NovelToon NovelToon
Tumbal Rahim Ibu

Tumbal Rahim Ibu

Status: sedang berlangsung
Genre:Lari Saat Hamil / Kumpulan Cerita Horror / Rumahhantu / Matabatin / Iblis
Popularitas:526
Nilai: 5
Nama Author: Mrs. Fmz

​"Ibu bilang, anak adalah permata. Tapi di rumah ini, anak adalah mata uang."
​Kirana mengira pulang ke rumah Ibu adalah jalan keluar dari kebangkrutan suaminya. Ia membayangkan persalinan tenang di desa yang asri, dibantu oleh ibunya sendiri yang seorang bidan terpandang. Namun, kedamaian itu hanyalah topeng.
​Di balik senyum Ibu yang tak pernah menua, tersembunyi perjanjian gelap yang menuntut bayaran mahal. Setiap malam Jumat Kliwon, Kirana dipaksa meminum jamu berbau anyir. Perutnya kian membesar, namun bukan hanya bayi yang tumbuh di sana, melainkan sesuatu yang lain. Sesuatu yang lapar.
​Ketika suami Kirana mendadak pergi tanpa kabar dan pintu-pintu rumah mulai terkunci dari luar, Kirana sadar. Ia tidak dipanggil pulang untuk diselamatkan. Ia dipanggil pulang untuk dikorbankan.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mrs. Fmz, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 9: Bisikan dari Balik Dinding Kayu

Kirana tersentak mundur, melihat bayangan di bawah celah pintu yang tidak seharusnya ada, dan ia tahu bisikan itu berasal dari balik dinding kayu kamar Kakak Sulungnya.

Bayangan di bawah pintu itu tipis, memanjang, dan tampak bergetar samar—seperti pantulan api lilin, meskipun di koridor tidak ada cahaya lilin. Kirana merangkak menjauh dari pintu, hatinya berdebar tak karuan. Bisikan itu bukan hanya imajinasi. Itu nyata, dan sangat dekat.

"Siapa di sana?" Kirana bertanya, suaranya parau, diarahkan ke dinding kayu yang berbatasan dengan ruangan lain.

Tidak ada jawaban, hanya keheningan yang menyesakkan, ditemani bau melati dan anyir yang kini terasa menyatu.

Kirana mencoba sekali lagi, lebih pelan. "Apakah kau... Kakak Sulungku?"

Keheningan itu pecah. Kali ini, bisikan itu terdengar lebih jelas, sedih, dan bergetar seperti tangisan yang ditahan.

"Jangan percaya dia. Jangan makan. Jangan minum."

"Siapa yang tidak boleh kupercaya?" tanya Kirana, kini merangkak mendekat ke dinding kayu. Ia mengabaikan rasa nyeri di pipinya akibat tamparan tak kasat mata tadi.

"Ibu. Suamimu. Semua orang di sini," jawab suara itu. Bisikan itu terdengar putus asa. "Mereka menjagamu agar... kau matang."

Kirana menempelkan telinganya ke kayu. Permukaan kayu itu terasa sangat dingin. "Kenapa aku? Apa yang terjadi pada Kakak?"

Bisikan itu terdiam lama, seolah sedang mengumpulkan kekuatan. Jeda itu terasa seperti satu abad.

"Kami tidak selamat, Kirana. Aku, dan yang sebelum aku," kata suara itu, suaranya kini mengandung nada marah yang tertahan. "Kau di sini untuk melanjutkan warisan. Warisan darah dan... kecantikan abadi."

"Aku melihat cermin retak. Di dalamnya... aku tidak hamil. Apa artinya?"

"Cermin itu menunjukkan apa yang mereka ambil. Mereka mengambil rahimku, tapi mereka tidak bisa mengambil jiwaku. Jangan biarkan mereka mengambil yang di dalam perutmu!"

Perut Kirana mendadak terasa sakit, seperti kontraksi palsu yang kuat, tetapi lebih tajam. Bayinya menendang liar, seolah merespons bisikan dari dinding.

"Apa yang harus kulakukan? Pintu terkunci. Aku tidak punya jalan keluar." Air mata Kirana mulai menetes.

Tiba tiba, bisikan itu berubah, menjadi mendesak dan ketakutan. "Jangan bersuara keras. Dia datang."

"Siapa?"

"Dia... Yang mengawasimu dari atas. Jangan lihat ke langit langit. Jangan bergerak!"

Jeda. Kirana merasakan hawa dingin yang luar biasa turun dari plafon. Ia bisa mendengar suara samar, seperti kain kaku yang digeser perlahan di langit langit kamar. Ia teringat sinopsis: jejak kaki basah di langit langit kamar. Kirana memejamkan mata, memaksakan diri untuk tidak melihat ke atas.

Suara Dimas terdengar dari luar pintu, mendadak ramah dan ceria, kontras sekali dengan perilakunya lima menit yang lalu.

"Kirana, sayang? Kau sudah tidur? Aku hanya mengecek. Aku baru saja selesai telepon dengan Jakarta. Ada kabar baik tentang utang kita."

Kirana tidak menjawab. Ia tahu Dimas berbohong. Ia mencoba menggerakkan jari jarinya di kayu dinding.

"Aku akan meninggalkan ini di depan pintu. Dimas memohon dari luar. "Ini ponsel lamaku. Sinyalnya tidak bagus, tapi kau bisa menggunakannya. Mungkin kau bisa lihat foto foto lama kita."

Terdengar suara Dimas meletakkan sesuatu di lantai.

Lalu, terdengar bisikan terakhir dari dinding kayu, suaranya kini jauh lebih samar. "Sumur... Bunga melati... Cari... kunci... emas..."

Bisikan itu menghilang. Suara Dimas menjauh. Kirana menunggu beberapa saat, memastikan suaminya benar benar pergi. Ia kemudian merangkak menuju pintu dan meraih ponsel tua yang diletakkan di sana.

Ponsel itu adalah ponsel lipat kuno, model yang sudah tidak digunakan. Kirana menyalakannya. Layar kecil itu menampilkan sisa sisa baterai yang minim dan sinyal yang benar benar kosong. Namun, ia bisa mengakses galeri foto lama mereka.

Ia mencoba mencari nomor Dimas untuk menghubunginya, tetapi ponsel itu tidak bisa menelepon. Ia hanya bisa melihat foto. Kirana membuka folder ‘Kenangan Lama’, dan ia menemukan foto Dimas dan dirinya, tersenyum bahagia.

Namun, di tengah folder itu, ada satu foto yang membuatnya terperanjat. Foto itu sangat buram, tetapi Kirana mengenali subjeknya: Nyi Laras. Nyi Laras sedang berdiri di samping sumur tua, tetapi ia tidak sendirian. Di pangkuannya, tampak seorang bayi mungil yang tidur pulas, diselimuti kain batik yang sama persis dengan yang Kirana temukan di lantai.

Di bagian bawah foto itu, di sebelah kiri, terdapat tulisan kecil yang ditulis tangan dengan spidol permanen: ’Jangan Keluar Setelah Maghrib’.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!