( Musim Ke 2 : Perjalanan Menjadi Dewa Terkuat )
Setelah menepati janjinya yang tersisa pada Sekte Langit Baru dan Tetua Huo, Tian Feng tidak lagi bersembunyi. Didorong oleh sumpah pembalasannya, ia memulai perburuan sistematis terhadap Aula Jiwa Bayangan. Bersama Han Xue dan Ying sebagai mata-mata utamanya, mereka membongkar satu per satu markas rahasia Aula Jiwa Bayangan, bergerak seperti dua hantu pembalas dendam melintasi Benua Tengah.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sang_Imajinasi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
CHAPTER 307
Di tengah reruntuhan Benteng Api Penyucian Hitam, di bawah langit merah darah Tanah Tandus Iblis, keheningan akhirnya turun. Tian Feng berdiri diam, memegang Inti Dou Sheng Puncak yang baru saja dimurnikan. Energi murni di dalamnya berdenyut, seolah memanggil Dantian Ban Sheng Puncak miliknya yang masih 'lapar'.
Han Xue dan Ying muncul kembali dari bayang-bayang, pedang mereka bersih. "Seluruh benteng kosong, Pemimpin. Semua jiwa yang terperangkap telah dibebaskan oleh apimu. Tidak ada yang tersisa."
"Bagus," kata Tian Feng. Ia berbalik ke arah Jenderalnya.
Xu Zhao (Dou Sheng 1) berdiri dengan santai, tubuh barunya tampak puas setelah pemanasan singkat. Di tangannya, ia memutar-mutar mutiara hitam kecil—penjara jiwa Gu Yao (Dou Zun Puncak). Jeritan mental yang samar dan penuh kebencian bisa dirasakan memancar darinya.
"Waktunya kembali," kata Tian Feng. "Aku ingin bicara dengan 'tamu' kita."
Ia melangkah maju, meletakkan satu tangan di bahu Xu Zhao dan satu lagi di bahu Han Xue. Dengan kekuatan Fisik Tingkat Sepuluh (Dou Di) dan Ranah Ban Sheng Puncak miliknya, ia tidak lagi membutuhkan jimat atau formasi. Ia hanya merobek ruang di depannya dengan kehendaknya.
Sebuah celah ruang hitam pekat terbuka. Mereka bertiga melangkah masuk, meninggalkan Tanah Tandus Iblis yang hancur.
Hanya sepersekian detik kemudian, di Puncak Tertinggi Akademi Qing Yun, robekan ruang itu terbuka kembali. Mereka bertiga melangkah keluar ke taman bambu yang tenang.
Lin Hao (Dou Sheng 9 Puncak) sedang duduk di meja batu giok, sendirian, sedang menatap papan catur kuno, seolah ia tahu mereka akan segera tiba.
"Cepat sekali," kata Lin Hao, mendongak. Matanya yang bijaksana menyapu mereka. Ia merasakan aura kemenangan, bau darah iblis yang samar, dan ketiadaan dua aura Dou Sheng Puncak dan Dou Zun Puncak yang sebelumnya ia deteksi. Matanya sedikit melebar karena terkejut. "Kalian... berhasil?"
Xu Zhao tertawa, melangkah maju, dan dengan santai melemparkan mutiara hitam yang menjerit itu ke tengah papan catur, membuat bidak-bidak catur Lin Hao berhamburan. "Berhasil? Tentu saja. Tuan Muda melenyapkan si tua Dou Sheng Puncak itu. Dan aku," ia menyeringai, "mendapat mainan baru."
Lin Hao menatap mutiara jiwa Gu Yao, lalu pada Tian Feng. "Melenyapkan... seorang Dou Sheng Puncak?"
"Dia terlalu banyak bicara," jawab Tian Feng singkat. Ia menunjuk ke mutiara jiwa itu. "Aku perlu informasi. Nama Tuan mereka. Lokasi Jenderal Iblis lainnya."
Lin Hao mengerutkan kening. "Jiwa seorang Dou Zun Puncak, apalagi dari Aula Jiwa Bayangan, disegel dengan kutukan yang kuat. Memaksanya bicara akan menghancurkan jiwa itu beserta informasinya."
"Hmph." Xu Zhao mendengus. "Itu karena caramu, Kura-kura Tua, terlalu lembut."
Xu Zhao melangkah maju, tubuh Dou Sheng Bintang Satu-nya memancarkan aura naga yang menindas. "Minggir. Biar aku yang urus."
