Darah kakaknya masih basah di gaun pestanya saat Zahra dipaksa lenyap.
Melarikan diri dari belati ayahnya sendiri, Zahra membuang identitas ningratnya dan bersembunyi di balik cadar hitam sebagai Fatimah. Di sebuah panti asuhan kumuh, ia menggenggam satu kunci logam bukti tunggal yang mampu meruntuhkan dinasti berdarah Al-Fahri. Namun, Haikal, sang pembunuh berdarah dingin, terus mengendus aromanya di setiap sudut gang.
Di tengah kepungan maut, muncul Arfan pengacara sinis yang hanya percaya pada logika dan bukti. Arfan membenci kebohongan, namun ia justru tertarik pada misteri di balik sepasang mata Fatimah yang penuh luka. Saat masker oksigen keadilan mulai menipis, Fatimah harus memilih: tetap menjadi bayangan yang terjepit, atau membuka cadarnya untuk menghancurkan sang raja di meja hijau.
Satu helai kain menutupi wajahnya, sejuta rahasia mengancam nyawanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mrs. Fmz, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 7: Lengan yang Memberi Pegangan
Lengan yang memberi pegangan pada Fatimah saat turun dari mobil tiba-tiba terasa sangat lemas, karena Arfan mulai kehilangan kesadaran akibat pendarahan yang tidak kunjung berhenti di bahunya. Tubuh tegap sang pengacara itu limbung ke arah samping, nyaris menghantam pintu kayu rumah tua yang masih terkunci rapat. Fatimah terpekik kecil, segera menahan beban tubuh Arfan dengan sisa tenaga yang ia miliki agar pria itu tidak terjerembap ke tanah yang basah.
"Tuan Arfan! Tolong bertahanlah sebentar lagi," seru Fatimah dengan nada suara yang bergetar hebat.
Ia meraba saku jaket Arfan dengan tangan yang gemetar, mencari kunci rumah yang tadi sempat disebutkan oleh pria itu. Keringat dingin mulai bercucuran dari dahi Fatimah, membasahi kain cadarnya saat ia merasakan detak jantung Arfan yang melemah di balik punggungnya. Setelah beberapa detik yang terasa seperti selamanya, jemarinya menemukan sebuah kunci besi dingin yang kemudian ia masukkan ke dalam lubang pintu dengan sekali putar.
"Masuklah, Tuan. Kita harus segera mengobati luka ini," bisik Fatimah sambil memapah Arfan masuk ke dalam ruangan yang gelap dan berbau debu.
Fatimah merebahkan Arfan di atas sebuah balai balai kayu yang sudah usang di tengah ruangan utama rumah tersebut. Ia segera mencari lilin atau lampu minyak di atas meja kayu yang berada di sudut ruangan, mencoba mengusir kegelapan yang mencekam. Cahaya temaram akhirnya muncul, memperlihatkan wajah Arfan yang semakin pucat pasi dengan nafas yang terdengar pendek dan satu satu.
"Jangan tutup mata Anda, saya mohon," ucap Fatimah sambil mulai membuka kancing kemeja Arfan yang sudah basah oleh darah.
Arfan hanya mampu mengerang pelan, kelopak matanya terasa sangat berat seolah ada beban berton ton yang menindihnya. Ia merasakan jemari Fatimah yang gemetar saat menyentuh luka sabetan pisau di bahunya yang nampak sangat dalam dan mengerikan. Bau anyir darah memenuhi indra penciuman mereka berdua, menciptakan suasana yang semakin menegangkan di dalam rumah terpencil itu.
"Ini akan terasa sangat sakit, Tuan," peringat Fatimah sambil mengambil sebotol pembersih luka dari dalam tas kecil yang selalu ia bawa.
"Lakukan saja, jangan pedulikan aku," sahut Arfan dengan suara yang sangat parau, hampir tidak terdengar oleh telinga Fatimah.
Fatimah menuangkan cairan pembersih itu ke atas luka Arfan, membuat tubuh sang pengacara itu tersentak hebat hingga punggungnya melengkung ke atas. Arfan mencengkeram pinggiran balai balai kayu itu kuat kuat, kukunya bahkan meninggalkan bekas goresan dalam pada permukaan kayu yang sudah lapuk. Fatimah menggigit bibir bawahnya, menahan air mata yang ingin tumpah melihat penderitaan pria yang telah menyelamatkan nyawanya malam ini.
"Maafkan saya, ini semua karena kebodohan saya yang nekat melarikan diri," tangis Fatimah pecah saat ia mulai membalut luka itu dengan kain bersih.
"Berhenti menyalahkan dirimu sendiri, ini adalah pilihanku," potong Arfan sambil mencoba mengatur kembali nafasnya yang masih memburu.
Arfan menatap langit langit rumah yang dipenuhi sarang laba laba, mencoba mengalihkan perhatiannya dari rasa perih yang menjalar hingga ke seluruh saraf lengannya. Ia tahu bahwa Haikal tidak akan tinggal diam dan pasti akan menyisir daerah pinggiran kota ini dalam waktu singkat. Keamanan rumah tua ini hanyalah bersifat sementara, dan mereka harus segera menyusun rencana selanjutnya sebelum matahari benar benar menampakkan sinarnya.
"Kenapa Anda begitu yakin bahwa saya layak diselamatkan, Tuan?" tanya Fatimah tiba tiba sambil merapikan balutan kain di bahu Arfan.
