Aluna, seorang pekerja kantoran, punya satu obsesi: Grand Duke Riven Orkamor, antagonis tampan dari game otome yang seharusnya mati di semua rute. Baginya, menyelamatkan Riven adalah mimpi yang mustahil.
Hingga sebuah truk membuatnya terbangun sebagai Luna Velmiran — putri bangsawan kaya raya yang manja dan licik, salah satu karakter dalam game tersebut.
Kini, Riven bukan lagi karakter 2D. Ia nyata, dingin, dan berjalan lurus menuju takdirnya yang tragis. Berbekal pengetahuan sebagai pemain veteran dan sumber daya tak terbatas milik Luna, Aluna memulai misinya. Ia akan menggoda, merayu, dan melakukan apa pun untuk merebut hati sang Grand Duke dan mengubah akhir ceritanya.
Namun, mencairkan hati seorang antagonis yang waspada tidaklah mudah. Salah langkah bisa berarti akhir bagi mereka berdua. Mampukah seorang fangirl mengubah nasib pria yang ia dambakan, ataukah ia hanya akan menjadi korban tambahan dalam pemberontakannya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon BlackMail, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 2 : Keren Banget!
"Luna Velmiran!? Aku... Aku menjadi Luna Velmiran!?"
"Tidak... mungkin..." desisnya. Suara yang keluar terasa asing, merdu, dan bukan miliknya. Tangannya yang mungil dan halus memegangi pipi lembutnya di cermin. "Ini... mimpi? Apa aku koma setelah tertabrak truk?"
Dia mencubit lengannya sendiri. "Aduh!"
Sakit. Itu nyata. Ini nyata! Dia benar-benar menjadi Luna Velmiran!
Jantungnya berdebar kencang, darah berdesir di telinganya. Ia memandangi sekelilingnya — kamar yang lebih besar dari seluruh apartemennya, perabotan antik, dan tumpukan perhiasan yang berkilauan.
Aluna — sekarang Luna — kembali menatap bayangannya. Jari-jarinya yang gemetar menyentuh pipi yang halus, menarik helai rambut hitam yang berkilauan, dan merasakan denyut di bawah kelopak mata biru yang kini menjadi miliknya.
Ini bukan mimpi. Rasa dingin di ujung jarinya terasa terlalu nyata.
"Jadi... ini nyata? Apa suara gadis kecil itu yang melakukannya? Serius nih aku masuk ke dunia Novel?" bisiknya pada pantulannya sendiri. "Aku benar-benar ada di dunia Iselyn dan Delapan Pedang? Dan menjadi... Luna?"
Luna menelan ludah. Iselyn dan Delapan Pedang. Nama itu kini bukan lagi sekadar judul game, melainkan sebuah takdir yang menakutkan. Dia bukan lagi Aluna, karyawan biasa yang bisa bersembunyi di balik layar ponsel. Dia sekarang Luna Velmiran.
Di satu sisi, ini adalah keuntungan besar: dia tahu semua plot dan rahasia yang akan datang. Tapi di sisi lain, dia adalah Luna Velmiran. Artinya, dia tidak bisa hanya menjadi penonton. Dia akan terseret ke dalam setiap bencana, setiap teror, dan setiap pengkhianatan yang ada. Lalu, terakhir... pemberontakan Riven.
"Tunggu... Riven!" Napasnya tercekat. Jika Luna Velmiran ada di sini, itu berarti Riven Orkamor juga ada.
"Ahn... Mantap gila."
Suami fiksinya itu hidup, bernapas, dan mungkin sedang merencanakan kehancurannya sendiri di suatu tempat di kekaisaran ini. Obsesi Aluna yang sebelumnya abstrak dan sekedar keinginan untuk melihat akhir bahagia karakter pixel kesayangannya itu kini berubah menjadi sesuatu yang mendesak dan nyata. Sebuah misi kronis.
Ia mengepalkan tangan kecil Luna, merasakan energi baru yang mengalir dalam tubuh muda ini — campuran antara harga diri tinggi Luna yang dimanja dan tekad baja fangirling Aluna.
"Ini... gila. Tapi..." Dia menarik napas dalam-dalam, memaksakan diri untuk tenang seperti saat menghadapi klien yang sulit di kehidupan lamanya. Kepribadiannya yang chaos mulai diatur oleh logika dan pengalaman manajemen Aluna. "Riven... waktu itu dia meminta tolong padaku. Aku yakin mendengarnya. Lalu sekarang... aku di sini."
Tatapannya di cermin berubah dari panik menjadi sebuah determinasi yang membara. Mata biru itu, yang biasanya digunakan Luna Velmiran untuk menggoda, kini menyala dengan api yang berbeda.
Obsesi.
"Oke, Suamiku sayang, permintaanmu diterima. Lady ini akan menyelamatkanmu dari takdir burukmu. Tidak peduli seberapa sulitnya, tidak peduli seberapa kasarnya kamu nanti padaku!"
Luna menyeringai. "Tapi sebelum itu..."
"WAKTUNYA PESTA!!" pekiknya. Suara merdu Luna ia gunakan untuk berteriak dengan cara yang sama sekali tidak Lady.
