Sadewa dan Gendis sudah bersahabat dari kecil. Terbiasa bersama membuat Gendis memendam perasaan kepada Sadewa sayang tidak dengan Sadewa,dia memiliki gadis lain sebagai tambatan hatinya yang merupakan sahabat Gendis.
Setelah sepuluh tahun berpacaran Sadewa memutuskan untuk menikahi kekasihnya,tapi saat hari H wanita itu pergi meninggalkannya, orang tua Sadewa yang tidak ingin menanggung malu memutuskan agar Gendis menjadi pengantin pengganti.
Sadewa menolak usulan keluarganya karena apapun yang terjadi dia hanya ingin menikah dengan kekasihnya,tapi melihat orangtuanya yang sangat memohon kepadanya membuat dia akhirnya menyetujui keputusan tersebut.
Lali bagaimana kisah perjalanan Sadewa dan Gendis dalam menjalani pernikahan paksa ini, akankah persahabatan mereka tetap berlanjut atau usai sampai di sini?.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ibu Cantik, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bagian 1
Langit Jakarta sore itu berwarna pucat ketika pintu kedatangan internasional akhirnya terbuka.
Bianca Kartika melangkah keluar dengan langkah ragu yang tak ia sadari. Rambutnya tergerai sederhana, mantel tipis masih melekat di tubuhnya sisa dingin negara lain yang belum sepenuhnya ia lepaskan. Di tangannya hanya satu koper besar dan tas jinjing yang ia peluk erat, seolah itu satu-satunya pegangan di tengah keramaian.
Matanya menyapu wajah-wajah asing, sampai akhirnya berhenti.
Di balik pembatas besi, Hendrawan Pangestu berdiri tegap dengan setelan sederhana yang jarang ia pakai, sementara di sampingnya Lestari Fatmala tampak berkali-kali berjinjit, matanya tak henti mencari.
Detik berikutnya, mata mereka bertemu.
“Bianca…”
Suara itu nyaris tak terdengar, tenggelam oleh hiruk-pikuk bandara. Namun Bianca mendengarnya dengan jelas. Dadanya menghangat, tenggorokannya tercekat.
Tanpa berpikir panjang, ia mempercepat langkah. Koper ditinggalkan begitu saja saat ia menerobos pembatas, dan dalam satu tarikan napas yang bergetar, tubuhnya sudah berada dalam pelukan orang tuanya.
“Ma…” suaranya pecah.
“Pa…”
Lestari memeluk putrinya erat, seolah takut Bianca akan menghilang jika dilepas. Tangannya meraba rambut Bianca, punggungnya, bahunya meyakinkan diri bahwa anak itu benar-benar pulang.
“Kurus banget,” gumamnya lirih, suaranya bergetar. “Kamu pasti kurang makan.”
Hendrawan ikut merangkul mereka berdua, telapak tangannya menepuk punggung Bianca dengan berat yang penuh makna. Ada lega, ada rindu yang tertahan terlalu lama.
"udah nanti aja marahnya."
“Selamat datang di rumah, Nak,” ucapnya pelan, namun tegas.
Bianca memejamkan mata di antara dada ayah dan ibunya. Aroma yang ia rindukan rumah, tanah, dan pelukan yang tak pernah berubah meski jarak memisahkan bertahun-tahun.
Di tengah bandara yang ramai, Bianca menangis tanpa suara.
Hari ini, ia akhirnya benar-benar pulang.
Mobil melaju meninggalkan area bandara, menyusuri jalanan yang mulai dipenuhi lampu-lampu kota. Bianca memilih duduk di kursi belakang, bersandar nyaman sambil memeluk tas kecilnya. Dari kaca jendela, ia menatap Jakarta yang terasa asing sekaligus akrab.
Lestari sesekali menoleh ke belakang, tak ingin melewatkan satu pun cerita putrinya. Hendrawan fokus menyetir, tapi telinganya jelas tak pernah jauh dari suara Bianca.
