"Ini putri Bapak, bukan?"
Danuarga Saptaji menahan gusar saat melihat ponsel di tangan gadis muda di hadapannya ini.
"Saya tahu Bapak adalah anggota dewan perwakilan rakyat, nama baik Bapak mesti dijaga, tapi dengan video ini ditangan saya, saya tidak bisa menjamin Bapak bisa tidur dengan tenang!" ancam gadis muda itu lagi.
"Tapi—"
"Saya mau Bapak menikah dengan saya, menggantikan posisi pacar saya yang telah ditiduri putri Bapak!"
What? Alis Danu berjengit saking tak percaya.
"Saya tidak peduli Bapak berkeluarga atau tidak, saya hanya mau Bapak bertanggung jawab atas kelakuan putri Bapak!" sambung gadis itu lagi.
Danu terenyak menatap mata gadis muda ini.
"Jika Bapak tidak mau, maka saya akan menyebarkan video ini di media sosial!"
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon misshel, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Part 8. Suami Apa Truck, Kok Disetir?
"Uang sebanyak itu untuk apa, Mila?" Begitu bertemu Mila, Danu langsung menyodorkan total penarikan yang wanita itu lakukan tadi pagi. "Kamu tau uang itu dari mana, kan?"
Mila santai berdiri dari duduknya, menatap Danu seolah semua ucapan Danu bukanlah masalah besar. "Untuk kepentingan kampanye lah, emang kamu pikir kami kerja nggak makan? Kami sibuk terus loh nyari dukungan buat kamu, masa uang segitu aja kamu masalahkan?"
"Seharusnya kamu kasih laporan lebih dulu, baru kamu tarik!" Danu kesal dijawab seperti itu oleh Mila. "Ini tadi aku periksa, tidak ada rencana penarikan sebesar itu untuk hari ini! Uang itu untuk apa?" desak Danu tidak sabar.
Mila menghela napas berat, "untuk uang serahan! Biar Clara cepet nikah dan kabar kehamilan itu nggak merebak kemana-mana!"
Danu membuang napas lelahnya berulang-ulang. "Kenapa kamu kasih uang mereka, Mila ... kesannya kita yang salah dan maksa anak orang buat nikahin dia! Biarin mereka berdua selesaikan masalah mereka sendiri, kita cukup pantau saja—"
"Enak banget kamu kalau bicara ya!" Mila meliukkan bibirnya yang ber lipstik merah cabai itu. "Kalau kita nggak gercep, mereka bakal kabur, apalagi yang laki-laki, pasti gak akan ngakuin anaknya! Kamu nggak punya pengalaman jadi mending diam dan duduk aja nanti jadi walinya! Nggak usah ikut repot ngurusin Clara!"
Mila memberi Danu tatapan kesal sebelum pergi dari tempat itu. "Ya ampun, duit segitu aja perhitungan banget!"
"Kalau itu uangku, nggak ada masalah kamu ambil berapapun, tapi ini uang milik partai, Mila! Kamu nggak tau apa pura-pura nggak tau kalau uang itu bukan uang kita? Nanti akan ada pertanggungjawaban yang jelas, kalau tidak aku bisa kena masalah!"
Mila menghentikan langkah saat Danu menceramahi dirinya seolah dirinya adalah anak magang yang baru pegang uang. Ia menatap Danu jutek.
"Kamu tau kenapa kamu aku jadiin anggota dewan, Danu?"
Danu kaget mendapat pertanyaan seperti itu. Untuk apa memang selain mengusung aspirasi rakyat dari daerah ke pemerintah pusat lalu bersama-sama mewujudkannya. Bukankah begitu pekerjaan dia selama berpuluh-puluh tahun menjabat anggota dewan?
Apa ada tujuan lain selain itu?
Karena Danu terdiam, Mila menjelaskan dengan jelas apa tujuannya menjadikan Danu anggota dewan. "Tentu untuk mendapat keuntungan sedikit dari negara!"
