NovelToon NovelToon
Aku Yang Kau Nikahi Tapi Dia Yang Kau Cintai

Aku Yang Kau Nikahi Tapi Dia Yang Kau Cintai

Status: sedang berlangsung
Genre:Nikah Kontrak / Dijodohkan Orang Tua
Popularitas:8.8k
Nilai: 5
Nama Author: riena

“Pernikahan kita cuma sandiwara. Di depan keluarga mesra, di belakang orang asing. Deal?”
“Deal!”

Arman sudah punya kekasih, Widya ogah ribet. Tapi siapa sangka, hidup serumah bikin aturan mereka berantakan. Dari rebutan kamar mandi sampai saling sindir tiap hari, pura-pura suami istri malah bikin baper sungguhan.

Kalau awalnya cuma perjanjian konyol, kenapa hati ikut-ikutan serius?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon riena, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab. 11. Sidak dari kakek

Pagi Hari

Jam weker berdering nyaring. Widya langsung menggeliat, menguap lebar, lalu bangkit dengan wajah kusut. Sementara itu, Arman masih meringkuk di sisi kasur… dengan rambut acak-acakan, mata panda jelas, dan tangan yang penuh bekas ‘tamparan’ bantal.

“Ya ampun, tiap pagi badan gue remuk semua…” Arman mengeluh sambil memegang pinggang.

Widya menoleh, kaget. “Hah? Kok kayak nenek-nenek gitu jalannya, Mas?”

“Coba aja kamu semaleman ditendang, disikut, ditiban selimut…” Arman menatap tajam. “Aku tidur kayak ikut sparing tinju.”

Widya nyengir, menutup mulut sambil menahan tawa. “Heh, aku tidur mana sadar sih. Masa nyalahin orang tidur?”

“Ya memang nggak sadar, tapi korbannya tetep aku.” Arman menghela napas, drama sekali, lalu duduk di tepi kasur. “Kayaknya aku harus serius beli kasur lipat hari ini. Demi keselamatan nyawa.”

Widya sudah tidak bisa menahan diri. Tawanya meledak sampai matanya berkaca-kaca. “Astaga, Mas, masa tidur sama aku kayaknya tragedi banget.”

Arman melirik sinis, tapi ujung bibirnya juga terangkat. “Kamu emang tragedi berjalan, Wid.”

Widya langsung melempar bantal ke arah suaminya. “Kurang asem!”

Bantal melayang mengenai wajah Arman. Bukannya marah, Arman malah menahan tawa sambil mengembalikan bantal ke atas ranjang. Suasana kamar yang tadinya ribut jadi penuh tawa, meskipun keduanya masih sama-sama gengsi untuk mengaku senang.

*

*

Sore Hari.

Suara motor berhenti di depan rumah. Arman turun dengan sedikit kepayahan karena mengangkat kasur lipat baru dari jok belakang. Ia senyum-senyum sendiri, merasa akan bebas dari “tinju tengah malamnya” Widya.

“Wid! Tolongin bentar dong—” suara Arman langsung terhenti begitu melihat sebuah mobil berhenti di depan rumah. Dari dalam, turunlah Kakek Surya, lengkap dengan tongkat kayu dan wajah ramahnya.

“Assalamu’alaikum!” seru kakek.

Widya yang baru keluar dari dalam rumah langsung terbelalak. “Ya Allah… Kek, kok tiba-tiba datang?”

Arman buru-buru menyembunyikan kasur lipat di belakang tubuhnya, kaku berdiri di samping motor. “Wa… Wa’alaikumsalam, Kek!”

Kakek Surya tersenyum lebar, menepuk bahu Arman. “Nah, ini rumah pengantin baru. Kakek kangen, makanya mampir sekalian mau lihat kalian rukun apa nggak.”

Arman nyaris keseleo lidah. “R-rukun, Kek! Banget malah. Hehehe…”

Mata Kakek Surya melirik barang besar yang ditutupi tangan Arman. “Itu apa yang kamu bawa?”

Arman panik. Widya menahan tawa, menutupi mulut dengan tangannya.

“E-eh… ini, Kek…” Arman berpikir kilat. “Kasur lipat. Buat… buat… tamu! Iya, buat tamu kalau ada yang nginep. Kan rumah kita sering dikunjungi orang.”

Kakek Surya mengangguk pelan, tapi matanya menyipit penuh selidik. “Oh gitu… tapi pengantin baru kok langsung mikirin kasur tamu, bukan kasur sendiri?” kek Surya masih curiga.

Tawa Widya hampir meledak, cepat-cepat menyahut. “Iya, Kek, soalnya kan kemarin sepupu Widya sempet bilang mau main. Jadi Mas Arman inisiatif beli kasur tambahan. Baik banget, kan?”

Arman mengangguk cepat, wajahnya tegang. “Betul! Bener kata Widya! Arman kan… suami yang visioner.”

Kakek Surya tertawa kecil, lalu menepuk-nepuk punggung Arman. “Ya udah, bagus kalau kalian perhatian soal rumah. Berarti kalian betah tinggal bareng.”

