NovelToon NovelToon
Dinikahkan Diam-diam Dengan CEO

Dinikahkan Diam-diam Dengan CEO

Status: sedang berlangsung
Genre:Nikahmuda / CEO / Percintaan Konglomerat / Beda Usia / Cinta Seiring Waktu / Dijodohkan Orang Tua
Popularitas:1.3k
Nilai: 5
Nama Author: nonaserenade

“Gue gak akan pernah sudi nerima lo sebagai suami gue!”

“Saya tidak keberatan, Maha. Bagaimanapun kamu tidak menganggap, saya tetap suamimu.”

“Sialan lo, Sas!”

•••

Maharani tidak pernah meminta untuk terlibat dalam pernikahan yang mengikatnya dengan Sastrawira, pewaris keluarga Hardjosoemarto yang sangat tenang dan penuh kontrol. Sejak hari pertama, hidup Maha berubah menjadi medan pertempuran, di mana ia berusaha keras membuat Sastra merasa ilfeel. Baginya, Sastra adalah simbol patriarki yang berusaha mengendalikan hidupnya.

Namun, di balik kebencian yang memuncak dan perjuangannya untuk mendapatkan kebebasan, Maha mulai melihat sisi lain dari pria yang selama ini ia tolak. Sastrawira, dengan segala ketenangan dan kesabarannya, tidak pernah goyah meski Maha terus memberontak.

Apakah Maha akan berhasil membuat Sastra menyerah dan melepaskannya? Atau akankah ada simfoni tersembunyi yang mengiringi hubungan mereka, lebih kuat daripada dendam dan perlawanan?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon nonaserenade, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

11. Raden Caraka Atmajaya Hardjosoemarto.

"Lo bener-bener ya Maha, gue sampe di marahin sama Mas Sastra gara-gara ngebiarin lo pergi. Kalau aja gue tau lo bakal nemuin si ani-ani itu, udah gue iket tangan lo deh!" Keana kesal sekali pada Maha, malam tadi ia ikut dimarahi oleh Sastra.

Maha menggaruk tengkuknya yang tidak gatal sambil tersenyum tipis. "Hehe, maafin gue ya, Keana."

Keana mendengus kesal. "Lo tau kan Mas Sastra tuh nggak main-main soal lo. Gue disuruh jagain lo baik-baik, tapi lo milih ngacir begitu aja ketemu orang yang nggak jelas."

Maha tertawa kecil, berusaha meredakan ketegangan. "Iya-iya gue maaf Keana, maaf..."

Keana melipat tangan di depan dada, masih dengan ekspresi tidak puas. "Gue nggak mau jadi sasaran kemarahan Mas Sastra lagi. Sekali aja udah cukup buat bikin gue pengen hilang dari muka bumi."

"Hah? Sastra marahin lo kayak gimana Keana? Bilang sama gue!"

Keana mendesah panjang, wajahnya tampak agak lelah hanya dengan mengingat aura kemarahan Sastra malam tadi. "Ya, dia nggak teriak atau mencak-mencak gitu. Cuma... tatapannya. Serius deh, tatapan dia waktu marah tuh bikin merinding, Maha. Suaranya rendah tapi dalem, bikin gue ngerasa kayak ada tekanan berat. Lo emang belum pernah ngeliat dia marah beneran, ya?"

Maha mendecak lalu menggeleng pelan. "Justru gue maunya dia marah dan kesel sama gue, itu tandanya misi gue berjalan sesuai rencana."

Keana menggelengkan kepalanya mendengar jawaban Maha. "Percaya deh, lo pasti nyesel kalau udah ngalamin. Aura dia berubah total. Gue aja yang cuma dimarahin karena lo kabur kemarin udah cukup bikin gue gak bisa tidur nyenyak semalaman."

"Huh, justru gue maunya dia tuh marah meledak sama gue," Maha mendesah lelah, ingin melihat bagaimana Sastra bisa meledak dihadapannya.

Keana menatap Maha tak percaya, seakan dia sedang mendengar sesuatu yang gila. "Maha, lo serius? Lo masih mau bikin dia marah? Suami lo tuh bukan tipe yang gampang meledak, tapi kalau dia sampai bener-bener marah, situasinya bisa berubah. Lo bener-bener mau terusin rencana lo itu Maha?"

Maha mengangguk pasti. "Kalau Sastra benci gue, mungkin dia akhirnya bakal ceraikan gue. Itu yang gue mau."

Keana menatap Maha dengan cemas. "Lo bener-bener yakin mau ambil risiko itu? Mas Sastra bukan orang yang gampang ditebak, Maha."