Danu terbelalak kaget. Andai dia bersama polisi saat ini, tentu dia akan langsung diseret ke penjara atas pengakuan dosa ini.
"Kamu pikir, Teman-teman kamu itu nggak gitu?" Mila menunjuk Danu sinis. "Anggap saja itu sumbangan untuk biaya nikah anakmu, mereka pasti tidak keberatan kalau kamu bilang pinjam! Nanti tinggal pintar-pintarnya kamu aja nyari alasan biar nggak ditagih! Toh kamu ketua partainya!"
"Mila nggak bisa gitu!" Danu berkeras. "Sekarang kamu balikin uangnya, pakai uang aku—"
"Uang imutmu nggak bisa buat beli apa-apa selain nasi padang pinggir jalan!" Mila mencibir seraya memutar badan menuju pintu. "Nggak usah banyak bicara kalau kamu mau aman, Danu! Ingat Danu, aku bisa berbuat apa saja untuk membuat kamu terlihat bersalah. Kamu bisa jadi gembel jika aku mau!"
Ucapan Mila Danu dengar dengan baik, tetapi lagi-lagi, Danu hanya bisa diam dan menghela napas berat atas apa yang Mila katakan. Apalagi wanita itu segera beranjak pergi.
Keadaannya memang seperti ini. Danu benar-benar terbelit oleh kekuasaan Mila. Andai saja dulu ia tidak termakan oleh kata-kata manis Soeroso, mungkin ia tidak akan bernasib mengenaskan begini.
Keluarganya memang tampak baik dari luar, tapi didalamnya benar-benar bobrok. Mila begitu teguh pada prinsipnya bahwa semua harta adalah miliknya, Danu hanya bertugas mengelola dan terus menambah pundi uang. Mila adalah bos yang mengatur semuanya termasuk hidup Danu.
Ia memang punya uang dan berkuasa di meja dewan, tapi dirumah ia benar-benar refleksi dari kerbau dicocok hidungnya. Danu mendesah dalam. Rasanya ia mulai bosan menjadi keset bagi Mila.
...
"Pak, ini beneran Bapak ganti uangnya?" Ratih yang sedari tadi menunggu kedatangan Danu, hanya bisa menautkan alisnya ketika melihat Danu menyetorkan uang kembali ke rekening kantor. "Kalau Ibu tau, beliau pasti akan marah sama Bapak."
Danu menghela napas. "Aku tidak isa bohong pada semua anggota, Tih! Aku punya uang kok, dan Mila salah telah ambil uang dari sana."
"Saya mengerti tapi saya rasa uang itu—"
"Tih, tolong turuti saja apa kata saya, untuk urusan Mila, tidak usah kamu pikirkan!" Danu sekarang sedang memikirkan cara lepas dari Mila. Agak kasar tapi ini setidaknya bisa membuat Danu tenang. "Tolong serahkan seluruh pengelolaan uang partai untuk kampanye ke tangan Mila dan anak buahnya, kamu cukup urus mentahnya saja! Apapun yang berurusan dengan pembayaran tolong biar Mila yang atur! Usahakan semua orang tahu hal itu!"
Ratih menghela napas. Dengan tindakan Danu, kini ucapan olok-olok orang-orang terbukti. Danu tanpa Mila bisa apa? Kasihan deh! Danu hanya suami boneka Mila. Yang diperas dan diperalat sebab Mila tidak punya power untuk menyamai ayah dan kakeknya.
Danu itu suami takut istri.
"Baik, Pak." Ratih mengangguk. "Akan saya serahkan saat rapat harian nanti."
Ratih berniat meninggalkan meja Danu, tetapi ia teringat sesuatu jadi ia kembali menghadap Danu. "Pak, tadi Isa nelpon, katanya Revan nggak berhenti ganggu Mbak Beby! Bahkan katanya, sekarang Revan masih duduk di teras Mbak Beby."
Danu terkesiap. Untuk apa anak itu disana? Bukannya segera mengurus anaknya malah sibuk mengejar istri orang.
