Di dunia yang dipenuhi oleh para gamer kompetitif, Kenji adalah sebuah anomali. Ia memiliki satu prinsip mutlak: setiap game yang ia mulai, harus ia selesaikan, tidak peduli seberapa "ampas" game tersebut. Prinsip inilah yang membuatnya menjadi satu-satunya pemain aktif di "Realms of Oblivion", sebuah MMORPG yang telah lama ditinggalkan oleh semua orang karena bug, ketidakseimbangan, dan konten yang monoton. Selama lima tahun, ia mendedikasikan dirinya untuk menaklukkan dunia digital yang gagal itu, mempelajari setiap glitch, setiap rahasia tersembunyi, dan setiap kelemahan musuh yang ada.
Pada sebuah malam di tahun 2027, di dalam apartemennya di kota metropolitan Zenith yang gemerlap, Kenji akhirnya berhasil mengalahkan bos terakhir. Namun, alih-alih layar ending credit yang ia harapkan, s
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nocturnalz, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 29: Batasan Senjata dan Puncak Legenda
Serangan dari Geng Burung Bangkai menjadi sebuah katalisator bagi kami. Ketakutan akan ancaman dari sesama manusia mendorong kami untuk menjadi lebih kuat dengan kecepatan yang tidak pernah kami bayangkan sebelumnya. Beberapa hari berikutnya kami habiskan dalam siklus perburuan yang intens dan tanpa henti. Stasiun pemadam kebakaran menjadi markas operasi kami, sebuah benteng yang kami tinggalkan saat fajar dan kami kembali saat senja, selalu membawa serta tumpukan loot dan EXP yang melimpah.
Tujuanku jelas: membawa seluruh anggota party inti—aku, Anya, dan Elara—mencapai Level 20. Di "Realms of Oblivion", Level 20 adalah sebuah titik balik, di mana banyak class mendapatkan akses ke skill baru yang kuat atau bahkan jalur job advancement.
Dengan Elara yang kini menjadi anggota penuh, efisiensi kami meroket. Setiap perburuan dimulai dengan nyanyiannya yang merdu, menyelimuti kami dengan buff STR, AGI, dan INT. Ryo, dengan zirahnya yang kokoh, menjadi jangkar pertahanan kami yang tak tergoyahkan, melindungi Elara dari bahaya apa pun. Ini membebaskan aku dan Anya untuk menjadi ujung tombak kembar kami.
Kami kembali ke zona industri, tempat yang tadinya penuh dengan ancaman kini menjadi ladang EXP kami. Kami tidak lagi menghindari monster; kami memburu mereka. Anya, dengan busur dan anak panah peraknya, menjadi seorang pemanah ulung, menjatuhkan musuh dari jarak jauh dengan presisi yang mematikan. Aku, dengan [Gada Tiang Lampu Ogre]-ku, adalah mesin penghancur di garis depan.
Kami bahkan kembali ke Gunung Besi, tempat yang pernah membuat kami melarikan diri. Kali ini, saat [Junk Behemoth] Level 14 itu muncul dari tumpukan rongsokan, kami tidak mundur. Ryo menahan serangannya yang dahsyat dengan perisainya, sementara Elara memperkuat pertahanannya. Aku dan Anya menghujaninya dengan serangan dari dua sisi yang berbeda. Pertarungan itu brutal dan panjang, tetapi pada akhirnya, raksasa logam itu runtuh di bawah gempuran kami yang tanpa henti. Kemenangan itu saja sudah membuat kami semua naik satu level.
Hari demi hari, kekuatan kami tumbuh secara eksponensial. Sampai akhirnya, hari itu tiba.
Target terakhir kami dalam sesi grinding ini adalah seekor [Beruang Cakar Baja Alfa - Level 18], seekor predator puncak yang telah membuat sarang di sebuah gudang yang ditinggalkan. Ini akan menjadi pertarungan yang akan mendorong kami melewati batas dan mencapai tujuan kami.
Pertarungan itu berlangsung sengit. Beruang raksasa itu secepat tank dan sekuat benteng. Cakar logamnya merobek beton seolah-olah itu adalah kertas. Aku menahan serangan utamanya, gadaku beradu dengan cakarnya dalam rentetan benturan yang memekakkan telinga.
"HP-nya tinggal dua puluh persen!" teriak Elara, yang memantau pertarungan dari jarak aman.
Beruang itu meraung marah, seluruh tubuhnya bersinar merah saat ia memasuki mode berserk. Ia menerjang ke arahku dengan kecepatan yang tidak wajar, cakarnya terangkat untuk sebuah serangan yang bisa mengakhiriku.
Aku tidak menghindar. Aku menanamkan kakiku, mengangkat gadaku untuk menangkis pukulan itu. Ini adalah adu kekuatan murni.
CRAAAAACK!
Suara yang terdengar bukanlah suara tulang yang patah, melainkan suara logam yang menyerah. Saat gada Ogre-ku bertemu dengan cakar baja si beruang, sebuah retakan besar menjalar di sepanjang tiang lampu itu. Di bawah tekanan yang luar biasa, kepala gada itu hancur berkeping-keping, dan porosnya yang terbuat dari logam bengkok menjadi bentuk yang tidak wajar.
[Gada Tiang Lampu Ogre] milikku... hancur.
Kejutan sesaat melanda party kami. Senjata utamaku lenyap di tengah pertarungan bos.
Tapi tidak ada waktu untuk panik.
