"Si4l, apa yang wanita itu rencanakan?
Mengapa setelah surat cerai kutandatangani, dia justru ... berubah?”
...
Lyara Elvera, seorang gadis yang tak merasakan keadilan di keluarganya. Kedua orang tuanya hanya memusatkan kasih sayang pada kakaknya, sementara Lyara tumbuh dengan rasa iri dan keinginan untuk di cintai
Namun, takdir berkata lain. Sebelum kebahagiaan menyentuhnya, Lyara meregang nyawa setelah terjatuh dari lantai tiga sebuah gedung.
Ketika ia membuka mata, sosok misterius menawarkan satu hal mustahil, kesempatan kedua untuk hidup. Tiba-tiba, jiwanya terbangun di tubuh Elvera Lydora, seorang istri dari Theodore Lorenzo, sekaligus ibu dari dua anak.
Namun, hidup sebagai Elvera tak seindah yang terlihat. Lyara harus menghadapi masalah yang ditinggalkan pemilik tubuh aslinya.
“Dia meminjamkan raganya untukku agar aku menyelesaikan masalahnya? Benar-benar jiwa yang licik!”
Kini Lyara terjebak di antara masalah yang bukan miliknya dan kehidupan baru yang menuntut penebusan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon kenz....567, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Godaan Istri
Lyara baru saja selesai mandi. Ia keluar dari kamar mandi sambil mengusap rambutnya yang masih basah, lalu membuka lemari pakaian. Matanya menatap deretan baju-baju milik Elvera yang tergantung rapi di sana. Ia memicingkan mata, kemudian mengambil salah satu gaun tidur berwarna lembut—pendek, manis, dan tampak menggoda di waktu malam.
Bibir Lyara melengkung membentuk senyuman kecil. “Selera Elvera enggak buuruk. Bajunya bagus-bagus semua,” gumamnya pelan. “Tapi ... aku perlu baju yang sesuai dengan usiaku.”
Ya, meski kini dirinya menempati raga seorang wanita dewasa dengan dua anak, Lyara masih merasa seperti remaja belasan tahun. Ia menatap bayangannya di cermin, menatap kulit dewasa yang ia tempati dengan rasa aneh bercampur kagum.
“Pakai ini, terus kerjaan si Om. Rawwrr~ hihihi.”
Dengan nada bercanda, Lyara mengenakan gaun itu, membiarkan kain tipisnya menempel di kulitnya. Ia sengaja menyisir rambut panjang Elvera hingga terurai lembut, lalu mengoleskan lipstik merah di bibirnya.
“Cantik banget Elvera ini …,” bisiknya sambil berpose centil di depan cermin.
Namun, suara berat tiba-tiba memecah suasana. “Apa yang sedang kamu lakukan?”
Lyara tersentak. Jantungnya hampir melompat keluar. Ia menoleh cepat, dan matanya langsung membesar saat melihat sosok Theodore berdiri di ambang pintu kamar. Ia refleks menatap jam dinding—baru pukul delapan malam.
“Katanya lembur? Kok udah pulang?” ucap Lyara terbata, kaget. “Lembur apaan jam segini? Baabi ngeeepet aja belum pulang!”
Theodore tidak menjawab. Pandangannya hanya terarah lurus pada Elvera atau lebih tepatnya, pada sosok Lyara di tubuh Elvera malam itu. Mata pria itu menangkap setiap detail penampilan istrinya, rambut yang basah, lipstik yang berani, gaun tipis yang mengundang. Sudah lama ia tak melihat Elvera seperti ini, dan hatinya berdebar aneh.
Kakinya melangkah perlahan mendekat, sementara Lyara, yang sejak tadi hanya memandang bingung, mulai gelisah. “Kenapa nih Om, hm?” gumam Lyara, suaranya meninggi setengah gugup.
“Kamu mau menyambut siapa malam ini?” tanya Theodore, nadanya berat, seolah mencurigai sesuatu.
Ia menatap tajam, dan di balik matanya tersimpan rasa takut, takut kehilangan, takut dikhianati kembali. Walau mereka sudah sepakat untuk memperbaiki rumah tangga, luka lama masih membekas.
