"Aku mati. Dibunuh oleh suamiku sendiri setelah semua penderitaan KDRT dan pengkhianatan. Kini, aku kembali. Dan kali ini, aku punya sistem."
Risa Permata adalah pewaris yang jatuh miskin. Setelah kematian tragis ayahnya, ia dipaksa menikah dengan Doni, anak kepala desa baru yang kejam dan manipulatif. Seluruh hidup Risa dari warisan, kehormatan, hingga harga dirinya diinjak-injak oleh suami yang berselingkuh, berjudi, dan gemar melakukan KDRT. Puncaknya, ia dibunuh setelah mengetahui kebenaran : kematian orang tuanya adalah konspirasi berdarah yang melibatkan Doni dan seluruh keluarga besarnya.
Tepat saat jiwanya lepas, Sistem Kehidupan Kedua aktif!
Risa kembali ke masa lalu, ke tubuhnya yang sama, tetapi kini dengan kekuatan sistem di tangannya. Setiap misi yang berhasil ia selesaikan akan memberinya Reward berupa Skill baru yang berguna untuk bertahan hidup dan membalikkan takdir.
Dapatkah Risa menyelesaikan semua misi, mendapatkan Skill tertinggi, dan mengubah nasibnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kde_Noirsz, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 28 : Labirin Pelabuhan Tua: Pertarungan Antara Keponakan dan Paman
Angin laut yang asin dan dingin menusuk hingga ke tulang saat Risa Permata melangkah turun dari taksi tua di pinggiran Pelabuhan Tua Jakarta. Kawasan ini adalah labirin peti kemas yang berkarat, gudang-gudang terbengkalai, dan bayang-bayang kriminalitas yang pekat. Jauh dari kemilau lampu kristal hotel tempat ia merayakan pernikahannya semalam, di sinilah realitas kekuasaan yang sesungguhnya berada.
Risa meraba pistol perak peninggalan ibunya yang terselip di balik jaket kulit hitamnya. Senjata itu terasa hangat, seolah memberikan keberanian yang tidak dimiliki Risa di kehidupan pertamanya.
[SISTEM: AREA PELABUHAN TUA TERDETEKSI.]
[TARGET: ADRIAN PERMATA & PAMAN HARI.]
[TINGKAT BAHAYA: SSS (EXTREME).]
[PERINGATAN: TERDAPAT 40 TANDA VITAL BERSENJATA DI DALAM GUDANG 9.]
"Kau sudah sampai, Keponakanku?" suara Adrian bergema dari sebuah speaker usang yang terpasang di salah satu tiang lampu. "Masuklah. Pamanmu Hari sudah tidak sabar ingin memelukmu... atau mungkin meminta maaf karena telah mengkhianatimu lagi."
Risa tidak menjawab. Ia melangkah dengan waspada, menggunakan Mata Kegelapan untuk memetakan posisi musuh di balik tumpukan peti kemas.
Gudang nomor 9 berdiri kokoh di ujung dermaga yang nyaris runtuh. Bau solar dan anyir darah samar-samar tercium. Saat Risa mendorong pintu besi yang berat itu, ia disambut oleh keheningan yang menyesakkan. Di tengah ruangan yang luas, di bawah satu lampu gantung yang berayun, seorang pria terikat di kursi kayu.
"Paman Hari?" bisik Risa.
Kondisi Hari Permata sangat mengenaskan. Wajahnya bengkak, dan ia tampak setengah sadar. Namun, saat ia melihat Risa, matanya membelalak ketakutan. Ia mencoba bicara di balik lakban yang menutup mulutnya, kepalanya menggeleng dengan keras.
"Oh, dia mencoba memperingatkanmu, Risa," suara Adrian muncul dari kegelapan di atas balkon lantai dua gudang. Adrian melangkah ke tepian, memegang segelas wiski di satu tangan dan tongkat komando di tangan lainnya. "Dia mencoba memberitahumu bahwa ini adalah jebakan. Tapi bukankah kau sudah tahu itu?"
