Yan Ruyin, nama yang membuat semua orang di Kediaman Shen jijik. Wanita genit, pengkhianat, peracun… bahkan tidur dengan kakak ipar suaminya sendiri.
Sekarang, tubuh itu ditempati Yue Lan, analis data abad 21 yang tiba-tiba terbangun di dunia kuno ini, dan langsung dituduh melakukan kejahatan yang tak ia lakukan. Tidak ada yang percaya, bahkan suaminya sendiri, Shen Liang, lebih memilih menatap tembok daripada menatap wajahnya.
Tapi Yue Lan bukanlah Yan Ruyin, dan dia tidak akan diam.
Dengan akal modern dan keberanian yang dimilikinya, Yue Lan bertekad membersihkan nama Yan Ruyin, memperbaiki reputasinya, dan mengungkap siapa pelaku peracun sebenarnya.
Di tengah intrik keluarga, pengkhianatan, dan dendam yang membara.
Bisakah Yue Lan membalikkan nasibnya sebelum Kediaman Shen menghancurkannya selamanya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Arjunasatria, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 11
“Xiaohe,” panggil Yue Lan, suaranya tetap terjaga meski dadanya berdebar. “Apa kau masih di luar?”
Di luar paviliun, Xiaohe berdiri kaku. Sejak tadi mulutnya ditutup oleh seorang pelayan kepercayaan Shen Liang. Dan Shen Liang sendiri telah berada di tempat itu sejak awal, diam, mendengarkan setiap percakapan antara Shen Wei dan Yue Lan tanpa menunjukkan keberadaannya.
Shen Liang mengangkat tangan, memberi isyarat singkat.
Pelayan itu segera melepaskan tangannya dari mulut Xiaohe.
“Ya, Nyonya,” jawab Xiaohe cepat. “Aku masih di luar.”
Mendengar suara itu, Shen Wei kembali memusatkan perhatiannya pada Yue Lan. Tangannya masih menahan, enggan melepas.
“Apa kau takut?” tanyanya rendah. “Takut ada yang memergoki kita?”
Ia terkekeh kecil.
“Biasanya kau tidak pernah peduli. Bahkan saat istriku tahu hubungan kita, kau tetap berani.” Ia menyipitkan mata. “Tapi sekarang… kenapa kau terlihat takut?”
“Ya,” kata Yue Lan pelan namun tegas. “Kau benar. Aku takut suamiku memergoki kita dan salah paham melihat kita di sini.”
Shen Wei menatapnya tajam.
“Sejak kapan kau peduli pada pria dingin itu?”
“Karena dia suamiku,” jawab Yue Lan tanpa ragu.
Shen Wei tertawa rendah, nada suaranya merendahkan.
“Suami?” ulangnya. “Sejak kapan kau menganggapnya suami? Yang pantas kau sebut suami adalah orang sepertiku. Yang berada di sisimu setiap malam. Yang—”
“Jaga bicaramu,” potong Yue Lan cepat.
Tatapan matanya mengeras.
“Aku jijik mendengarnya.”
Kalimat itu jatuh keras, memutus kata-kata Shen Wei di tenggorokannya.
“Aku mulai muak melihat sikapmu,” kata Shen Wei dengan suara rendah dan tajam.
Ia mendorong Yue Lan hingga punggungnya membentur ranjang. Tubuhnya terkurung, pergelangannya ditekan ke atas kepala, napasnya tercekik oleh jarak yang terlalu dekat.
“Kalau kau berani macam-macam,” ucap Yue Lan tertahan, “aku akan berteriak.”
Shen Wei tertawa pelan, tanpa kehangatan.
“Teriaklah kalau kau berani,” katanya. “Kau yang memilih paviliun ini. Jauh dari jangkauan orang. Tempat yang dulu kau anggap aman karena tak ada yang akan mendengar apa pun saat kau mengerang kenikmatan karena sentuhanku.”
Perempuan ini benar-benar membuatku sulit percaya…
Yue Lan mengumpat dalam hati.
Bisa-bisanya dia sendiri yang memilih tinggal di paviliun terpencil ini bukan karena dikucilkan, bukan karena diabaikan suaminya, melainkan agar leluasa berselingkuh.
Selama ini, Yue Lan sempat mengira Yan Ruyin adalah korban. Istri yang tak dicintai, disingkirkan, lalu ditempatkan jauh dari pusat kediaman sebagai bentuk pengabaian.
Ternyata bukan begitu.
Paviliun ini sunyi bukan karena belas kasihan keluarga Shen.
Paviliun ini sunyi karena memang dipilih agar tak ada yang mendengar, tak ada yang melihat.
Rasa muak naik ke tenggorokannya.
Yue Lan menarik napas dalam-dalam, menekan amarah yang bergejolak.
Apa pun dosa pemilik tubuh ini di masa lalu, satu hal ia tak mau sekarang, ia tidak akan mewarisi kehancuran itu.
Yue Lan menatapnya lurus, bukan karena takut, melainkan dengan kemarahan yang sudah tak bisa lagi ia bendung.
“Lepaskan aku,” katanya pelan, setiap kata ditekan. “Sekarang.”
Shen Wei tidak mendengarkan. Ia menunduk, wajahnya semakin mendekat, napasnya jatuh panas di sisi wajah Yue Lan. Tangannya masih menahan, membuat ruang di sekelilingnya terasa menyempit.
Yue Lan menoleh, menghindar sebisa mungkin. Dan pada saat itu....
BRAKK!
Pintu paviliun terbuka keras. Udara di dalam ruangan seolah terbelah. Shen Wei membeku.
Di ambang pintu berdiri Shen Liang. Wajahnya tetap tenang. Terlalu tenang. Namun tatapan matanya gelap, dingin, dan dalam, tatapan seseorang yang telah mendengar lebih dari cukup.
Pelayan di belakangnya segera masuk, berdiri sigap.
Shen Wei tersentak, refleksnya melepas Yue Lan dan mundur satu langkah. “Shen Liang,”
“Keluar,” kata Shen Liang.
Satu kata dengan nada rendah dan tidak keras. Namun cukup membuat ruangan terasa menekan.
Shen Wei menatapnya, hendak membantah. Namun tatapan Shen Liang menghentikannya di tempat. Tidak ada amarah yang meledak, tidak ada teriakan emosi, yang ada hanya peringatan yang jauh lebih berbahaya.
Shen Wei mengertakkan rahang, lalu berbalik pergi. Pintu tertutup kembali. Keheningan pun jatuh.
Yue Lan duduk di ranjang, napasnya belum stabil. Pergelangan tangannya terasa nyeri, namun ia tidak berkata apa-apa.
Shen Liang melangkah maju, berhenti beberapa langkah darinya. Tatapannya jatuh pada Yue La, sangat lama.
“Mulai sekarang,” ucapnya akhirnya, suaranya datar namun tegas, “tak seorang pun boleh masuk ke paviliun ini tanpa izinku.” Ia lalu berbalik.
Dan sebelum keluar, ia menambahkan satu kalimat tanpa menoleh. “Nanti kita perlu bicara.”
semangat thor jangan lupa ngopi☕️