambar, lebih sebagai upaya untuk mencairkan suasana yang tiba-tiba menjadi emosional. Namun, belum sempat ia menjawab, suara berat seorang pria terdengar cukup jelas dari dalam ruangan.

“Apa tidak punya ba...” Ucapan pria itu terputus tiba-tiba. Zevian, yang baru saja masuk, terhenti langkahnya saat melihat Nayara sedang menempelkan ponsel di telinga. Ia menatapnya dengan tatapan datar namun tajam. Nayara dengan cepat memberikan isyarat dengan telapak tangannya agar pria itu diam.

Zevian menurut. Ia tetap berdiri di tempat, tak bergerak sedikit pun, hanya memandangi wanita itu dengan tatapan tenang, seakan mencoba membaca maksud dari setiap gerakan kecilnya. Wajahnya tetap tanpa ekspresi, tapi jelas ia mendengar percakapan di ujung telepon. Sementara itu, Vina di seberang mulai curiga.

“Siapa, Nay?” tanyanya cepat. Suaranya terdengar sedikit panik, seperti anak kecil yang mendapati rahasia sahabatnya terkuak.

“Bukan siapa-siapa. Mungkin suara dari luar,” ucap Nayara, berusaha terdengar santai, meskipun matanya sempat melirik Zevian sekilas—pandangan yang sekilas namun cukup untuk menunjukkan siapa sosok yang barusan bersuara.

“Tidak mungkin orang luar. Suaranya jelas sekali. Dia pacarmu, ya?” tuduh Vina, nada suaranya berubah menyelidik.

“Bukan!” Nayara menukas cepat, sedikit terkejut dengan dugaan Vina. “Mana ada aku pacaran. Sudahlah, jangan berpikir yang tidak-tidak,” ucapnya sambil memutar bola mata. Ia berusaha keras terdengar santai, meski degup jantungnya mulai tidak beraturan.

“Yakin?” tanya Vina lagi, kali ini lebih menekan. Jelas-jelas ia tidak percaya begitu saja.

Nayara menahan napas sejenak, matanya menatap Zevian yang kini berdiri menyandar pada dinding dekat rak buku. Pria itu memandangnya dengan alis sedikit terangkat, ekspresi wajahnya seperti menantikan jawaban konyol apa lagi yang akan keluar dari mulut Nayara.

“Oke-oke... dia sopir baru ku,” ujar Nayara akhirnya, asal-asalan, berharap Vina tidak terus mencecar. Tapi jelas itu tidak membantu. Zevian langsung mengangkat sebelah alisnya tinggi-tinggi, seolah berkata

“Serius?” Tanpa berkata apa-apa, ia hanya melipat tangan di dada dan menatap Nayara seolah menantang.

“Dasar pembohong! Kamu kira aku tidak tahu?!” sentak Vina di seberang, nadanya berubah kesal.

“Tahu apa?” tanya Nayara bingung, dahinya berkerut. Ia benar-benar tak mengerti maksud Vina yang tiba-tiba berubah nada. Wajahnya kini menunjukkan tanda-tanda panik, namun ia tetap berusaha mempertahankan sikap tenang, meskipun pikirannya mulai berputar cepat, mencoba menebak-nebak arah pembicaraan yang makin tak terkendali itu.

“Mana ada suara sopir merdu sekali. Seolah tidak pernah makan gorengan, ketoprak, mie?” ucap Vina dengan nada sewot. Nadanya meninggi, menunjukkan rasa kesal sekaligus tidak percaya. Nayara terdiam sejenak. Ia menghela napas panjang, tatapannya menerawang ke arah jendela yang tertutup tirai tipis. Matanya yang bening tampak memutar akal, mencoba mencari kebohongan lain yang cukup masuk akal untuk mengelabui sahabatnya yang terlalu peka itu.

“Bapak-bapak sekarang memang tidak suka makanan berminyak, Vin. Dahulu... sopirku itu pernah bercita-cita jadi penyanyi, tapi gagal lulus audisi karena datang kesiangan,” ujar Nayara, suaranya dibuat sedatar mungkin mungkin seolah sedang menjelaskan fakta yang benar adanya.

Di seberang sana, Vina langsung terkekeh. Tawa renyahnya terdengar jernih, setidaknya membuat Nayara sedikit lega karena berhasil mengalihkan rasa curiga itu—meski untuk sementara.

