Gavin Narendra, CEO muda yang memiliki segalanya, menghancurkan pernikahannya sendiri dengan perselingkuhan yang tak terkendali. Larasati Renjana, istrinya yang setia, memilih untuk membalas dendam dengan cara yang sama. Dalam pusaran perselingkuhan balas dendam, air mata, dan penyesalan yang datang terlambat, mereka semua akan belajar bahwa beberapa luka tak akan pernah sembuh.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dri Andri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
# BAB 1: Ulang Tahun yang Dingin
Larasati menatap jam dinding di ruang makan untuk kesekian kalinya. Jarum panjang bergerak pelan, seperti mengejek setiap detik yang berlalu. Pukul tujuh lewat tiga puluh menit.
Dia menarik napas panjang, mencoba mengabaikan sensasi sesak yang mulai merayap di dadanya. Tangannya bergerak tanpa sadar, meluruskan taplak meja yang sudah rapi, menyentuh ujung piring keramik putih yang telah tersusun sempurna. Di tengah meja, lilin-lilin kecil berwarna krem berdiri anggun di antara bunga mawar merah—mawar favorit Gavin, yang dia pesan khusus dari toko bunga langganan di Kemang.
Delapan tahun. Delapan tahun mereka menikah hari ini.
Aroma daging sapi Wellington—hidangan yang dulu membuat Gavin jatuh cinta padanya saat pertama kali dia masak di apartemen kecilnya dulu—masih hangat tertutup di atas meja. Ada juga pasta aglio olio dengan truffle oil, salad Caesar segar, dan tiramisu buatan tangannya sendiri yang dia habiskan seharian untuk menyempurnakan.
Larasati tersenyum tipis, mengingat bagaimana Gavin dulu selalu bilang dia chef terbaik di dunia. "Restoran berbintang Michelin juga kalah sama masakanmu, Lara," katanya sambil mencuri gigitan langsung dari wajan, membuat Larasati tertawa dan memukul tangannya dengan spatula.
Kapan terakhir kali Gavin bilang begitu?
Pertanyaan itu muncul tiba-tiba, seperti serpihan kaca yang menusuk. Larasati menggeleng pelan, mengusir pikiran itu. Ini hari spesial. Hari yang seharusnya indah.
Ponselnya berbunyi. Hatinya melompat. Tapi saat dia lihat layar, hanya notifikasi dari aplikasi belanja online. Bukan Gavin.
Dia sudah menelepon tiga kali sejak pukul enam. Tidak diangkat. Lalu dia kirim pesan: "Sayang, jangan lupa ya, hari ini spesial. Aku tunggu di rumah." Centang biru muncul sepuluh menit lalu. Dibaca, tapi tidak ada balasan.
Mungkin dia sedang meeting penting, pikir Larasati, membela suaminya sendiri di dalam kepalanya. Gavin kan CEO Narendra Group sekarang. Tanggung jawabnya besar. Wajar kalau kadang dia lupa waktu.
Tapi ini ulang tahun pernikahan mereka. Dia ingat, kan?
Larasati berdiri, berjalan ke jendela besar yang menghadap taman depan. Lampu taman menyala lembut, menerangi rangkaian bunga anggrek dan melati yang dia rawat sendiri setiap pagi. Jalanan Menteng sepi, hanya sesekali ada mobil lewat dengan lampu yang menyapu sebentar lalu hilang.
Pukul delapan lewat lima belas menit.
Dia kembali ke meja makan, menyalakan kembali lilin yang mulai meleleh. Api kecil itu bergoyang-goyang, rapuh, seperti sesuatu di dalam dadanya yang mulai retak.
Larasati ingat tujuh tahun lalu, ulang tahun pernikahan pertama mereka. Gavin membawanya ke Bali, menginap di villa tepi pantai. Mereka berdua saja, tanpa gangguan dunia. Gavin membangunkannya tengah malam, mengajaknya berjalan di pantai sambil melihat bintang. "Aku janji akan selalu bikin kamu bahagia, Lara," bisiknya sambil memeluk erat. "Apapun yang terjadi."
Lalu tahun kedua, Gavin memesan seluruh restoran favorit mereka, menghiasinya dengan ribuan bunga. Dia memainkan lagu "Can't Help Falling in Love" dengan gitar, meski suaranya sumbang, membuat Larasati tertawa dan menangis sekaligus.
Tahun ketiga, keempat, kelima... kenangan-kenangan itu mulai kabur. Seperti lukisan cat air yang terkena air, warna-warnanya memudar, bercampur menjadi abu-abu.