"Kenapa? Dia gak ada hak nahan gue dong? Gue yakin pada akhirnya nanti, dia bakal minta pisah juga."

Keana menghela napas panjang, merasa lelah menghadapi keras kepala Maha. "Terserah lo aja deh, Maha. Pusing gue sama jalan pikiran lo."

Maha hanya tersenyum tipis, penuh keyakinan pada rencananya sendiri. "Gue tahu apa yang gue lakuin, Kea. Gue gak akan biarin dia ngontrol hidup gue. Pada akhirnya, dia pasti capek sendiri dan bakal nyerah."

Keana menggelengkan kepala, menyerah untuk mencoba memperingatkan lebih jauh. "Ya udah, gue cuma harap lo nggak nyesel nantinya."

Maha hanya tertawa kecil, seolah tak terpengaruh. "Gak mungkin nyesel dong!"

•••

Raden Caraka Atmajaya Hardjosoemarto.

Laki-laki bertubuh tegap dengan tinggi seratus delapan puluh sentimeter, memiliki postur yang ideal dan wajah yang seringkali dipenuhi senyum santai. Matanya tajam namun ramah, dengan kacamata yang menambah kesan cerdas pada wajahnya. Kulitnya eksotis, lebih gelap dibandingkan dengan kakaknya, Sastrawira, yang memiliki kulit lebih putih. Caraka tampak sangat tampan dan karismatik, memancarkan pesona khas pria asli Indonesia.

Gaya berpakaian Caraka pun mencerminkan kepribadiannya yang praktis namun rapi. Meski sering terlihat kasual, ada sentuhan elegan yang menunjukkan status dan latar belakang keluarganya. Meskipun bersikap santai, ia selalu penuh perhatian terhadap orang lain, termasuk kepada kakak iparnya, Maha.

Caraka memiliki kepribadian yang sangat berbeda dari kakaknya, Sastra, yang lebih serius dan tegas. Ini membuat Caraka lebih mudah bergaul dengan orang lain, termasuk Maha yang merasa lebih nyaman ketika berinteraksi dengannya.

"Mbak Maha," pria itu melambaikan tangan, memastikan Maha melihatnya. Setelah yakin, dia berjalan mendekat. "Aku Caraka, adiknya Mas Sastra." Pria itu tersenyum sambil mengulurkan tangan untuk menyapa kakak iparnya.

Maha mengerutkan kening, menatap Caraka dengan sedikit ragu. "Lo adiknya Sastra?" tanyanya, suaranya terdengar tak yakin namun ia membalas uluran tangan Caraka.

Caraka mengangguk pelan. "Iya, Mbak. Mas Sastra nggak bisa jemput karena ada rapat penting, jadi dia minta aku yang jemput sekalian bawa Mbak shopping, kata Mas Sastra, kamu perlu baju kantor untuk mulai kerja besok."

Maha menarik napas panjang, mencoba mencerna informasi itu. "Belanja? Sekarang?" Ia menatap Caraka dengan ragu, merasa aneh karena Sastra tidak memberi tahu sebelumnya tentang rencana ini.

Caraka mengangguk lagi, kali ini sambil tersenyum lebih lebar. "Iya, Mbak. Mas Sastra bilang kamu butuh baju yang proper untuk kerja di kantornya. Mumpung ada waktu, jadi sekarang aja sekalian."

Maha akhirnya—mengangguk setuju. "Yaudah, kalo gitu ayo."

Caraka membuka pintu mobil untuk Maha dan setelah keduanya masuk, mereka meluncur menuju pusat perbelanjaan. Selama perjalanan, suasana di dalam mobil terasa hangat. Maha merasa kehadiran Caraka lebih membuatnya santai, jelas berbeda dari Sastra. Ada kesan lebih ramah pada Caraka, berbeda dengan aura tegas dan serius yang selalu dibawa oleh Sastra.

"Lo adiknya Sastra yang keberapa?" tanya Maha, suaranya santai, tak ada kesan canggung sama sekali.

Caraka tersenyum tipis sambil tetap fokus mengemudi. "Aku adik kedua, Mbak. Mas Sastra yang paling tua, terus ada Mas Adipati, aku, dan si bontot, Kahiyang."

"Oh, jadi kalian ada empat bersaudara? Yang lainnya tinggal dirumah utama juga?" Tanya Maha, merasa semakin nyaman dalam percakapan itu.