“Menyambut siapa? Menyambut peri tidurkuuuu!” jawab Lyara, berusaha santai. “Memangnya kenapa? Salah kalau aku berdandan?”
Ia mengibaskan rambutnya, hingga helaian panjang itu mengenai wajah Theodore.
Aroma shampo lembut dari rambut Elvera membuat pria itu terpaku. Leher putih yang terekspos membuat j4kunnya bergerak naik turun. Ada sesuatu yang bergetar di d4danya—sesuatu yang sudah lama hilang.
“Om mau ngapain?” tanya Lyara cepat, kini ketakutan oleh hasil pancingannya sendiri.
Theodore tidak menjawab. Ia meraih pinggang istrinya dan menariknya ke dalam pelukan hangat. Kedua mata mereka bertemu. Dalam diam, Theodore menyadari sesuatu. Tatapan itu … asing. Bukan tatapan Elvera yang selama ini ia kenal. Ada sesuatu yang lain di balik mata itu.
“Apa yang terjadi denganmu? Kenapa belakangan ini kamu sangat aneh?” bisik Theodore dengan nada pelan namun dalam.
Lyara tersenyum samar, menyentuhkan jemarinya ke leher Theodore. “Aneh bagaimana? Aku tetap istrimu, kan? Apanya yang aneh, hm?”
Namun di balik senyum itu, pikirannya panik. "Astaga, jantungku! Aku bukan wanita nakal, sungguh! Ini bukan aku yang menggoda, tapi tubuh ini yang punya kebiasaan begitu … bukan aku!
Theodore menatapnya lekat-lekat. “Cara bicaramu, sikapmu, cara kamu menatapku ... semuanya berbeda. Kamu seperti dua orang yang berbeda.”
Lyara menelan lud4h, lalu berusaha menutupi ketegangannya. “Aku cuma ingin mengubah sikapku. Biar kamu bisa tegas terhadap rumah tangga kita. Kalau kamu sempat kepikiran untuk selingkuh,”
Ia mendekat, menatap mata Theodore dengan lembut. “… pikirkan dulu anak-anak.”
“Woaaaah, lagi lapaaaat makanaaan?”
Keduanya sontak menunduk. Di sana, berdiri bocah mungil dengan senyum lebar—Eira, anak kecil dengan pipi bulat yang selalu jadi penetral suasana rumah. Theodore dan Lyara tertawa kecil. Mereka bahkan tak sadar kapan Eira masuk ke kamar.
Theodore segera menggendongnya, sementara Lyara menunduk dan menc1umi tangan mungil anak itu.
“Ei habis makan coklat lagi, yah?” tebak Lyara. “Tadi siang kaaan udaah,"
“"Itu ciang, matahali cudah belubah jadi bulan celigala. Meleka belbeda ciiii?"
Lyara mencuubit pipinya lembut. “Pintarnya anak Mamaaa!” serunya gemas sambil menc1umi wajah Eira. Tapi karena terlalu banyak diciumi, Eira pun merengek dan melengos kan wajahnya.
Saat itu, Theodore terkejut karena k3cupan sang istri malah jatuh di bibirnya. Ia terdiam, membulatkan mata, sementara Lyara juga tampak kaget setengah mati.
“Ma-maaf!” serunya panik, memegang bibir sendiri. “Aduh … gatal nih bibir, tahu aja tempatnya di mana,”
Theodore hanya tersenyum. Ia menunduk, lalu memberikan k3cupan ringan di sudut bibir wanita itu.
Tubuh Lyara langsung menegang, matanya membulat, sementara jantungnya berdentum tak karuan. Tatapan mereka bertemu dan waktu seakan berhenti sejenak.
“Papa, kapan Ei bica cekolaaah? Ei nda ada temen dicini loooh!” protes Eira.
Theodore menegakkan tubuhnya dan tersenyum lembut. “Papa lagi cari sekolah yang bagus buat Ei. Sabar sebentar boleh?”