Arman dan Widya saling pandang sekilas, sama-sama lega tapi juga menahan senyum canggung. Kasur lipat akhirnya berhasil “diselamatkan” dengan alasan dadakan.

*

*

Meja makan yang biasanya hanya ditempati dua orang kini terasa lebih ramai dengan kehadiran Kakek Arman. Sosok tua itu masih energik, nada bicaranya penuh wibawa meski sesekali bercanda. Widya sibuk mondar-mandir menambah lauk, sementara Arman duduk agak kaku.

“Wah, cucu Kakek makin dewasa. Dulu keras kepala, sekarang bisa duduk manis di meja makan bareng istri.”

Kek Surya tertawa kecil sambil melirik Widya.

“Kamu sabar ya, Wid. Arman dari dulu memang susah diatur.”

Widya refleks tersenyum tipis, padahal jantungnya deg-degan.

“Ah, Kakek bisa aja. Mas Arman baik kok.”

Arman mendadak batuk kecil, mencoba menutupi wajah yang sedikit merah.

“Ke–Kek, makan aja dulu. Lauknya enak tuh, Widya yang masak.”

Kakek menepuk meja, puas.

“Bagus! Itu tanda rumah tangga sehat, kalau istri bisa masakin suami. Jangan kayak tetangga kakek dulu, tiap hari ribut cuma gara-gara siapa yang cuci piring.”

Widya nyaris keselek mendengar kalimat itu. Sementara Arman buru-buru menyendok nasi ke piring kakeknya, biar topik cepat bergeser.

“Eh iya, jadi beneran kalau kasur lipat itu buat tamu?” kecurigaan kek Surya masih belum hilang.

Arman langsung kaku. Widya otomatis berhenti mengunyah.

Detik yang canggung.

Arman buru-buru berdehem.

“Itu, Kek... Arman kan kadang lembur sampai larut. Biar nggak ganggu tidurnya Widya, Arman... ya, tidur di kasur lipat aja. Praktis.”

Kakek mengangkat alis, masih curiga.

“Wah! Romantis sekali alasannya! Jadi cucu kakek ini takut ganggu istrinya, toh? Hmm!” kek Surya mengangguk-anggukkan kepalanya.

Widya menunduk cepat-cepat, pura-pura sibuk dengan sayur di piring. Pipinya panas menahan malu.

Kakek masih mengangguk-angguk, tersenyum puas.

“Bagus. Itu tanda kamu sayang sama istri. Kalau begitu, kakek nggak salah datang mendadak. Rumah tangga kalian ternyata adem ayem juga.”

Arman dan Widya saling lirih melirik, sama-sama ingin menyangkal tapi justru makin terjebak dalam sandiwara manis itu.

*

*

Kek Surya pulang selepas makan malam, dan suasana rumah agak berantakan. Piring kecil bekas camilan kakek masih di meja makan, karena tadi buru-buru dibereskan.

Widya terlalu lelah untuk membereskan semua malam ini. Arman juga capek, pinggangnya sakit. Jadi diputuskan, besok pagi saja.

Widya duduk di tepi ranjang sambil menyisir rambut, wajahnya jelas masih merah. Arman baru keluar kamar mandi, rambut masih basah, lalu langsung mendesah panjang.

“Astaga, bisa-bisanya Kakek ngomong rumah tangga kita adem ayem. Padahal...” ucap Arman sambil menunjuk kasur lipat di pojok kamar.

“...aslinya kayak gini.”

Widya langsung melempar pandangan sebal.

“Ya siapa suruh kamu bawa-bawa kasur lipat pas kakek datang? Untung nggak ke-gap.”

Arman melotot, tidak terima disalahkan.

“Lho, kalau aku nggak punya alasan cepat, gimana? Masa aku bilang ‘oh, ini kasur buat ngungsi dari tendangan lasak istri’. Gitu?”

Widya nyaris melempar sisir ke arah suaminya.

“Jangan nuduh! Jangan-jangan mas Arman mimpi gelud sama cewekmu, tapi alibi kena tendang aku.” cibir Widya.

“Pikiranmu ngeres, Wid.” Arman hanya bisa menggelengkan kepalanya.

Setelahnya keduanya saling menatap, sama-sama kesal, tapi justru jadi lucu. Arman mendengus, akhirnya melempar tubuh ke ranjang sambil mengibas-ngibaskan handuk di kepalanya.

“Pokoknya kakek tuh terlalu percaya kita pasangan mesra. Aku heran kenapa beliau nggak curiga.”

Widya ikut rebahan tapi membelakangi Arman.

“Karena kamu pinter ngibul, kali. Aku jadi korban sandiwara terus.”

Hening sejenak. Lalu, suara kecil Widya terdengar.

“Tapi... ya sudah lah. Kalau kakek senang lihat kita bahagia, nggak apa-apa, kan?”

Arman menoleh sekilas, wajahnya agak melunak.

“Iya juga sih. Tapi jangan salahin aku kalau besok-besok kakek makin sering nongol.”

Widya mendengus pendek.

“Bagus. Biar kamu makin pusing nutupin sandiwara ini.”

