NovelToon NovelToon
Butterfly

Butterfly

Status: sedang berlangsung
Genre:Cinta pada Pandangan Pertama
Popularitas:423
Nilai: 5
Nama Author: Nadhira ohyver

Arunaya, seorang gadis dari keluarga terpandang yang terpenjara dalam sangkar emas tuntutan sosial, bertemu Adrian, pria sederhana yang hidup mandiri dan tulus. Mereka jatuh cinta, namun hubungan mereka ditentang keras oleh Ayah Arunaya yang menganggap Adrian tidak sepadan.

Saat dunia mulai menunjukkan taringnya, memihak pada status dan harta, Naya dan Adrian dihadapkan pada pilihan sulit. Mereka harus memilih: menyerah pada takdir yang memisahkan mereka, atau berjuang bersama melawan arus.

Terinspirasi dari lirik lagu Butterfly yang lagi happening sekarang hehehe....Novel ini adalah kisah tentang dua jiwa yang bertekad melepaskan diri dari kepompong ekspektasi dan rintangan, berani melawan dunia untuk bisa "terbang" bebas, dan memeluk batin satu sama lain dalam sebuah ikatan cinta yang nyata.

Dukung authir dong, like, vote, n komen yaa...
like karya authir juga jangan lupa hehehe

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nadhira ohyver, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 16

Waktu menunjukkan pukul delapan malam. Mereka tahu, jika terlalu lama, penjagaan Tuan Hardi akan mulai curiga. Naya harus segera kembali ke rumahnya yang megah namun hampa.

"Aku harus pergi," bisik Naya, berdiri perlahan.

Rian ikut berdiri, wajahnya tersirat kepedihan yang luar biasa. "Iya. Aku mengerti."

Keduanya mulai melangkah berlawanan arah. Rian berjalan menuju pintu keluar taman dengan kepala tertunduk, sementara Naya melangkah ke arah mobilnya yang menunggu di kejauhan. Lima langkah... sepuluh langkah... jarak itu kembali tercipta secara fisik.

Namun, tepat di langkah ke-lima belas, seolah ada magnet yang menarik batin mereka secara paksa, keduanya berhenti secara bersamaan. Rian menoleh ke belakang dengan napas memburu, dan di saat yang sama, Naya juga berbalik dengan air mata yang kembali tumpah.

Cukup sudah. Topeng itu hancur. Protokol itu musnah.

Naya menjatuhkan tasnya ke tanah dan mulai berlari sekuat tenaga. Rian pun menghambur, berlari melintasi rerumputan taman dengan langkah lebar yang putus asa.

Di tengah taman yang sunyi, mereka akhirnya bertabrakan dalam sebuah pelukan yang sangat erat. Rian mendekap tubuh Naya seolah takut wanita itu akan menghilang jika ia melonggarkan pelukannya barang sedetik. Naya membenamkan wajahnya di dada Rian, menangis tersedu-sedu hingga bahunya berguncang hebat.

"Aku merindukanmu... sangat merindukanmu, Rian!" jerit Naya di sela isak tangisnya.

Rian tidak menjawab dengan kata-kata, ia hanya menciumi puncak kepala Naya berkali-kali sambil ikut menangis. Pelukan itu bukan lagi tentang status, bukan tentang London atau Jakarta. Malam itu, hanya ada dua kupu-kupu yang sayapnya telah sembuh, saling memeluk batin yang selama ini hancur karena merindu.

Di bawah rembulan yang mengintip dari balik awan, isak tangis mereka menjadi melodi paling jujur yang pernah terdengar di taman itu. Mereka telah kembali, dan kali ini, mereka tidak akan membiarkan siapa pun mematahkan sayap mereka lagi.

Beberapa meter dari sana, di balik rimbunnya pohon beringin tua, dua pasang mata menyaksikan segalanya dengan perasaan campur aduk.

Beberapa jam sebelumnya, Aris mengajak Dian menyusul ke tempat ini. Aris tahu persis ke mana Rian akan pergi. "Ayo ikut aku," ajak Aris saat itu. "Aku yakin Naya pun akan pergi ke tempat yang sama. Aku bisa merasakan ikatan batin mereka."

Kini, Dian berdiri bersandar pada bahu Aris. Saat melihat Naya dan Rian hanya saling menyapa dengan formalitas kaku di awal tadi, Dian sempat berbisik gemas, "Mereka itu kenapa sih, Ris?! Sudah rindu begini kok ya pakai acara 'Nona' segala!"

Aris hanya tersenyum tipis dan mengusap air matanya sendiri. "Sabar, Dian. Itu cara mereka bertahan hidup."

Namun, ketika melihat Naya dan Rian akhirnya berbalik dan saling berlari untuk berpelukan, pertahanan Dian runtuh. Isak tangis Dian pecah. Ia menangis tersedu-sedu melihat adegan akhir yang begitu mengharukan di depan matanya. Aris pun tak mampu lagi membendung air matanya, ia hanya bisa diam sambil terus mengusap matanya, merasa lega karena rencana "kebetulan" mereka akhirnya menyatukan kembali dua jiwa yang sempat hancur karena merindu.

Malam itu, di taman yang sunyi, hanya ada suara isak tangis kebahagiaan yang melingkupi mereka berempat.

Malam semakin larut di Jakarta. Setelah pelukan panjang yang meruntuhkan segalanya, Rian dan Naya akhirnya melepaskan dekapan mereka, meski tangan mereka tetap bertautan erat seolah enggan berpisah barang sedetik pun.