"Biarkan saja selama Beby aman. Nanti kalau Revan berulah, saya akan minta Isa untuk memberi tahu warga biar Revan diusir karena mengganggu!"
Ratih mengangguk paham. "Bapak tidak berniat ke sana? Kasihan Mbak Beby sendirian—"
"Tih—"
"Cuma saran, Pak ... kalau Bapak suntuk di rumah gedongan, rumah KPR tepi sawah itu nyaman dan membuat jiwa kita damai, Pak." Ratih menahan senyum. Dia bekerja untuk Danu sudah 10 tahunan, jadi dia tau tabiat bosnya yang datar itu. Danu tidak punya ekspresi yang berasal dari hati, melainkan semua berdasarkan program yang terpasang sejak usianya 25 tahun. Senyum bahkan tindakannya adalah bentuk profesionalitas.
Sejauh itu, pengabdian terhadap masyarakat adalah pelampiasan dari kegundahan hatinya. Danu tahu dia tidak memiliki siapa-siapa, jadi dia benar-benar mencintai rakyat dan kerap berlama-lama berada di masyarakat. Itu sebabnya tidak ada yang harus timnya khawatirkan, pemilihnya setia dan setiap 5 tahun bertambah terus jumlahnya.
Danuarga Saptaji dan bupati menjabat adalah kombinasi yang membuat kota ini semakin maju dan berkembang. Bukan hanya infrastruktur, masyarakatnya juga maju dan teredukasi dengan baik.
"Kenapa kamu nyengir begitu, Tih? Ada yang lucu?" Danu sedikit tersenyum karena ekspresi Ratih.
"Saya tahu kok kalau Bapak suka sama Mbak Beby."
"Tapi, saya sudah tua, usia kami terpaut hampir 20 tahun." Danu menyadari hal itu. Bagaimana mungkin pria setua dirinya bersanding dengan gadis muda secantik Beby. Anak itu pasti malu. Buktinya sampai sekarang Beby tidak pernah mendatangi ataupun membalas teleponnya.
"Usia bukan halangan sih, Pak! Saran saya, sesekali pulang ke hunian KPR itu!" Ratih entah mengapa tidak mau menyerah untuk meyakinkan Danu untuk menerima Beby. Rasanya melihat pria itu tersenyum membuat Ratih lega. Setengah hidupnya sudah terlalu pahit.
"Pak, lalapan itu enaknya yang muda-muda! Yang gosong, yang angus, yang pedes, yang membuat perut nyaman ya lalapan yang masih muda!"
Danu menatap Ratih sedikit tertawa. Bisa saja anak ini membuat analogi.
"Eitss, tapi ini bukan soal sambel terasi kesukaan Bapak, ya!"
Danu tertawa lepas karena ucapan Ratih. "Saya belum bisa kesana karena kampanye, nanti—"
"Biar Isa yang atur! Tenang saja!"
Danu mengangguk. "Meski saya tidak tahu harus gimana nantinya, tapi okelah ... biarkan saya berteman dengan istri saya yang itu!"
Ratih terkekeh-kekeh. "Btw, makasih uang jajannya ya, Pak ... anak saya bisa beli laptop baru karena kalian berdua!"
Danu tersenyum. Bagaimana tidak, dia yang mengadakan resepsi, tapi dia juga yang mengeluarkan uang untuk membuat mereka tutup mulut. Khusus Ratih sebagai orang yang mencarikan tamu bayaran, setidaknya untuk menghabiskan jatah katering, Danu memberi sedikit lebih banyak. Ratihlah yang meng-handle semuanya bersama suaminya yang menjadi ketua tim lapangan Danu.
sampai Danu mencerailan mila dan clara sadar diri bahwa dia hanya anak sambung yg menyianyikan kasih sayang ayah sambungnya 💪
mila mila sombongnya tdk ketulungan sm Danu
merasa dulu cantik anak pejabat