"Lepaskan dia, Adrian," ujar Risa dengan suara rendah yang penuh otoritas. "Kau sudah mendapatkan Permata Group melalui skandal yang kau ciptakan. Apa lagi yang kau inginkan?"
Adrian tertawa, suara tawanya memantul di dinding gudang yang kosong. "Permata Group? Itu hanya remah-remah, Risa. Aku menginginkan apa yang ada di balik 'Akar Jati'. Aku tahu kau menemukan USB itu. Aku tahu kau tahu tentang cadangan emas negara yang dikelola ayahmu secara rahasia."
"Itu bukan milikmu. Itu milik negara," tegas Risa.
"Negara adalah siapa saja yang memegang kendali," balas Adrian. Ia memberi isyarat, dan tiba-tiba sepuluh pria bersenjata muncul dari balik bayang-bayang, mengepung Risa. "Berikan USB itu, dan aku akan membiarkan Hari mati dengan cepat. Jika tidak... aku akan membiarkannya hidup cukup lama untuk melihatku menguliti wajahmu."
Risa tidak bergeming. Ia justru tersenyum tipis—sebuah senyum yang membuat Adrian sedikit mengernyitkan dahi.
"Kau pikir aku datang ke sini tanpa persiapan, Paman?" Risa mengangkat tangan kirinya, menunjukkan sebuah jam tangan pintar yang layarnya menyala merah. "Dalam tiga menit, seluruh data tentang korupsi konsorsiummu dengan pihak asing akan terunggah secara otomatis ke server interpol jika denyut nadiku berhenti atau jika aku tidak menekan kode konfirmasi."
"Kau menggertak!"
"Coba saja," tantang Risa.
[SISTEM: AKTIFKAN MANIPULASI PIKIRAN - RADIUS LUAS.]
[MEMPENGARUHI KONSENTRASI PARA PENGAWAL...]
Tiba-tiba, para pengawal Adrian mulai merasa pusing. Beberapa dari mereka menurunkan senjatanya tanpa sadar. Fokus mereka terpecah antara perintah Adrian dan rasa takut yang tiba-tiba muncul tanpa alasan.
"Apa yang kalian lakukan?! TEMBAK DIA!" teriak Adrian panik.
DOR! DOR!
Suara tembakan terdengar, tapi bukan dari pengawal Adrian. Atap kaca gudang hancur berantakan saat beberapa tali fast-roping turun. Pasukan khusus dengan seragam hitam legam masuk dengan presisi militer. Di barisan paling depan, dengan senapan serbu di tangan, adalah Revano Adhyaksa.
"Aku sudah bilang, Risa... aku tidak akan membiarkanmu pergi sendirian," ujar Revano sambil melepaskan tembakan ke arah pengawal Adrian yang mencoba melawan.
Pertempuran pecah di dalam gudang. Risa segera berlari menuju Paman Hari. Ia mengeluarkan pisau dan memotong tali pengikatnya.
"Risa... lari... ini bukan aku..." bisik Hari dengan suara parau saat lakbannya dibuka.
"Apa maksudmu, Paman?"
Tiba-tiba, Paman Hari menarik sebuah pemicu yang tersembunyi di bawah kursinya.
[SISTEM: PERINGATAN! DETEKSI BOM BUNUH DIRI!]
Risa melihat ke bawah kursi. Sebuah bom dengan timer yang menyisakan lima detik terpasang di sana. Hari ternyata bukan hanya tawanan; dia telah dijadikan bom manusia oleh Adrian.
"Maafkan aku, Risa... dia mengancam akan membunuh anak-istriku..." tangis Hari.
"REVANOOO! TIARAP!" teriak Risa.
Risa tidak sempat lari jauh. Ia hanya bisa mendorong Hari ke arah tumpukan karpet tua dan berguling ke balik peti kemas baja tepat saat ledakan itu terjadi.
