NovelToon NovelToon
Sugar Daddy?

Sugar Daddy?

Status: tamat
Genre:Nikahmuda / CEO / Mafia / Tamat
Popularitas:122
Nilai: 5
Nama Author: Mga_haothe8

Alya adalah gadis muda yang tumbuh dalam hidup penuh luka. Sejak kecil ia terbiasa dibully di sekolah dan hidup di bawah bayang-bayang ayah yang terlilit utang. Puncaknya, Alya hampir dijual untuk bekerja di sebuah bar demi melunasi utang sang ayah. Di tempat itulah hidupnya mulai berubah ketika ia tanpa sengaja bertemu Zavian—seorang mafia berusia 29 tahun, pemimpin perusahaan besar, sosok dingin dan berwibawa yang menyimpan dendam mendalam akibat kehilangan adik tercintanya di masa lalu.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mga_haothe8, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

"Pertanyaan yang Terlalu Jujur"

Pagi itu datang dengan cahaya yang lembut.

Matahari menyelinap melalui celah tirai, jatuh di lantai kamar dalam garis-garis tipis. Alya terbangun dengan perasaan aneh—bukan cemas, bukan takut. Lebih seperti rasa aman yang belum pernah ia kenal sebelumnya. Ia masih meringkuk, hangat, napasnya pelan. Ketika ia bergerak sedikit, ia menyadari sesuatu: ada lengan yang terlipat di sekelilingnya, longgar namun melindungi.

Zavian masih tertidur.

Wajahnya tampak berbeda ketika tidak memikul dunia di pundaknya. Lebih muda. Lebih manusia. Alya menatapnya lama, lalu dengan hati-hati melepaskan diri, takut mengganggu. Ia duduk di tepi ranjang, memeluk selimut, pikirannya mulai berlari ke banyak arah.

Ada hal yang mengganjal sejak malam-malam terakhir.

Ia tidak tahu bagaimana menamainya. Hanya rasa ingin tahu yang tumbuh pelan, bercampur bingung. Ia tahu mereka sudah menikah. Ia tahu mereka tidur di ranjang yang sama. Ia tahu kehadiran Zavian membuatnya merasa aman. Tapi ada satu bagian dari “menikah” yang sering ia dengar dari cerita orang dewasa—sesuatu yang terasa tabu, sesuatu yang tidak pernah ia pahami.

Ketika Zavian akhirnya terbangun, Alya masih duduk di tempat yang sama.

“Kamu sudah bangun?” tanya Zavian, suaranya serak oleh sisa tidur.

Alya mengangguk. “Iya.”

Zavian duduk, menyandarkan punggung ke kepala ranjang. Ia memperhatikan Alya sejenak, lalu bertanya dengan nada ringan, “Kamu kelihatan lagi mikir keras.”

Alya menunduk, jari-jarinya saling bertaut. “Boleh tanya sesuatu?”

“Boleh,” jawab Zavian tanpa ragu. “Kalau kamu nyaman.”

Alya menarik napas. Pertanyaan itu terasa besar di kepalanya, tapi ketika keluar dari mulutnya, suaranya justru polos—tanpa niat apa pun selain ingin mengerti.

“Pak…” ia berhenti sejenak, lalu melanjutkan, “apa kita tidak melakukan itu…?”

Zavian yang sedang mengambil segelas air refleks berhenti. Ia menoleh cepat, hampir tersedak oleh keterkejutannya. Namun ia menahan reaksinya, meletakkan gelas dengan hati-hati, lalu menatap Alya dengan ekspresi tenang—meski ada kilatan kaget yang belum sepenuhnya hilang.

“Itu apa, sayang?” tanyanya perlahan, sengaja memilih nada yang lembut.

Alya mengangkat wajahnya, tampak bingung namun jujur. “Itu… yang dilakukan suami istri di ranjang?” katanya polos, seperti anak yang bertanya kenapa langit berwarna biru.

Hening jatuh sejenak.

Bukan hening yang canggung, melainkan hening penuh pertimbangan.

Zavian menghela napas pelan. Ia menggeser tubuhnya agar sejajar dengan Alya, menjaga jarak yang sopan. Tatapannya lembut, tidak menghakimi, tidak tergesa.

“Alya,” katanya pelan, “terima kasih sudah bertanya dengan jujur.”