"Anya, kiting pola Charlie!" teriakku tanpa ragu, langsung beralih ke rencana darurat. Aku melemparkan sisa-sisa gada itu dan memanggil kapak besiku dari [Void Storage]. "Elara, fokus penyembuhan padaku! Ryo, siap untuk mencegat jika ia menerobos!"
Meskipun terkejut, party-ku bereaksi seketika. Anya mulai menembakkan panah sambil bergerak mundur, menarik perhatian si beruang yang marah. Aku beralih peran dari tank menjadi penyerang oportunis, menembakkan [Void Pulse] dan mendaratkan tebasan kapak setiap kali ada celah. Tanpa kekuatan hantaman dari gadaku, pertarungan menjadi lebih sulit, tetapi taktik dan kerja sama kami yang unggul akhirnya membawa kami pada kemenangan.
Saat beruang raksasa itu akhirnya lenyap menjadi partikel cahaya, kami semua terduduk kelelahan. Notifikasi kenaikan level muncul untuk kami semua—aku mencapai Level 20, Anya 18, dan Elara 19. Kami berhasil mencapai tujuan kami. Tapi kemenangan itu terasa sedikit hampa saat kami menatap sisa-sisa senjataku yang hancur.
"Senjatamu..." kata Ryo pelan, "Maaf, Kenji-san. Aku tidak yakin bahkan aku bisa memperbaikinya."
[Mata Sang Penamat]-ku mengkonfirmasi ketakutannya: [Gada Tiang Lampu Ogre (Hancur Total) - Tidak dapat diperbaiki].
Anya tampak khawatir. "Apa yang akan kita lakukan sekarang? Itu adalah senjata terkuat kita."
Aku menatap reruntuhan gada itu, lalu aku tersenyum tipis. "Tidak apa-apa," kataku, membuat mereka semua terkejut. "Senjata ini... sudah mencapai batasnya. Itu adalah senjata Rare untuk level awal. Bahkan jika tidak rusak hari ini, aku berencana untuk menggantinya setelah mencapai Level 20. Kerusakannya hanya mempercepat jadwal kita."
Sikap tenangku menenangkan mereka. Mereka menatapku, menunggu. Mereka tahu aku selalu punya rencana.
"Dan aku," lanjutku, mataku bersinar dengan kegembiraan baru, "tahu persis apa penggantinya."
Aku mengumpulkan mereka. Sudah waktunya untuk membagikan salah satu legenda terbesar dari "Realms of Oblivion".
"Di puncak tertinggi yang menghadap kota ini, Gunung Zenith," aku memulai ceritaku, "terdapat sebuah pedang. Bukan sembarang pedang. Sebuah pedang legendaris yang ditempa dari inti bintang jatuh. Namanya... Astrafang."
Aku menceritakan kepada mereka mitos yang kudengar di dalam game. "Raja-raja kuno, pahlawan-pahlawan perkasa, bahkan naga-naga sombong telah mencoba untuk mencabutnya dari batu tempat ia tertancap. Semuanya gagal. Legenda mengatakan bahwa pedang itu tidak bisa dicabut oleh kekuatan, melainkan ia memilih pemiliknya sendiri."
Ceritaku membuat mereka terpesona, tetapi Ryo, dengan pemikiran logisnya, menyuarakan keraguan. "Jika para pahlawan dan naga saja gagal, bagaimana mungkin kita bisa berhasil?"
Aku menepuk pelipisku. "Karena mereka semua mencoba menggunakan kekuatan kasar. Mereka semua buta huruf. Mereka tidak membaca petunjuknya."
[Ingatan Sempurna]-ku menyajikan kembali sebuah gambar yang jelas dari kunjunganku ke puncak Gunung Zenith di dalam game, bertahun-tahun yang lalu. Aku ingat merasa kecewa karena tidak bisa mencabut pedang itu, tetapi juga terpesona oleh ukiran-ukiran rune samar yang menutupi seluruh altar batu di sekitarnya. Sebagian besar pemain mengabaikannya sebagai hiasan. Tapi aku, dalam kebosananku, menghabiskan berjam-jam mencoba menerjemahkannya.
"Di sekitar pedang itu," jelasku, "terukir sebuah puisi kuno dalam bahasa rune para Dewa Bintang. Puisi itu adalah sebuah teka-teki, sebuah ujian kelayakan. Dulu, aku hanya bisa menerjemahkan beberapa kata di sana-sini. Aku tidak pernah bisa memecahkannya."
Aku menatap mereka satu per satu, senyumku semakin lebar. "Tapi itu dulu. Sekarang, aku punya ini." Aku menunjuk ke mataku. "Dengan [Mata Sang Penamat], aku yakin aku bisa membaca setiap rune itu dengan sempurna. Aku bisa memecahkan teka-teki yang telah membingungkan para pahlawan selama berabad-abad."
Aku berdiri, semangat petualangan yang baru membakar diriku. "Astrafang tidak menunggu seorang raja atau pahlawan terkuat. Ia menunggu seseorang yang bisa memahami ceritanya, yang bisa menjawab teka-tekinya. Dan aku akan menjadi orang itu."
Kekhawatiran di wajah party-ku telah lenyap, digantikan oleh kekaguman dan kegembiraan yang meluap-luap. Kami tidak lagi hanya berburu untuk bertahan hidup. Kami tidak lagi hanya grinding untuk level.
Kami akan memulai sebuah quest legendaris.
"Beristirahatlah," kataku pada mereka. "Besok, kita akan mendaki Gunung Zenith. Kita akan mengklaim sebuah legenda."