Eira mengangguk cepat. “Cabal cebental bicaaaa. Papa tau nda? Cabalnya Ei itu cepelti calang laba-laba. Buka ticuuuu lagi, jadi kalau cabalnya Ei nda ada, Ei cali cekolah Ei cendiliii tau nda?”
Theodore tertawa kecil, tapi Lyara hanya menghela napas lega, entah lega karena suasana mencair, atau karena jantungnya masih belum berhenti berdebar.
Tanpa mereka sadari, dari balik pintu, tengah mengintip. Gadis kecil itu tadi ingin menyapa papanya yang baru pulang, tapi langkahnya terhenti melihat pemandangan di depan mata. Mama dan Papa tertawa bersama. Hangat dan terlihat akur. Setelah sekian lama penuh pertengkaran. Ada perasaan lega mengalir di d4danya, tapi ego kecilnya membuatnya bingung harus bereaksi seperti apa.
Akhirnya, Keisya memutuskan kembali ke kamarnya dengan diam, tapi sedikit tersenyum.
.
.
.
.
Seperti biasa, Keisya bersiap berangkat ke sekolah. Ia mengenakan seragamnya dengan cepat, lalu mengecek isi tasnya. Tapi kemudian matanya melebar.
“Aduh! Aku lupa ngerjain PR!” serunya frustasi.
Ia buru-buru duduk di meja belajar dan membuka buku. Rambutnya masih berantakan, belum sempat disisir, tapi tangannya sibuk menulis. Wajahnya terlihat panik. Pagi yang benar-benar kacau.
"Gurunya galak lagi, gimana iniiii." Gumamnya panik.
Sementara itu di ruang makan, Lyara sudah menyiapkan sarapan sederhana, roti panggang dan sup jagung hangat. Ia masih belum terlalu lihai memasak, tapi berusaha keras setiap pagi mencari resep baru di ponsel.
“Maaa,” Eira datang sambil menggandeng tangan Theodore. Lyara tersenyum, menunduk, dan mengangkat gadis kecil itu ke kursinya.
Eira menatap makanan di meja, tapi matanya malah tertuju pada gelas berisi susu. Ia langsung meraihnya.
“Awww!” serunya pelan sambil menarik tangan.
“Telcetluuuum,"
“Pegang gagangnya, jangan gelasnya,” tegur Theodore lembut. Ia memindahkan gelas itu lebih dekat ke anaknya.
“Kenapa halus Eila yang belucaha? Cucunya yang mau di minum Eilaaa, kenapa nda dia yang menyodooolkan diliii?” omelnya polos.
Theodore menahan tawa. “Kalau tunggu susunya menyodorkan diri sampai Eira krempeng, nggak bakal dia menyodoorkan diri.”
Eira mengerucutkan bibir. “Nda sopan itu belalti dia!”
Theodore menghela napas panjang sambil menahan senyum. “Ya sudah, makan dulu yuk. Papa juga lapar.”
“Aku panggil Keisya dulu,” kata Lyara, beranjak dari kursi.
“Jangan, biar aku aja,” ucap Theodore cepat. Ia tahu, kalau Elvera yang menghampiri Keisya, bisa-bisa pagi itu diwarnai keributan lagi.
Namun Lyara tetap bersikeras. “Biar aku aja.”
Nada suaranya lembut tapi tegas. Ia melangkah pergi, meninggalkan Theodore yang hanya bisa memandang dengan wajah sedikit khawatir.
_________________________________
Kalau narasi Theo, selain Lyara pokoknya tetap nama Elvera yah (Theodore melihat Elvera berjalan menuju ruang makan, ia pun menghampirinya). Kalau narasi Lyara baru pake nama Lyara (Lyara menyambut Theodore pulang).
Kalau Fantasi agak agak si, tapi kita coba keluar dari Zona aman😭 Berjalan sambil belajar😆
Masukan siap di terima😶🌫️
Kita beralih ke Alian duluuuu😆
trs kalau el sdh lepas kB itu hamil Anak Bryan huhhhh kenapa rumit sekala hidupnya ara dan el ..
berharap Aja authornya kasih juga ara dan el mereka ketukar ara di raga el dan el di raga ara .. terus Si el nikah ma mike dan hamil muga gitu