Aris dan Dian perlahan muncul dari balik kegelapan pohon. Rian dan Naya sempat terkejut, namun senyum tulus dari Dian dan anggukan mantap dari Aris membuat mereka sadar bahwa mereka memiliki sekutu yang kuat.

"Maaf mengganggu momen kalian," Dian berujar sambil masih menghapus sisa air matanya. "Tapi kita tidak punya banyak waktu. Naya harus segera kembali sebelum penjaganya mulai curiga."

Naya mengangguk lemah, meski berat hati. "Dian benar. Ayah punya mata di mana-mana."

Rian menggenggam tangan Naya lebih erat. "Kita tidak akan lari lagi, Nay. Kali ini, kita akan menghadapi Ayahmu dengan cara yang berbeda. Aku punya proyek besar di tanganku, dan itu adalah kunci untuk tetap berada di sisimu secara legal."

Aris menimpali, "Betul. Status Rian sebagai arsitek konsultan dari London adalah perisai terbaik kita. Tuan Hardi tidak akan berani menyentuh 'aset berharga' perusahaannya selama proyek ini berjalan."

Di bawah lampu taman yang temaram, mereka berempat membentuk lingkaran kecil—sebuah aliansi rahasia. Naya akan tetap berperan sebagai putri yang dingin dan profesional di kantor, sementara Rian akan fokus membangun prestasinya agar posisinya semakin tak tergantikan. Dian dan Rio (kakaknya) akan menjadi jembatan informasi utama.

"Mulai sekarang," Naya menatap Rian dengan mata yang kini kembali bersinar, "setiap langkah kita harus terukur. Aku akan memeluk batinmu dalam diam di kantor, dan kita akan bertemu di sini, atau di mana pun yang aman, hanya saat waktunya tepat."

Rian mengecup punggung tangan Naya. "Terbang lah tinggi, Kupu-kupu ku. Aku akan menjagamu dari bawah."

...----------------...

Pagi itu, Jakarta kembali sibuk. Di kantor pusat Hardi Group, Naya melangkah keluar dari lift dengan wajah yang kembali kaku dan tatapan yang dingin. Tidak ada yang tahu bahwa di balik blazer mahalnya, jantungnya masih bergetar mengenang hangatnya pelukan Rian semalam.

Di ruang rapat besar, Tuan Hardi sudah duduk di kepala meja. Ia tampak lebih segar hari ini, seolah siap mengawasi setiap gerak-gerik proyek baru yang dipimpin putrinya.

"Mana arsitek dari London itu?" tanya Tuan Hardi dengan nada otoriter saat Naya duduk di sampingnya.

"Dia sedang dalam perjalanan, Ayah. Rio sudah menjemputnya di lobi," jawab Naya datar, matanya tertuju pada tablet di depannya, pura-pura sibuk memeriksa laporan.

Pintu terbuka. Rian masuk dengan langkah yang sangat tenang dan berwibawa. Mengenakan kemeja biru navy dengan lengan yang digulung sedikit, ia membawa maket desain yang lebih detail. Tatapannya saat melewati Naya benar-benar kosong, seolah Naya hanyalah atasan yang harus ia hormati.

"Selamat pagi, Tuan Hardi. Nona Naya," sapa Rian dengan suara bariton yang stabil.

Tuan Hardi menatap Rian dari ujung rambut hingga ujung kaki. Ada kilatan curiga di matanya, namun ia harus mengakui karisma dan profesionalisme pria di depannya. "Silakan mulai, Saudara Rian. Saya ingin dengar progresnya."

Rian mulai mempresentasikan desain interior galeri utama. Di tengah presentasi, Naya sengaja memberikan kritik tajam untuk menepis kecurigaan ayahnya.

"Saya kurang setuju dengan penempatan kaca di sisi timur, Saudara Rian. Itu akan terlalu silau saat pagi hari," ujar Naya dengan nada bicara yang cukup pedas.

Rian menatap Naya, sudut bibirnya hampir saja tertarik membentuk senyum bangga melihat betapa hebatnya wanita itu bersandiwara. "Terima kasih atas masukannya, Nona Naya. Saya akan menyesuaikan sudut kemiringannya agar cahaya yang masuk tetap lembut, namun memberikan kesan luas."

Tuan Hardi mengangguk-angguk puas. "Bagus. Saya suka cara kalian berdebat demi kualitas proyek ini."

Andika, yang juga hadir di sana, hanya diam memperhatikan. Ia merasa ada sesuatu yang aneh dalam atmosfer ruangan itu, namun ia tidak bisa menjabarkannya.

Selesai rapat, saat semua orang mulai keluar, Rian sengaja tertinggal untuk membereskan maketnya. Naya pun pura-pura masih mencatat sesuatu. Tuan Hardi sudah berjalan keluar bersama para direksi lainnya.

Hanya ada mereka berdua dalam keheningan ruangan yang luas itu.

Rian melirik ke arah pintu yang sudah tertutup, lalu berbisik sangat pelan tanpa menoleh ke arah Naya. "Kritikan yang bagus, Nona. Sangat meyakinkan."

Naya tersenyum tipis di balik tumpukan berkasnya. "Latihannya semalam cukup membantu, kan?"

"Sangat membantu," balas Rian. "Tunggu pesan dari Dian untuk koordinasi selanjutnya. Jangan sampai Ayahmu curiga."

Naya mengangguk, lalu berdiri dan berjalan keluar tanpa menoleh lagi, meninggalkan Rian yang kini menatap punggungnya dengan penuh cinta. Mereka sedang memainkan permainan yang sangat berbahaya, namun kali ini, mereka memegang semua kartunya.

Bersambung...

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!