Kapan persisnya semuanya berubah?
Larasati tidak tahu. Atau mungkin dia tahu, tapi tidak mau mengakui. Perubahan itu datang perlahan, seperti musim yang berganti tanpa disadari. Ciuman selamat pagi yang hilang. Pelukan sebelum tidur yang terlupakan. Pertanyaan "bagaimana harimu?" yang tidak lagi ditanyakan.
Dan mata Gavin yang mulai menatapnya seperti menatap furnitur—ada, tapi tidak benar-benar dilihat.
Pukul sembilan lewat empat puluh menit.
Larasati membuka ponselnya lagi, jemarinya melayang di atas keyboard. Dia mengetik: "Gavin, kamu di mana? Makannya sudah dingin." Tapi dia tidak jadi mengirim. Terlalu terdengar menuntut. Terlalu terdengar seperti istri yang cerewet.
Dia hapus kalimat itu, mengetik lagi: "Aku tunggu ya, sayang." Tapi itu terdengar putus asa.
Akhirnya dia tidak mengirim apa-apa.
Jam menunjuk pukul sepuluh. Larasati duduk di kursi makan, punggungnya tegak meski seluruh tubuhnya ingin merosot. Lilin sudah setengah jalan meleleh, waxnya menetes ke piring keramik, mengeras seperti air mata yang membeku.
Dia menatap piring kosong di seberangnya. Piring yang seharusnya untuk Gavin.
Suara gemuruh mesin mobil dari luar membuat jantungnya berdegup kencang. Larasati berdiri dengan cepat, hampir menjatuhkan gelas. Dia mendengar pintu pagar otomatis terbuka, lalu bunyi mobil parkir di garasi.
Gavin pulang.
Larasati merapikan rambutnya dengan tergesa, mengusap sudut matanya yang sedikit basah, memastikan senyumnya terpasang sempurna. Dia tidak mau Gavin melihatnya sedih. Tidak mau memulai malam dengan pertengkaran atau keluhan.
Pintu depan terbuka.
Gavin masuk dengan langkah berat. Jasnya kusut, dasi dilonggarkan, rambut sedikit berantakan. Tapi yang pertama kali Larasati cium bukan aroma cologne cedarwood-nya yang biasa—melainkan parfum lain. Parfum manis, floral, dengan sentuhan vanilla. Parfum perempuan.
Sesuatu di dalam dada Larasati menegang, seperti simpul yang ditarik kencang.
"Kamu sudah pulang," kata Larasati, suaranya keluar lebih pelan dari yang dia inginkan.
Gavin hanya mengangguk singkat, melepas jasnya dan melemparnya ke sofa. Matanya tidak menatap Larasati, tidak menatap meja makan yang penuh hidangan, tidak menatap lilin-lilin yang masih menyala. Seolah semuanya invisible.
"Meeting-nya lama sekali," lanjut Larasati, mencoba terdengar ringan. "Aku... aku masakin daging Wellington. Yang kamu suka."
Gavin menghela napas panjang, mengusap wajahnya dengan tangan. "Lara, gue capek banget. Hari ini berat."
Larasati meremas jemarinya di belakang punggung. "Aku tahu. Tapi... ini kan—"
"Gue cuma pengen tidur," potong Gavin. Suaranya datar, tanpa emosi. Seperti berbicara pada asisten, bukan pada istri.
Larasati menelan ludah. Ada ganjalan di tenggorokannya yang membuatnya sulit bicara. "Gavin, hari ini... hari ini ulang tahun pernikahan kita. Yang ke-8."
Gavin berhenti di tengah langkah menuju tangga. Selama beberapa detik, dia diam. Lalu dia berbalik, dan Larasati melihatnya—kilatan kejutan di wajahnya. Kejutan yang dengan cepat berubah menjadi... apa? Penyesalan? Atau ketidakpedulian?
"Oh," katanya pelan. "Shit. Lara, gue... gue lupa."
Lupa.
Kata itu menggantung di udara seperti pisau yang jatuh perlahan.
Larasati tersenyum. Dia tidak tahu mengapa dia masih bisa tersenyum. "Tidak apa-apa. Aku tahu kamu sibuk. Tapi... mungkin kita bisa makan sebentar? Aku sudah—"
"Lara, seriously, gue beneran capek." Gavin mengusap tengkuknya. "Ntar aja ya. Besok kita perayaan dengan bener. Gue janji. Sekarang gue cuma butuh istirahat."