Caraka mengangguk. "Iya, Mas Adipati yang nomor dua tinggal dirumah utama tapi dia jarang pulang karena pekerjaannya di luar negeri. Kalau aku, masih kuliah. Kahiyang si bungsu, masih SMP kelas sembilan."

"Terus umur lo?" tanya Maha, penasaran.

"Umurku dua puluh lima tahun, Mbak," jawab Caraka.

Maha mengangguk, sudah menebak dari sikap santai namun dewasa Caraka. "Oh, gitu. Lo nggak usah panggil gue Mbak lagi, gue lebih muda dari lo."

Caraka terkekeh pelan. "Ya, meskipun Mbak lebih muda, Mbak tetap istri Mas Sastra. Ini juga tanda hormatku sebagai adik ipar."

Maha menghela napas panjang. "Santai aja kali, nggak usah berpikiran kolot kayak Mas lo itu. Oh iya, lo masih kuliah?"

Caraka mengangguk singkat. "Iya, aku ambil S2 jurusan Ilmu Forensik."

Maha terkejut. "Ilmu Forensik? Wah, keren tuh. Pasti banyak tantangannya."

Caraka tersenyum kecil. "Iya, memang. Kadang bisa sangat menantang, tapi aku suka dengan bidang ini."

"Berarti lo banyak ngulik kasus-kasus yang bikin merinding gitu ya?" tanya Maha, tertarik.

"Kadang-kadang. Tapi kebanyakan lebih banyak riset dan analisis daripada yang terlihat di film-film," jelas Caraka sambil memfokuskan perhatiannya pada lalu lintas.

Maha mengangguk, menikmati percakapan yang mengalir dengan lancar, namun tiba-tiba kekepoannya semakin besar pada hal lain.

"Caraka, gue mau tanya-tanya tentang Mas lo yang pertama boleh?"

"Suamimu Mbak?"

Maha mendesah panjang, "ya siapa lagi, masa gue tanya-tanya tentang kakak kedua lo."

"Bercanda Mbak, boleh, mau tanya apa?"

Maha memulai dengan pertanyaan yang sudah menggelitik rasa ingin tahunya. "Sastra punya seseorang yang dia sayang banget gak sih, bukan yang sedarah sama kalian ya. Like... girlfriend?"

Caraka terkekeh kembali, "ya kamu orangnya Mbak, pacar halalnya Mas Sastra."

"Bukan itu maksud gue, dia pasti punya seseorang yang dicinta dong. Mantannya mungkin, kan gue sama Mas lo cuma korban perjodohan keluarga." Celetuk Maha blak-blakan didepan Caraka.

Caraka tertawa kecil, tampak mengerti arah pertanyaan Maha. "Oh, gitu maksud Mbak Maha. Sebelumnya, Mas Sastra memang pernah punya seseorang, tapi ya sama itupun hasil dari campur tangan keluarga. Tapi perjodohan itu batal Mbak, aku juga gak tau pasti alasannya apa soalnya dirahasiakan sama Mas Sastra dan orang tua kami."

Maha menyipitkan matanya, semakin penasaran. "Perjodohan yang batal? Kok aneh ya, kenapa bisa dibatalin? Lo beneran nggak tau alasannya?"

Caraka menggeleng pelan, tetap tersenyum meski jelas-jelas Maha menuntut lebih banyak informasi. "Enggak, Mbak. Itu urusan mereka, dan Mas Sastra emang nggak pernah cerita detail ke siapa-siapa. Dia tipe yang pendiam soal urusan hati."

Maha mendesah, sedikit frustrasi tapi juga tidak kaget. "Jadi gue nggak bisa dapet bocoran apa-apa nih? Mas lo bener-bener misterius banget, ya?"

Caraka terkekeh lagi. "Iya, Mbak. Kalau soal Mas Sastra, lebih baik nanya langsung aja ke orangnya. Tapi sejujurnya, yang aku tahu, dia fokus ke tanggung jawab dan pekerjaannya sejak itu, gak pernah liat dia galau-galau."

Maha terdiam sejenak, berpikir, sebelum akhirnya berkata, "oh gitu ya, thanks udah jawab rasa penasaran gue."

Caraka tersenyum tipis, mengangguk. "Sama-sama, Mbak."

•••

Maha ketiduran diatas sofa ruang utama setelah menyelesaikan tugas sekolahnya. Sastra yang baru saja masuk ke rumah melepaskan jasnya dengan perlahan. Matanya langsung tertuju pada sosok Maha yang tertidur di atas sofa ruang utama. Wajah Maha terlihat begitu tenang, seakan lelah setelah menyelesaikan tugas-tugasnya. Lampu ruang utama menyala temaram, menciptakan bayangan lembut di wajah istrinya.