Di sepanjang perjalanan, Bianca bercerita tentang kehidupannya selama kuliah di Stanford University. Tentang kelas-kelas yang menuntut, dosen-dosen yang kritis, dan proyek desain yang membuatnya sering begadang. Suaranya ringan, penuh semangat, seolah tahun-tahun berat itu berubah menjadi kenangan manis begitu sampai di rumah.
Ia juga bercerita tentang teman-temannya. Teman-teman dari berbagai negara yang datang dengan mimpi besar, bahasa berbeda, dan kebiasaan yang sering membuatnya tertawa sendiri. Ada yang selalu mengajaknya berdiskusi sampai larut malam, ada yang gemar memasak makanan negaranya lalu memaksa Bianca mencicipi, ada pula yang menjadi tempatnya berbagi rindu ketika jarak dengan Indonesia terasa terlalu jauh.
“Bianca nggak sendirian di sana, Ma,” katanya sambil tersenyum kecil. Ia bilang bahwa ia punya lingkaran pertemanan yang hangat, yang membuatnya merasa diterima meski jauh dari rumah.
Lestari mengangguk-angguk lega, sementara Hendrawan tersenyum tipis lewat kaca spion. Mendengar Bianca mampu bertahan, tumbuh, dan bahagia di negeri orang adalah kebanggaan yang tak perlu diucapkan keras-keras.
Di kursi belakang, Bianca terus bercerita. Tentang tawa, tantangan, dan hari-hari yang membentuknya menjadi dirinya yang sekarang. Sementara mobil melaju tenang, membawa pulang seorang anak perempuan yang telah tumbuh namun tetap pulang sebagai Bianca yang sama.
Gerbang rumah terbuka perlahan. Mobil masuk ke halaman luas yang asri, pepohonan rindang menyambut seperti biasa. Bianca tersenyum kecil rumah ini tak banyak berubah, seolah waktu sengaja menunggu kepulangannya.
Namun senyum itu memudar di detik berikutnya.
Pandangan Bianca tertarik ke arah seberang jalan. Di depan rumah Sadewa, tenda pernikahan berdiri berjejer. Putih bersih, dihiasi kain dan rangka besi yang masih setengah terpasang. Beberapa orang tampak hilir mudik, mengangkat kursi dan dekorasi.
Bianca menegakkan tubuhnya di kursi belakang. Matanya tak berkedip.
“Tunggu…” suaranya lirih, hampir seperti berbicara pada diri sendiri. “Itu…”
Mobil berhenti di halaman rumah mereka. Bianca turun lebih dulu, berdiri mematung dengan koper di sampingnya. Matanya masih terpaku pada tenda-tenda itu, pada rumah yang sudah begitu ia kenal sejak kecil.
Ia menoleh pada orang tuanya, berusaha tersenyum meski ada sesuatu yang terasa mengganjal di dadanya.
“Pa… Ma,” tanyanya pelan, “ada acara apa di rumah Om Yudistira?”
Lestari terdiam sesaat. Tatapannya berpindah dari Bianca ke arah tenda pernikahan itu, lalu kembali pada wajah putrinya. Ia menghela napas pelan, seolah sudah lama menyiapkan jawaban ini.
“Sadewa akan menikah,” ucapnya akhirnya, lembut namun jelas. “Dengan Sarah.”
Kata-kata itu jatuh begitu saja, sederhana namun terasa berat di telinga Bianca.
Bianca mengangguk pelan. Bibirnya tersenyum, rapi, nyaris sempurna. Tidak ada air mata, tidak ada ekspresi berlebihan. Hanya dada yang terasa sesak, dan napas yang harus ia atur lebih dalam dari biasanya.
“Oh…,” katanya singkat.
Di balik senyum itu, ada sesuatu yang runtuh perlahan.
Hari ini ia pulang dan hari ini pula ia tahu, rumah di depannya tak lagi menunggunya seperti dulu.
Bianca masih berdiri di halaman rumahnya ketika sebuah suara memanggilnya dengan nada yang begitu ia kenal terlalu akrab untuk diabaikan.
“Bianca…?”