Besok. Selalu besok.
"Oke," bisik Larasati. "Besok."
Gavin mengangguk dan berbalik, melangkah naik tangga dengan langkah berat. Tidak ada pelukan. Tidak ada ciuman. Tidak ada "maaf". Tidak ada "aku cinta kamu".
Larasati berdiri sendirian di ruang makan yang terlalu besar, terlalu sunyi. Dia mendengar pintu kamar di atas tertutup, lalu keheningan total.
Kakinya membawanya kembali ke meja makan. Dia duduk perlahan di kursi yang sama, menatap makanan yang tidak tersentuh. Wellington-nya sudah dingin. Pasta-nya mengering. Salad-nya layu.
Lilin-lilin terus meleleh, api mereka berkedip lemah sebelum akhirnya padam satu per satu.
Larasati merasakan sesuatu yang hangat mengalir di pipinya. Dia mengangkat tangan, menyentuhnya—air mata. Dia tidak tahu kapan mulai menangis. Isakannya keluar tanpa suara, dadanya naik turun dalam ritme patah-patah.
Delapan tahun. Delapan tahun dia mencintai pria itu. Delapan tahun dia memilih dia di atas karirnya, impiannya, dunianya sendiri. Dan malam ini, di hari yang seharusnya merayakan cinta mereka, dia duduk sendirian, menangis di kegelapan sementara suaminya tidur di atas, bahkan tidak peduli cukup untuk turun dan bertanya apakah dia baik-baik saja.
Jam dinding berdetak. Detik demi detik, mengukir waktu yang tidak akan pernah kembali.
Larasati tidak tahu berapa lama dia duduk di sana. Mungkin lima belas menit. Mungkin satu jam. Waktu kehilangan arti.
Akhirnya, dia berdiri dengan kaki gemetar. Dia mulai membereskan meja, membungkus makanan yang tidak tersentuh, meniup lilin yang masih menyala. Tangannya bergerak mekanis, seperti robot yang diprogram untuk terus berfungsi meski hatinya sudah mati.
Saat dia melewati meja kerja Gavin di ruang keluarga, dia melihat ponsel suaminya tergeletak di sana, layarnya menyala karena notifikasi baru.
Larasati tidak bermaksud melihat. Tapi matanya tidak bisa tidak membaca pesan yang muncul di layar:
**"Sayang, tadi malamnya luar biasa. Kapan lagi? - K"**
Dunia Larasati berhenti berputar.
Jantungnya berdegup begitu keras sampai dia bisa mendengarnya di telinganya sendiri. Tangannya membeku di udara, napasnya tertahan di tenggorokan.
_Sayang._
_Tadi malamnya luar biasa._
Huruf-huruf itu seperti terbakar di retinanya. Dia membaca berulang kali, berharap dia salah lihat, berharap itu hanya spam, hanya pesan salah kirim, hanya apa saja selain yang dia pikirkan.
Tapi dalam-dalam, di bagian paling gelap dari hatinya yang sudah retak, Larasati tahu.
Dia tahu kenapa Gavin pulang terlambat.
Dia tahu kenapa ada parfum asing di jasnya.
Dia tahu kenapa mata suaminya tidak lagi menatapnya dengan cinta.
Karena mata itu sedang menatap orang lain.
Larasati mundur selangkah, lalu satu langkah lagi, sampai punggungnya menabrak dinding. Kakinya tidak sanggup menopang tubuhnya. Dia merosot perlahan, duduk di lantai marmer dingin yang pernah mereka pilih bersama ketika merenovasi rumah ini lima tahun lalu.
"Kita akan mengisi rumah ini dengan cinta dan tawa, Lara," kata Gavin waktu itu, menciumnya di tengah debu dan cat.
Cinta.
Larasati memeluk lututnya, menenggelamkan wajahnya di sana, dan menangis. Kali ini bukan isak tanpa suara. Kali ini tangisannya keras, pecah, seperti sesuatu di dalam dadanya yang robek menjadi berkeping-keping.
Tidak ada yang mendengarnya.
Gavin tidur nyenyak di atas, mungkin sudah bermimpi, mungkin tersenyum dalam tidurnya.
Dan Larasati menangis sendirian di lantai rumahnya sendiri—rumah yang terlalu besar, terlalu kosong, terlalu dingin—sambil merasakan pernikahannya hancur di tangannya seperti abu yang terbang tertiup angin.
---
**Bersambung ke Bab 2**