"Gila! Gila! Gila!" Kegirangannya tidak terbendung. "Seriusan aku jadi Putri Duke di dunia ini? Keren banget!" Luna melompat-lompat dan melakukan tarian kemenangan yang aneh.
"Suamiku hidup!? Bisa kuendus, dong!?" Mengetahui idolanya nyata membuatnya menggelepar tak karuan sambil tertawa terbahak-bahak.
Tubuh barunya yang lentur itu ia lempar ke atas kasur empuk, memantul beberapa kali sebelum akhirnya ia menggulung diri dengan selimut sutra. "Tuuuut... tuuuut... Pemberhentian berikutnya, ranjang Grand Duke Orkamor!"
TOK! TOK! TOK!
"Nona Muda! Nona Muda Luna! Apakah ada yang terjadi?!" Suara Margaret, pelayan pribadi Luna, terdengar panik dari balik pintu.
"Margaret?" Nama itu muncul begitu saja di kepalanya. Bagaikan disiram air es, semua kegilaan Aluna langsung padam. Ingatan sebagai Luna Velmiran—tata krama, etiket, dan kebiasaan selama 17 tahun—menyapu bersih sisa-sisa euforianya.
Tubuhnya yang sedang berguling di kasur mendadak kaku. Dalam satu gerakan anggun, Luna berputar dan duduk tegak di tepi ranjang. Kakinya yang telanjang menyentuh lantai marmer dengan lembut.
Tangannya secara refleks meraih kipas lipat di meja samping, membukanya dengan satu sentakan elegan, dan menyembunyikan separuh wajahnya yang masih memerah.
Ketika ia berbicara lagi, suaranya bukan lagi teriakan norak Aluna, melainkan nada melodius, sedikit lesu, dan sangat terkendali khas seorang lady bangsawan.
"Tidak ada yang terjadi. Masuklah," ujarnya, suaranya jernih dan stabil.
Pintu terbuka pelan. Margaret yang cemas menyapu ruangan, mencari sumber keributan, tetapi yang ia lihat hanyalah nona mudanya yang duduk tenang. Anggun dan cantik seperti lukisan, melirik dari balik kipasnya seolah malu wajah bangun tidurnya terlihat.
"Oh... Berkah Dewi... Nona Muda kami memang sempurna," batin Margaret seketika menjadi lega.
"Ada yang Nona perlukan?"
"Hm... aku tidak punya agenda hari ini, kan? Siapkan saja sarapan dan air mandi."
"Baik, Nona." Margaret membungkuk dan pergi.
Begitu pintu tertutup, senyum elegan Luna seketika goyah. Ia menutup kipasnya. "Gila, yang barusan itu keren mampus!"
"Snap! Tidak ada yang terjadi. Masuklah." Luna menirukan adegannya sendiri. "Keren banget! Seriusan nih, yang barusan itu aku?"
Ia tidak percaya. Rasanya tubuh dan pikirannya bergerak secara alami—terlalu alami, hingga terasa... benar. Seolah ini memang tubuhnya, dan akan selalu begitu.
Tak lama, Margaret kembali bersama beberapa pelayan, membawa peralatan mandi. Mereka memandunya ke kamar mandi mewah, di mana bak marmer besar sudah terisi air hangat seputih susu yang ditaburi kelopak mawar.
Tatapannya tajam menyelidik, wajahnya yang datar membuat pelayan merasa takut. "Apa ini? Surga? Kalau begini sih, tidak ada lagi istilah malas mandi!" jeritnya dalam hati.
"Apa... Apa ada yang tidak sesuai dengan selera Nona?" Salah satu pelayan memberanikan diri bertanya.
Luna bingung. Wajah pelayan itu tertunduk dan jelas sekali sedang gemetar. Dia bertanya-tanya, apa mungkin karakter Luna dulunya sangat pemilih sabun mandi sampai membuat pelayan ketakutan begitu. Dia tidak ingat ada pengaturan seperti itu di karakter Luna Velmiran.
"Hm? Tidak ada, ini bagus. Aku suka aroma mawarnya. Kerja bagus," jawab Luna.
"Ah... Te-terimakasih!"
Luna melirik singkat. Dia hanya memujinya, tapi pelayan itu sudah berhenti gugup dan gemetar, bahkan tersipu malu. Para pelayan lain di belakang mereka juga cukup terkejut dan menatap iri. "Apa pelayan disini kurang dihargai?" batinnya.
Dengan bantuan empat pelayan, gaun tidurnya dilepas. Luna masuk ke dalam air hangat yang wangi, dan tubuhnya langsung melemas. Semua stres kehidupan lamanya seolah luruh. Para pelayan dengan terampil membasuh tubuhnya, memijat kulit kepalanya, dan membilasnya.
Luna hanya bisa memejamkan mata, menikmati setiap detik kemewahan ini sementara Margaret dengan menarik menceritakan rangkuman kejadian penting di kekaisaran selama seminggu terakhir.
Setelah mandi dan dikeringkan dengan handuk lembut, ia dipakaikan chemise tipis dan didampingi kembali ke kamar.