BLAAAAMMM!
Gudang itu berguncang hebat. Api membumbung tinggi. Risa merasakan panas yang luar biasa dan benturan keras di kepalanya sebelum semuanya menjadi gelap sesaat.
Saat Risa membuka mata, telinganya berdenging. Ia melihat api merayap di mana-mana. Revano ada di dekatnya, berusaha menyingkirkan puing-puing yang menghalangi jalan mereka.
"Risa! Kau bisa mendengarku?!" Revano berteriak, wajahnya yang tampan kini tercoreng jelaga.
Risa mengangguk lemah. Ia melihat ke arah tempat Paman Hari tadi. Tidak ada yang tersisa selain kawah kecil dan puing-puing. Paman Hari, sosok yang di kehidupan sebelumnya sangat ia benci namun di kehidupan ini ia coba selamatkan, telah tewas menjadi korban keserakahan Adrian.
"Adrian... di mana dia?!" Risa berdiri dengan tertatih, kemarahannya kini melampaui rasa sakitnya.
Di balkon, Adrian tampak sedang berusaha melarikan diri melalui pintu darurat. Ia terlihat marah karena rencananya gagal total. Risa mengambil pistol perak ibunya, membidik dengan tangan yang gemetar namun fokus yang tajam.
[SISTEM: AKTIFKAN AUTO-AIM.]
[KUNCI TARGET: ADRIAN PERMATA.]
DOR!
Peluru itu mengenai bahu Adrian. Pria tua itu jatuh tersungkur di balkon. Risa berlari menaiki tangga besi yang mulai panas, mengabaikan teriakan Revano yang memintanya untuk tetap di bawah.
Saat Risa sampai di atas, ia berdiri di depan Adrian yang mengerang kesakitan. Adrian menatap Risa dengan kebencian murni.
"Kau... kau persis seperti Lestari," desis Adrian. "Kau pikir kau menang? Kematian Hari adalah awal. Seluruh dunia akan tahu bahwa keluarga Permata adalah pengkhianat negara!"
"Dunia akan tahu kebenarannya, Paman. Tapi kau tidak akan ada di sana untuk melihatnya," jawab Risa dingin. Ia menodongkan pistol tepat ke dahi Adrian.
"Risa, jangan!" Revano sampai di atas, ia memegang tangan Risa. "Jangan kotori tanganmu dengan darah tikus ini. Biarkan hukum yang mengurusnya. Jika kau menembaknya sekarang, kau tidak akan berbeda dengannya."
"Dia membunuh ibuku, Revano! Dia membunuh Paman Hari! Dia mencoba menghancurkan ayahku!" teriak Risa dengan air mata yang mulai mengalir. "Di kehidupan sebelumnya, dia membuatku membusuk di penjara!"
Revano tertegun mendengar kalimat terakhir Risa, namun ia tidak melepaskan tangannya. "Aku tidak tahu apa yang kau maksud dengan 'kehidupan sebelumnya', tapi di kehidupan ini, aku adalah suamimu. Dan aku tidak akan membiarkan istriku menjadi pembunuh."
Risa menatap mata Revano. Di sana, ia melihat cerminan jiwanya yang hancur namun juga melihat sebuah pelabuhan yang aman. Perlahan, Risa menurunkan senjatanya.
Tiba-tiba, Adrian tertawa kecil. Ia mengeluarkan sebuah pemantik api. "Jika aku tidak bisa memilikinya, maka tidak ada yang bisa."
Adrian melemparkan pemantik itu ke arah tumpukan jerigen solar di bawah balkon.
"LARI!" teriak Revano.
Revano menyambar pinggang Risa dan mereka melompat dari balkon lantai dua tepat saat tangki solar itu meledak, menghancurkan seluruh bagian atas gudang termasuk tempat Adrian berdiri.
Risa dan Revano jatuh ke tumpukan karung gandum di lantai bawah, yang meredam benturan mereka. Mereka segera berlari keluar dari gudang yang kini menjadi neraka api tersebut.