“Sudahlah... banyak sekali alasan. Intinya, kabari aku kalau dia memang kekasihmu. Aku masih banyak laporan yang harus dikerjakan,” ucap Vina, kini dengan nada yang lebih serius. “Ouh ya, kamu tidak bisa terus-terusan tinggal di sana, Nay. Jadwal kuliahmu makin padat, belum lagi koas dan laporan stase yang harus kamu kejar. Lebih baik kamu pindah ke rumahku saja. Setidaknya, kamu bisa jauh dari Zevian... dan juga rencana perjodohan dari ayahmu. Lagi pula, pria itu akan menikah, kan? Dia tidak mungkin mengganggumu lagi.” ujar nya yang membuat Nayara terdiam. Ada rasa getir yang muncul dalam hatinya, namun wajahnya tetap tanpa ekspresi. Hanya sorot matanya yang sedikit meredup, menunjukkan perasaan yang tak bisa ia ungkapkan dalam kata.

“Aku tahu... Aku tutup, ya,” ucap Nayara pelan sebelum menekan tombol merah di layar ponsel. Suaranya rendah, nyaris seperti bisikan yang ditelan udara.

Telepon terputus.

Kini, pandangannya beralih. Ia menoleh pelan ke arah Zevian yang masih berdiri di tempat yang sama, bersandar pada dinding dengan kedua tangan terlipat di dada. Pria itu menatapnya dalam diam, tatapan tajam yang sulit ditebak—apakah itu amarah, ketertarikan, atau sekadar rasa ingin tahu.

Nayara menatap Zevian dari ujung kepala hingga ujung kaki. Matanya menelusuri jas santai pria itu yang jatuh pas di badan, rambutnya yang sedikit berantakan namun tetap terlihat rapi dan sempurna, hingga sepatu hitamnya yang mengilap di bawah sinar lampu vila. Di balik ketenangan wajah Zevian, ada aura misterius yang membuat hati Nayara bertanya dalam diam, berulang kali: Kenapa kamu masih di sini?

“Kenapa?” Tanya Nayara dengan nada bingung, matanya masih menatap tajam ke arah Zevian.

“Tidak ada baju ganti?” jawab Zevian dengan suara tenang, tapi ada sedikit nada penasaran yang sulit disembunyikan.

“Aku akan carikan, Tuan. Mandilah dulu,” ujar Nayara dengan sigap, lalu berbalik dan keluar dari kamar itu, berusaha menutupi kegugupannya.

Langkah Nayara terasa berat saat menuju kamar lain di vila itu — kamar yang biasa dipakai orang tuanya saat berkunjung. Begitu membuka pintu, pandangannya langsung tertuju pada balkon yang memancarkan cahaya lampu dari luar. Namun, pemandangan itu malah membawa kembali bayangan kelam masa lalu yang menghantui pikirannya: tubuh sang ibu yang jatuh dari balkon itu. Dadanya sesak, namun dengan cepat dia mengusap air mata yang mulai menetes, berusaha keras agar tidak terbawa perasaan.

Matanya beralih ke lemari besar di sudut ruangan. Di dalamnya, tersusun rapi pakaian dan barang-barang wanita serta orisinal milik ibunya. Semua masih terjaga dengan sangat rapi, seolah waktu berhenti di sana. Dengan tangan gemetar, Nayara menarik sebuah kaos polos berwarna putih dan celana pendek hitam lembut. Baju itu masih terlihat baru, karena pelastiknya belum dibuka. Mungkin dulu Anthony sengaja membelinya sebagai cadangan, atau untuk sesuatu yang belum sempat terwujud.

Dia tahu betul ayahnya memang lebih suka pakaian santai seperti itu saat di rumah. Dengan perasaan campur aduk, Nayara menggendong pakaian itu lalu bergegas keluar dari kamar, berusaha mengusir kenangan pahit yang terus mengintai.

Sesampainya di kamar Zevian, Nayara mengetuk pintu dengan lembut. Pintu itu tidak terkunci, jadi dia mendorongnya perlahan dan melangkah masuk. Suara gemericik air dari shower kamar mandi terdengar jelas, mengisi keheningan yang ada.

Dia berjalan mendekat ke pintu kamar mandi dan, tanpa menunggu jawaban, berkata dengan nada ringan namun tegas.

“Bajumu ada di atas tempat tidur, Tuan.” Tanpa menunggu balasan, Nayara segera berbalik dan meninggalkan kamar mandi, meninggalkan Zevian yang masih terbungkus uap hangat di balik pintu itu.

1
Ramapratama
mulut nya 😌
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!