Tubuh Bianca menegang. Ia menoleh ke arah suara itu dan mendapati Hanum berdiri di depan pagar rumah Sadewa. Mata wanita itu membulat, lalu seketika berkaca-kaca. Tanpa menunggu penjelasan apa pun, Hanum mengangkat ujung kebayanya dan berlari kecil menghampiri Bianca, mengabaikan orang-orang yang masih sibuk dengan persiapan tenda.
“MasyaAllah… anak Mama pulang,” ucapnya bergetar.
Bianca bahkan tak sempat menyapa. Hanum sudah lebih dulu memeluknya erat, kedua tangannya melingkar kuat di tubuh Bianca seolah tak ingin melepas. Wajah Bianca diciumi bertubi-tubi kening, pipi, pelipis sementara tangan Hanum mengusap rambutnya berulang kali.
“Kamu tambah cantik,” gumam Hanum, suaranya penuh rindu. “Mama kangen sekali sama kamu.”
Bianca membalas pelukan itu tanpa sadar. Dadanya terasa hangat dan sesak di waktu bersamaan. Sudah lama sekali ia tak berada dalam pelukan ini pelukan yang dulu selalu ia dapatkan setiap kali pulang bermain bersama Sadewa.
“Bianca juga kangen, Ma,” ucapnya pelan, nyaris berbisik.
Di belakang Hanum, Yudistira melangkah mendekat. Senyumnya tenang, khas seorang ayah yang tak banyak bicara. Ia berhenti di depan mereka, menepuk bahu Bianca dengan hangat.
“Selamat pulang, Bianca,” katanya. “Akhirnya rumah ini ramai lagi.”
Bianca mengangguk sambil tersenyum, berusaha menyembunyikan getar di dadanya. Di halaman rumah yang penuh kenangan itu, ia kembali berdiri di tengah keluarga yang dulu terasa begitu utuh meski kini, ada satu kenyataan yang tak bisa ia abaikan.
Hanum ikut melangkah masuk ke dalam rumah keluarga Bianca. Suasana ruang tamu terasa hangat oleh obrolan ringan orang dewasa, sementara Bianca duduk di sofa berhadapan dengan Hanum, tangannya memeluk bantal kecil seperti kebiasaan lamanya sejak remaja.
Hanum menatap Bianca lekat-lekat, seolah ingin memastikan gadis itu benar-benar ada di depannya, bukan sekadar rindu yang menjelma bayangan.
“Kamu tahu, kan,” ucap Hanum pelan, “lusa Sadewa menikah dengan Sarah.”
Bianca terdiam sepersekian detik, lalu menarik napas dan memasang ekspresi cemberut yang dibuat-buat. Alisnya mengerut, bibirnya maju sedikit gestur yang dulu sering ia lakukan saat kesal pada Sadewa.
“Lusa?” katanya. “Mama kok tega sih. Bianca pulang-pulang langsung dikasih kejutan gede gini. Nggak ada yang kasih tahu apa-apa.”
Nada suaranya terdengar merajuk, hampir manja, meski hatinya bergetar hebat.
Hanum tersenyum kecil, lalu mengulurkan tangan menepuk lutut Bianca lembut. “Mama kira kamu sudah tahu. Mama sudah nyuruh Sadewa buat bilang ke kamu.”
Bianca menunduk, memainkan ujung bantalnya. Senyum tipis terbit di sudut bibirnya senyum yang hanya sekadar bertahan.
“Berarti dia lupa,” katanya ringan, seolah tak ada apa-apa. “Atau mungkin sibuk.”
Hanum menghela napas pelan. “Sadewa akhir-akhir ini memang banyak urusan. Tapi Mama senang kamu bisa pulang sebelum hari bahagianya.”
Bianca mengangguk. Ia mengangkat wajahnya, menatap Hanum dengan senyum yang tetap terjaga rapi. Di balik sikap santainya, ada perasaan yang harus ia rapikan sendiri perasaan yang tak boleh terlihat, bahkan oleh wanita yang sejak kecil ia panggil Mama.