menceritakan gadis cantik yang berwajah baby face dengan jilbab yang selalu warna pastel dan nude yang menjadi sekretaris untuk melanjutkan hidup dan membantu perekonomian panti tempat dia tinggal dulu. yang terpaksa menikah dengan CEO duda tempat dia berkerja untuk menutupi kelakuan sang ceo yang selalu bergonta ganti pasangan dan yang paling penting untuk menjadi mami dari anaknya CEO yang berusia 3 tahun yang selalu ingin punya mami
dan menurut yang CEO cuman sang seketerasi yang cocok menjadi ibu sambung untuk putri dan pasang yang bisa menutupi kelakuannya
dan bagaimana pernikahan Kontrak ini apakah akan berakhir bahagia atau berakhir sampai kontrak di tentukan
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon sweetmatcha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 2 – Tamu, Jadwal, dan Senyum Manis Nayla
Begitu tiba di lantai 15, Nayla langsung melangkah mantap menuju mejanya yang terletak persis di depan ruang CEO. Penampilannya rapi dan elegan, seperti biasa—blus putih sederhana dipadukan rok pensil abu-abu yang membuatnya tampak profesional namun tetap anggun. Ia duduk tenang, membuka laptop, lalu mulai mengecek agenda kerja atasannya hari ini.
Belum lama ia menekuni layar, suara pintu lift yang terbuka menarik perhatiannya. Dua pria muncul dari dalamnya—satu berwajah dingin dan penuh wibawa, satunya lagi lebih santai dan tersenyum tipis.
Arga, sang CEO, berjalan lebih dulu. Di belakangnya menyusul Dion, asisten pribadi yang setia menemani. Wajah Dion seperti biasa, tenang dan sedikit jenaka.
Begitu mereka mendekat, Nayla langsung berdiri dan menyapa dengan sopan.
“Selamat pagi, Pak Arga. Selamat pagi, Pak Dion,” ucapnya dengan nada ramah.
Pak Arga hanya mengangguk pelan, ekspresinya tetap datar seperti biasanya. Sosoknya memang selalu terkesan dingin dan sulit ditebak. Sementara Dion membalas dengan senyum hangat.
“Pagi, Nayla,” katanya.
Nayla membalas sapaan itu dengan senyum manisnya—senyum khas Nayla yang entah mengapa selalu berhasil bikin para cowok di kantor kehilangan fokus. Tapi di balik senyum itu, Nayla selalu menjaga jarak. Ia bukan tipe yang mudah didekati, meski banyak yang diam-diam menaruh hati padanya.
“Nayla, ikut saya ke ruangan,” ucap Pak Arga singkat, tanpa basa-basi.
“Baik, Pak,” jawab Nayla, langsung mengambil tabletnya dan mengikuti sang CEO masuk ke ruang kerja.
Begitu mereka duduk, Pak Arga langsung membuka laptopnya dan menatap layar sejenak. Lalu, tanpa mengalihkan pandangan, ia bertanya, “Jadwal saya hari ini?”
Nayla menyalakan tabletnya dan menjawab dengan suara tenang.
“Pukul sepuluh nanti Bapak ada meeting dengan divisi keuangan dan pemasaran. Setelah makan siang, pukul dua siang, meeting dengan perwakilan dari perusahaan Permata.”
Pak Arga mengangguk kecil. “Baik. Nanti siang, pesankan makan siang untuk dua orang. Di kafe depan saja.”
“Siap, Pak.”
“Dan nanti ada tamu wanita yang akan datang. Langsung saja arahkan ke ruangan saya, ya, Nayla.”
“Baik, Pak.”
Setelah semua instruksi disampaikan, Nayla pamit dan keluar ruangan. Ia kembali duduk di meja kerjanya, lalu fokus pada layar laptop. Jari-jarinya cekatan mengetik, sesekali berhenti untuk membuka email yang masuk.
Sekitar sepuluh menit kemudian, aroma parfum menyengat tiba-tiba menyergap hidung Nayla. Ia menoleh, dan mendapati seorang wanita berpenampilan mencolok berdiri di depan mejanya. Dress ungu ketat, rambut panjang terurai, dan heels tinggi—terlihat seperti baru keluar dari majalah fashion.
Dengan senyum genit, wanita itu membuka percakapan, “Adek manis, Mas Arga ada nggak?”
Nayla menahan napas sejenak, berusaha tetap tenang. Wajahnya tetap tersenyum ramah meski dalam hati ingin menghela napas panjang.
“Ada, Mbak. Silakan, saya antar.”
Ia berdiri, lalu dengan langkah sopan mengantarkan tamu itu menuju ruang CEO. Setelah pintu tertutup, Nayla kembali ke mejanya. Ia menarik napas pelan, lalu kembali menatap layar laptop.
Tak lama kemudian, Dion muncul sambil membawa dua gelas kopi. Ia berjalan santai lalu duduk di pinggir meja Nayla.
“Nay… udah datang lagi ya ‘cewek shift baru’?” godanya dengan suara pelan.
Nayla menoleh dan tertawa kecil. “Kayaknya jadwal mereka padat, Mas,” jawabnya sambil memainkan stylus di tangannya.
Dion tertawa pendek. Ia menyodorkan satu gelas kopi ke arah Nayla.
“Nih, buat kamu. Biar nggak tegang.”
“Thanks, Mas. Kopi gratis selalu aku terima dengan senang hati,” balas Nayla, tersenyum.
“Eh, nanti makan siang bareng, yuk,” ajak Dion tiba-tiba.
“Tapi aku udah janji makan sama Mega sama Doni, Mas. Soalnya kalau mereka cuma berdua, suka gosipin orang,” jawab Nayla sambil nyengir.
“Ya udah, gabung aja semua. Habis makan, kita langsung ke lokasi meeting, Nay.”
“Okidoki, Mas,” ucap Nayla dengan senyum manisnya yang sekali lagi—tanpa sadar—membuat Dion memalingkan pandangan sesaat, menahan sesuatu yang tak ia katakan.
Dan senyum itulah—senyum khas Nayla—yang diam-diam membuat banyak pria di kantor menaruh hati padanya.
Sayangnya bagi mereka, Nayla bukan tipe yang mudah didekati. Ia manis, tapi tak mudah dilemahkan. Terbuka, tapi tak membiarkan siapa pun masuk terlalu dalam.