Ia meletakkan telapak tangannya yang besar di atas mutiara hitam itu. "Tuan Muda ingin dia menjerit. Aku akan memberinya."
Xu Zhao memejamkan mata. "Teknik Rahasia Alam Naga: Penyiksaan Jiwa Naga!"
Ia tidak menggunakan kekuatan fisik. Ia melepaskan seutas tipis dari Tekanan Jiwa Naga primordialnya. Itu bukanlah serangan yang merusak, melainkan sebuah resonansi rendah yang tak terbayangkan, yang dirancang khusus untuk menggetarkan dan merobek jiwa dari dalam ke luar.
SKREEEEEEEEEEEEEEEEE!
Mutiara hitam itu bergetar hebat. Jeritan mental yang begitu melengking dan penuh penderitaan meledak darinya, membuat Lin Hao pun sedikit mengernyit. Sosok Gu Yao (dalam wujud Mo Chen) muncul di permukaan mutiara, wajahnya terdistorsi oleh rasa sakit yang tak terbayangkan.
"TIDAK! HENTIKAN! SIHIR NAGA! KAU... KAU JENDERAL NAGA!"
Tian Feng melangkah maju. Aura gabungan Fisik Dou Di dan Ban Sheng Puncak miliknya menekan jiwa yang tersiksa itu. "Bicara," perintahnya, suaranya dingin. "Di mana Tuanmu?"
"AKU... TIDAK TAHU!" jerit Gu Yao. "TIDAK ADA YANG TAHU! Tuan... tersegel! Jauh! Di dalam Penjara Abadi! Kami... kami hanya menerima perintah melalui Monumen Jiwa! Kami hanya bidak!"
Penjara Abadi. Tian Feng dan Lin Hao saling berpandangan. Itu adalah nama yang menakutkan dari era kuno.
"Di mana Jenderal Iblis lainnya?" tanya Tian Feng lagi.
"TERSEBAR! KAMI SEMUA TERSEBAR!" jiwa Gu Yao berteriak, kini di ambang kehancuran. "Menunggu... menunggu perintah Tuan... menunggu..."
Tian Feng merasakan jiwa Gu Yao mulai retak di bawah siksaan Xu Zhao. Ia tahu ia hanya punya satu kesempatan terakhir.
"Mo Chen," katanya. "Di mana jiwanya?"
"HAHAHA! BOCAH STRATEGIS ITU?" Gu Yao tertawa gila. "Jiwanya sudah lama kulahap! Hancur! Sama sepertimu—"
Sebelum Gu Yao bisa menyelesaikan kalimatnya, mata Tian Feng berkilat dengan cahaya emas. Mata Roh Langit-nya, yang ditenagai oleh jiwa Ban Sheng Puncak, menembus langsung ke dalam inti mutiara hitam itu.
Ia mengabaikan jeritan Gu Yao. Ia mencari. Jauh di dalam kegelapan jiwa iblis itu, terikat oleh rantai-rantai kebencian, ia melihatnya. Sebuah titik cahaya perak yang sangat kecil, redup, nyaris padam.
Pecahan terakhir dari jiwa Mo Chen.
"Beraninya kau..." Tian Feng berbisik, kemarahan dingin menjalari suaranya.
Ia mengangkat tangannya. Api Naga Surgawi yang merah keemasan menyala di telapaknya. "Xu Zhao. Hentikan."
Xu Zhao menarik tekanan jiwanya. Tian Feng meletakkan tangannya yang menyala di atas mutiara hitam itu.
"TIDAK! APA YANG KAU LAKUKAN?!" jerit Gu Yao, merasakan api pemurnian itu.
"Aku membebaskannya," kata Tian Feng.
Api itu menelan mutiara. Jeritan Gu Yao berubah menjadi desisan saat jiwa iblisnya yang jahat dimurnikan dan dilenyapkan menjadi ketiadaan.
Ketika api itu padam, mutiara hitam itu telah lenyap. Di telapak tangan Tian Feng, hanya tersisa satu benda titik cahaya perak yang rapuh dari jiwa Mo Chen yang tertidur.
Tian Feng menatap Pecahan jiwa itu dengan ekspresi yang rumit. Ia menoleh pada Lin Hao.
"Kakek Lin," tanyanya. "Bisakah... kita menyelamatkannya?"