Di luar, fajar telah benar-benar menyingsing. Pasukan Revano sudah mengamankan area. Petugas pemadam kebakaran mulai berdatangan. Risa terduduk di tanah, menatap gudang yang runtuh itu.
[SISTEM: TARGET 'ADRIAN PERMATA' TERKONFIRMASI TERJEBAK DALAM LEDAKAN.]
[STATUS: KEMUNGKINAN HIDUP 1%.]
[MISI UTAMA: BALAS DENDAM KELUARGA PERMATA - 80% SELESAI.]
Revano duduk di samping Risa, menyelimuti bahu wanita itu dengan jasnya yang robek. Mereka terdiam cukup lama, hanya suara sirine dan kobaran api yang memecah keheningan.
"Semuanya sudah berakhir?" tanya Risa pelan.
"Belum," jawab Revano. "Kita masih harus membersihkan nama ayahmu dan menghadapi sisa-sisa konsorsium di Jakarta. Tapi untuk hari ini... kau sudah menang, Risa."
Risa menyandarkan kepalanya di bahu Revano. Untuk pertama kalinya sejak ia terbangun kembali di masa lalu, ia merasa benar-benar bisa bernapas. Namun, di dalam hatinya, sebuah pertanyaan besar masih menggantung.
Siapakah sebenarnya ibunya? Dan kenapa Bi Nah memberikan pistol ini?
Tiba-tiba, Leo mendekat dengan tablet di tangannya. "Tuan Revano, Nona Risa... ada perkembangan baru. Tim forensik digital baru saja berhasil membuka sebagian kecil dari USB 'Akar Jati' yang Anda temukan."
Risa menegakkan tubuhnya. "Apa isinya?"
"Bukan hanya koordinat emas, Nona," Leo menunjukkan sebuah foto dokumen lama di layar. "Ini adalah akta kelahiran rahasia. Nona Risa... Anda ternyata bukan putri kandung Baskoro Permata."
Dunia Risa seakan berhenti berputar untuk kesekian kalinya.
"Apa?!"
"Ibu Anda, Lestari, hamil sebelum menikah dengan Tuan Baskoro," lanjut Leo dengan suara rendah. "Dan menurut catatan medis serta korespondensi rahasia ini... ayah biologis Anda adalah... Tuan Besar Adhyaksa."
Risa menatap Revano dengan horor. Jika itu benar, maka pria yang baru saja ia nikahi adalah...
"Tidak mungkin," bisik Revano, wajahnya pucat pasi. "Itu artinya kita... kita bersaudara?"
[HOOK/CLIFFHANGER]
Di saat mereka berdua tenggelam dalam syok, sebuah pesan masuk ke ponsel Risa dari nomor yang tidak dikenal. Pesan itu berisi sebuah video pendek yang diambil secara sembunyi-sembunyi beberapa menit yang lalu di area pelabuhan.
Video itu menunjukkan sebuah mobil hitam mewah yang melaju cepat meninggalkan pelabuhan. Di kursi belakang, tampak seorang pria dengan wajah yang separuh terbakar namun masih bisa dikenali: Adrian Permata.
Dan di sampingnya, duduk seorang wanita yang sangat akrab di mata Risa. Wanita yang selama ini ia kira adalah sekutunya dalam diam: Melati.
Pesan di bawah video itu berbunyi:
"Terima kasih atas aktingnya, Risa. Sekarang, mari kita mulai permainan yang sebenarnya. Darah Adhyaksa dalam dirimu adalah kunci yang kami butuhkan untuk membuka brankas pusat dunia. - M"
Risa menatap Revano, lalu menatap api yang masih berkobar. Musuhnya bukan lagi hanya paman yang jahat atau mantan suami yang licik. Musuhnya adalah darahnya sendiri, dan wanita yang selama ini berada di balik bayang-bayang.