Arman tersenyum miring, menatap punggung Widya yang pura-pura ngambek. Sementara di balik wajah seriusnya, ada sedikit rasa hangat bahwa sandiwara mereka entah kenapa makin terasa nyata.

Suasana kamar masih hening.

Widya sudah berbaring membelakangi Arman, pura-pura sibuk memainkan ujung bantal biar tidak perlu bicara lagi. Arman baru saja meletakkan handuk ke kursi ketika ponselnya bergetar di meja kecil samping ranjang. Nama di layar membuatnya kaku: Priya.

Arman sempat menatap Widya, memastikan istrinya sudah setengah terlelap. Ia ragu beberapa detik, lalu meraih ponsel dan berjalan pelan ke arah balkon, menutup pintu kaca rapat.

“Priya, ada apa? Malam-malam begini?” tanya Arman dengan suara pelan, nadanya terdengar dingin.

Di ujung sana, suara Priya terdengar bergetar, penuh emosi yang ditahan.

“Kenapa... kenapa waktu aku ngajak putus tadi, kamu nggak nahan aku sih, Man? Kamu cuma diem, lalu iya-iya aja... seakan-akan aku ini nggak berarti apa-apa buatmu.”

Arman memejamkan mata, menahan helaan napas.

“Karena kamu sendiri yang mutusin. Apa aku harus maksa orang yang udah jelas-jelas nggak mau, untuk bertahan?”

“Ngomong kayak gitu gampang banget buatmu, ya! Padahal aku nunggu... aku nunggu kamu bilang ‘jangan pergi, Priya... ayo kita coba lagi.’ Tapi kamu... kamu malah bener-bener lepasin aku begitu aja.” ucap Priya dengan nada tinggi, nyaris terisak.

Arman menggenggam ponsel lebih erat. Suaranya tetap tegas, meski ada getir.

“Priya, jangan balikkan semua ini ke aku. Kamu yang bilang capek, kamu yang ninggalin. Aku cuma menghargai pilihanmu. Dan sekarang... aku sudah menikah. Jadi sepertinya…..keputusanmu sudah tepat.”

Hening sesaat. Hanya terdengar isakan kecil dari seberang.

“Kalau begitu... berarti aku memang cuma salah satu bab yang kamu coret dengan gampang, ya? Kamu... nggak pernah benar-benar cinta sama aku, Man?” suara Priya lirih, terdengar menyayat hati.

Arman membuka mulut, tapi terdiam. Kata-kata itu menghantam, tapi ia memilih bungkam.

Dari dalam kamar, Widya sedikit menggerakkan tubuh, matanya setengah terbuka. Ia mendengar samar suara Arman di balkon, nadanya berat, serius. Widya menatap pintu kaca beberapa detik, lalu cepat-cepat memejamkan mata lagi, berpura-pura tidur meski hatinya terasa aneh.

‘Apa priya yang menelpon?’ tanya Widya dalam hati. Dadanya tiba-tiba merasa sesak.

------

1
Enisensi Klara
Udah makin ada kemajuan nih mereka tinggal unnoxingan 🤣🤣
Enisensi Klara
Makin gencar nih Arman 🤣🤣🤣🤣
Enisensi Klara
Beugh ..Arman modus ya bilang mo istirahat dirumah bareng Widya ..padahal emang mau dekat2 Widya 🤣🤣
Enisensi Klara
Pegang aja tuh tangan Widya ga usah ragu dan malu lah Arman 🤣🤣
Enisensi Klara
Beugh ..Arman beliin Widya gelang biar Widya gampang di cari pas dikeramaian padahal modus aja ,biar bisa belikan Widya 🤣🤣jgn cuma gelang lucu beli juga gelang emas dong 🤣🤣
Enisensi Klara
Cieeh ..Arman mulai gombalin Widya hihihi 🤣🤣🤣
Enisensi Klara
Cieee...udah mulai nih saling kasih minuman ke pasangan pake sendok bekas pakai 🤗🤗🤗
Enisensi Klara
Arman gandeng dong tangan Widya 🤣
Enisensi Klara
Takut ada copet Widya jadi pegang erat tasnya 😇😇
Enisensi Klara
Yeaay 🥳🎉🎉🥳 up lagi maaci kak Rie 🤗🤗🤗
emillia
priya....priya...dengan kamu memprovokasi begitu semakin arman muak sama kamu
Safitri Agus
hubungan mereka sudah maju beberapa langkah kedepan, semoga bisa saling menerima satu sama lainnya 😊
Yani Hendrayani
ceritanya ga pernah gagal luar biasa
Mam AzAz
terimakasih Up nya 😊
Mam AzAz
cieee cieee😄😄😄
Safitri Agus
Widya malu-malu nih ciee🤭
Safitri Agus
ya nda papa toh man sudah halal kok
Enisensi Klara
Cieeh ..Arman yg curi2 pandang ke Widya lewat kaca spion 😇😇😇
Enisensi Klara
Cieee ..yg gak bisa jauhan hihihi 🤣🤣🤣itu udah cinta namanya Arman 🤣🤣
Enisensi Klara
Karena kamu sebenarnya punya rasa yg sama kyk Arman Wid ,makanya ga bisa marah sama Arman 🤣🤣🤣
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!