Alya menatapnya, menunggu.

“Itu memang sesuatu yang dilakukan oleh pasangan yang sudah menikah,” lanjut Zavian hati-hati. “Tapi bukan kewajiban yang harus terjadi sekarang. Dan bukan sesuatu yang boleh dilakukan tanpa kesiapan dua-duanya.”

Alya mengernyit kecil. “Kesiapan… seperti apa?”

“Kesiapan untuk mengerti,” jawab Zavian. “Kesiapan untuk memilih. Dan kesiapan untuk merasa aman—secara fisik dan hati.”

Ia berhenti sejenak, memastikan Alya mengikutinya. “Aku ingin,” tambahnya jujur. “Tapi kamu masih kecil, dan yang lebih penting—kamu masih polos. Aku tidak mau kamu melakukan sesuatu hanya karena merasa harus.”

Alya menelan ludah. “Jadi… Pak tidak marah aku tanya?”

“Tidak,” Zavian menggeleng. “Aku justru lega kamu bertanya.”

Ia tersenyum kecil. “Artinya kamu percaya padaku.”

Alya memeluk lututnya. “Aku cuma… ingin mengerti. Semua orang bilang menikah itu begini-begitu. Aku takut kalau aku salah.”

Zavian mengulurkan tangan, berhenti beberapa sentimeter dari bahu Alya—memberi pilihan. Ketika Alya mengangguk kecil, ia menyentuh bahunya dengan lembut.

“Kamu tidak salah,” katanya tegas. “Kamu juga tidak kurang apa pun.”

Alya menatap tangannya yang disentuh. “Kalau suatu hari… aku siap?”

“Kalau suatu hari kamu siap,” ulang Zavian, menatapnya penuh perhatian, “dan kamu memilihnya dengan sadar, tanpa takut, tanpa terpaksa—aku akan ada. Tapi sampai saat itu, tugasku adalah menjaga kamu.”

Menjaga.

Kata itu terasa berat sekaligus menenangkan.

Alya mengangguk pelan. “Aku senang Bapak bilang begitu.”

Zavian tersenyum tipis. “Aku juga senang kamu jujur.”

Mereka duduk berdampingan, membiarkan percakapan itu mengendap. Tidak ada rasa malu yang menyesakkan. Tidak ada ketegangan yang berbahaya. Hanya dua orang yang mencoba memahami peran mereka—dengan cara yang paling aman.

Hari itu berjalan seperti biasa, namun terasa berbeda.

Zavian lebih sering menoleh untuk memastikan Alya baik-baik saja. Alya lebih sering tersenyum kecil tanpa alasan. Mereka makan siang bersama. Minum teh hangat sore hari. Hal-hal sederhana yang kini terasa cukup.

Malamnya, ketika mereka kembali ke kamar, Alya terlihat ragu sebelum naik ke ranjang.

“Pak,” katanya pelan, “tidur bareng masih boleh, kan?”

Zavian tersenyum. “Boleh. Selama kamu nyaman.”

Alya naik ke ranjang, mengambil posisi seperti biasa—tidak terlalu dekat, tidak terlalu jauh. Lampu dimatikan, menyisakan cahaya redup.

Beberapa menit kemudian, Alya berbisik, “Terima kasih sudah menunggu.”

Zavian menoleh. “Terima kasih sudah percaya.”

Zavian mendekat memeluk Alya malam itu. Tidak karena tidak ingin—melainkan karena menghormati batas yang baru saja mereka bicarakan. Dan anehnya, keputusan itu membuat dadanya terasa lebih tenang.

Di gelap yang hangat, Alya tertidur dengan perasaan ringan. Ia tahu sekarang: tidak semua hal harus dipahami sekaligus. Tidak semua peran harus dijalani tergesa.

Dan Zavian, sang mafia yang terbiasa mengambil apa yang ia mau dengan perhitungan matang, malam itu memilih sesuatu yang lebih sulit—menunggu, menjaga, dan mencintai dengan cara yang tidak melukai.

Kasih sayang itu tetap tumbuh.

Pelan. Aman. Dan jujur.

Karena bagi mereka, cinta bukan soal seberapa cepat melangkah—melainkan seberapa bertanggung jawab menjaga satu sama lain di setiap jarak yang dipilih.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!