"Karena aku melihat sesuatu di matamu yang tidak dimiliki oleh orang orang di sekitar ayahmu," jawab Arfan tanpa menoleh ke arah Fatimah.
"Maksud Anda?" Fatimah menghentikan gerakannya, menatap Arfan dengan penuh tanda tanya di balik kain hitam yang menutup wajahnya.
"Kejujuran yang murni, sesuatu yang sudah sangat langka di dunia tempat aku bekerja sehari hari," ucap Arfan sambil perlahan mencoba untuk duduk tegak.
Fatimah terdiam seribu bahasa, merenungkan kata kata Arfan yang terasa sangat tulus dan jauh dari kesan merayu atau mencari keuntungan. Selama ini, ia hanya dianggap sebagai boneka politik oleh ayahnya atau sebagai piala kemenangan oleh pria seperti Haikal. Belum pernah ada seorang pun yang melihat jiwanya secara mendalam, apalagi mempertaruhkan nyawa demi sebuah nilai yang disebut sebagai kejujuran.
"Anda harus beristirahat, biarkan saya yang berjaga di dekat pintu," ujar Fatimah sambil mencoba berdiri untuk menuju ambang pintu rumah.
"Tidak, kamu juga butuh istirahat. Duduklah di sini, kita harus tetap waspada bersama sama," perintah Arfan dengan nada yang tidak bisa dibantah.
Fatimah akhirnya menurut dan duduk di sebuah kursi kayu kecil yang berada tidak jauh dari balai balai tempat Arfan berbaring kembali. Keheningan malam kembali menyelimuti mereka, hanya diselingi oleh suara jangkrik dan gesekan daun daun bambu yang tertiup angin di luar rumah. Namun, ketenangan itu tidak berlangsung lama karena telinga tajam Arfan menangkap suara mesin kendaraan yang mendekat dari kejauhan di jalan setapak.
"Matikan lilinnya, sekarang!" bisik Arfan dengan nada penuh peringatan sambil segera bangkit meski harus menahan rasa sakit yang luar biasa.
Fatimah dengan cepat meniup api lilin hingga ruangan kembali jatuh ke dalam kegelapan total yang hanya diterangi sedikit cahaya bulan dari celah jendela. Mereka berdua menahan nafas, mencoba mendengarkan arah datangnya suara mesin yang kini terdengar semakin jelas dan berhenti tepat di depan pagar rumah. Jantung Fatimah berdegup sangat kencang, seolah olah ingin melompat keluar dari rongga dadanya karena rasa takut yang kembali menyerang.
"Apakah itu mereka, Tuan?" tanya Fatimah dengan suara yang sangat lirih, hampir berupa hembusan nafas saja.
"Aku tidak tahu, tetaplah berada di belakangku dan jangan mengeluarkan suara sedikit pun," jawab Arfan sambil meraba raba mencari benda tumpul yang bisa dijadikan senjata.
Cahaya lampu dari kendaraan itu menyorot masuk melalui celah celah dinding kayu, menciptakan garis garis cahaya yang menari nari di lantai rumah yang penuh debu. Suara langkah kaki yang berat terdengar berjalan di atas tanah kering, melangkah perlahan menuju arah pintu depan yang tadi sudah dikunci oleh Fatimah. Seseorang sedang mencoba memutar gagang pintu, menimbulkan suara decitan logam yang sangat menyakitkan telinga di tengah kesunyian malam yang mencekam.
"Zahra, aku tahu kamu ada di dalam. Keluar sekarang atau aku akan membakar tempat ini sampai rata dengan tanah!" teriak sebuah suara dari luar sana.
Itu bukan suara Haikal, melainkan suara seorang pria yang lebih tua dan memiliki wibawa yang sangat menekan, suara yang sangat dikenal oleh Fatimah sebagai suara ayahnya sendiri. Pratama Al-Fahri ternyata tidak mengutus anak buahnya kali ini, melainkan turun langsung untuk menjemput putrinya yang dianggap telah mempermalukan nama besar keluarga. Fatimah menggenggam lengan baju Arfan kuat kuat, merasa dunia seolah olah sedang runtuh menimpa pundaknya yang kecil dan rapuh.
"Ayah... bagaimana mungkin dia bisa tahu tempat ini?" bisik Fatimah dengan tubuh yang mulai bergetar karena trauma masa lalu yang kembali bangkit.
"Tenanglah, dia belum tentu tahu pasti bahwa kita ada di dalam ruangan ini," ucap Arfan mencoba menenangkan, meskipun ia sendiri merasa situasi ini sangat tidak menguntungkan.
"Aku hitung sampai tiga! Jika pintu ini tidak dibuka, kalian akan mati terpanggang di dalam sana bersama semua rahasia kalian!" ancam Pratama dengan nada yang sangat dingin.
Arfan menyadari bahwa Pratama tidak sedang menggertak, karena tercium aroma bensin yang mulai disiramkan ke dinding luar rumah kayu yang kering itu. Ia harus mengambil keputusan cepat antara menyerahkan Fatimah atau mencari jalan keluar lain yang hampir mustahil untuk ditemukan dalam waktu sesingkat ini. Namun, saat Arfan hendak melangkah menuju pintu, Fatimah menarik tangannya dan menunjuk ke arah sebuah pintu rahasia kecil di bawah lantai kayu yang tertutup oleh permadani usang.
Jalan keluar yang berbahaya itu nampaknya menjadi satu satunya harapan mereka, meskipun mereka tidak tahu ke mana lorong gelap di bawah tanah itu akan membawa mereka pergi.