Sastra menghela napas panjang, merasa lelah setelah hari panjang di kantornya. Namun, melihat Maha tertidur membuatnya merasa tenang. Ia berjalan pelan mendekat, tak ingin membangunkannya. Sambil berdiri di dekat sofa, Sastra menatap Maha sejenak, lalu tanpa suara ia merapikan selimut di atasnya yang sedikit berantakan, seolah sengaja memang ingin tidur di ruangan itu.

Ia tidak bisa menahan senyum kecil yang muncul di sudut bibirnya. Ada perasaan yang aneh ketika melihat Maha seperti ini—tenang, damai, dan tidak banyak bicara seperti biasanya. Malam itu terasa begitu berbeda, seolah ketegangan yang biasa ada di antara mereka menguap sementara.

Sastra berjongkok, memperhatikan Maha lebih dekat. "Kamu capek ya?" gumamnya pelan, meski tahu Maha tidak akan mendengarnya.

Setelah beberapa saat, Sastra akhirnya memutuskan untuk tidak membangunkannya. Dengan lembut, ia mengangkat tubuh Maha yang ringan, lalu membawanya ke kamar. Maha masih terlelap di pelukannya, dan Sastra berhati-hati agar tidak membuatnya terjaga.

Begitu sampai di kamar, Sastra meletakkannya di atas tempat tidur dengan lembut, lalu menyelimutinya. Ia menatapnya sejenak sebelum melangkah keluar kamar.

Tengah malamnya, Maha terbangun dengan mata yang masih berat. Ia menatap sekeliling kamar yang temaram, menyadari dirinya sudah berada di kamarnya. Padahal, yang terakhir ia ingat, ia tertidur di sofa ruang utama.

Maha mengerutkan kening, bingung. “Kapan gue pindah ke sini?” gumamnya pelan sambil mengusap wajah.

"Sastra..."

Maha bangkit dari tempat tidur dan berjalan pelan ke luar kamar. Di ruang utama ia melihat, Sastra duduk dengan laptop di pangkuannya, fokus pada layar. Tangannya bergerak cepat di atas keyboard, tampak masih sibuk dengan pekerjaan yang belum selesai.

Maha yang masih setengah mengantuk turun perlahan dari tangga. Langkahnya lembut, nyaris tak bersuara. Ia terus memperhatikan Sastra, yang duduk dengan tenang di sofa. Wajah Sastra tampak serius, alisnya sedikit berkerut seiring pikirannya tenggelam dalam pekerjaan.

Saat Maha sudah mendekat, Sastra baru menyadari kehadirannya. Dia menoleh, dan ekspresinya berubah menjadi lebih lembut. "Kebangun ya, kamu ingin apa?" tanyanya pelan, meski suara itu terdengar penuh perhatian.

Maha mengangguk kecil, mendekat ke arahnya. "Lo gak apa-apain gue lagi kan?" Tanyanya curiga, takut Sastra berbuat kurang ajar lagi padanya.

Sastra meletakkan laptopnya di meja, lalu menatap Maha dengan alis sedikit terangkat. "Tidak, Maha. Saya tidak melakukan apa-apa padamu. Kamu ketiduran di sofa, saya bantu pindahkan supaya posisi tidurmu nyaman," jawabnya tenang.

Maha masih menatapnya dengan tatapan penuh curiga, "gue tuh makin susah percaya sama lo, gerak dikit deket gue rasanya lo mau jahatin gue."

Sastra menarik napas dalam, lalu duduk bersandar di sofa, menatap Maha dengan pandangan yang sedikit letih. "Terserah kamu," ujarnya pelan, lalu mencoba mengalihkan pembicaraan. "Tadi siang saya ada meeting, jadi kamu ditemani sama adik saya, Caraka. Gimana, dia nyusahin tidak?"

Maha mengangkat bahu, lalu duduk di sofa seberang Sastra. "Enggak, Caraka orangnya santai banget. Beda banget sama lo." Ada sedikit senyum di bibirnya, meskipun tatapannya masih waspada.

Sastra tersenyum kecil, tampak lega mendengar jawaban itu. "Syukurlah, kalau begitu. Kamu siap mulai kerja besok?" tanya Sastra, mencoba menahan nada suaranya agar tidak terlalu kaku.

Maha menatap Sastra sejenak lalu mengangguk tanda persetujuan, "hmm."

Sastra tersenyum kecil tanpa ia ketahui bahwa Maha sudah mempersiapkan diri untuk memulai rencananya esok hari.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!