NovelToon NovelToon
CINCIN TANPA NAMA

CINCIN TANPA NAMA

Status: sedang berlangsung
Genre:Action / CEO / Selingkuh / Romansa / Nikah Kontrak / Cintapertama
Popularitas:3.7k
Nilai: 5
Nama Author: Dri Andri

Alara Davina terpaksa menikah kontrak dengan Nathan Erlangga, CEO dingin yang menyimpan luka masa lalu. Saat cinta mulai tumbuh di antara mereka, Kiara Anjani—sahabat yang ia percaya—ternyata adalah cinta pertama Nathan yang kembali dengan niat jahat. Pengkhianatan demi pengkhianatan menghancurkan Alara, bahkan membuatnya kehilangan calon buah hati. Dalam pusaran air mata dan kepedihan, bisakah cinta sejati bertahan? Sebuah perjalanan emosional tentang cinta, pengkhianatan, dan penebusan yang akan mengguncang hati setiap pembaca hingga ending bahagia yang ditunggu-tunggu.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dri Andri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

# **BAB 5: MALAM PERTAMA YANG KELAM

**

Pernikahan mereka berlangsung di kantor catatan sipil. Tidak ada bunga. Tidak ada tamu. Hanya dua orang saksi—pengacara Nathan dan sekretaris dari Davina Design.

Alara mengenakan dress putih sederhana yang ia beli sendiri kemarin sore di butik murah. Tidak ada veil. Tidak ada make up artist. Hanya bedak tipis dan lipstik nude yang ia oleskan sendiri dengan tangan gemetar di depan cermin kamar hotel tempat ia menginap semalam—karena apartemennya sudah harus dikosongkan.

Nathan datang langsung dari kantor. Jas hitam, dasi rapi, wajah datar. Ia bahkan tidak menatap Alara ketika mengucapkan janji pernikahan. Matanya kosong, menatap lurus ke depan, seolah ini hanya rapat bisnis yang harus ia selesaikan.

"Sah."

Satu kata dari petugas catatan sipil itu, dan semuanya berakhir.

Tidak ada ciuman. Tidak ada pelukan. Nathan hanya menandatangani dokumen dengan cepat, lalu berbalik pergi duluan.

"Mobil akan menjemputmu jam 7 malam. Bawa barang-barangmu ke mansion," katanya tanpa menoleh. "Aku ada meeting sampai malam."

Lalu ia pergi begitu saja.

Alara berdiri sendirian di kantor catatan sipil yang sunyi. Di tangannya, selembar buku nikah dengan foto mereka berdua—foto yang diambil terburu-buru, dengan senyum yang tidak sampai ke mata.

Ia menatap foto itu lama.

*Ini pernikahan saya*, batinnya pahit. *Ini hari yang seharusnya paling bahagia dalam hidup saya.*

Tapi dadanya terasa hampa. Tidak ada kebahagiaan. Tidak ada harapan. Hanya... kekosongan yang mencekik.

---

**JAM 7 MALAM, MANSION ERLANGGA**

Sopir Nathan mengantar Alara ke sebuah mansion megah di kawasan elite Pondok Indah. Bangunan dua lantai dengan taman luas, kolam renang, dan pagar tinggi yang menjulang seperti benteng.

Alara turun dari mobil dengan dua koper besar—seluruh hidupnya muat dalam dua koper itu.

Seorang wanita paruh baya dengan seragam maid menyambutnya di pintu. "Selamat datang, Nyonya Erlangga. Saya Bi Sari, kepala pelayan di rumah ini."

*Nyonya Erlangga.*

Gelar itu terasa asing. Terasa salah.

"Panggil saya Alara saja, Bi," kata Alara pelan.

Bi Sari tersenyum tipis—senyum yang penuh belas kasihan. Sepertinya ia sudah tahu—semua orang di rumah ini mungkin sudah tahu—bahwa pernikahan ini bukan pernikahan sungguhan.

"Kamar Anda di lantai dua, sebelah kanan. Kamar Tuan Nathan di sebelah kiri," jelas Bi Sari sambil membantu membawa koper. "Tuan Nathan belum pulang. Biasanya beliau pulang larut malam."

Tentu saja.

Alara mengikuti Bi Sari naik tangga marmer yang lebar. Setiap langkahnya bergema di rumah besar yang sunyi ini. Mansion ini indah—dengan lukisan mahal, perabotan mewah, dan lampu kristal yang berkilauan. Tapi dingin. Sangat dingin.

Seperti pemiliknya.

"Ini kamar Anda." Bi Sari membuka pintu kamar yang luas dengan tempat tidur king size, lemari besar, dan balkon pribadi.

Tapi Alara tidak fokus pada kemewahan itu. Matanya menatap pintu di seberang koridor—pintu kamar Nathan.

Dua kamar terpisah.

Bahkan di malam pertama.

"Terima kasih, Bi," kata Alara dengan senyum lemah.

Bi Sari mengangguk, lalu pergi, meninggalkan Alara sendirian.

Alara menutup pintu perlahan. Ia bersandar di daun pintu, merosot hingga duduk di lantai. Tangannya memeluk lututnya, kepalanya tertunduk.

Ini rumahnya sekarang. Tapi ia merasa seperti tamu. Seperti orang asing yang tidak diinginkan.

Ia menatap buku nikah yang masih digenggamnya. Jemarinya menelusuri nama Nathan Erlangga yang tertera di sana—nama suaminya.

Suami yang bahkan tidak ada di sini di malam pernikahan mereka.

Alara tertawa—tawa yang pahit, getir, penuh luka. Tawa yang perlahan berubah menjadi isak tangis.

"Bodoh..." bisiknya pada diri sendiri. "Bodoh... kenapa Alara nangis? Kan dari awal udah tahu ini bukan pernikahan sungguhan..."

Tapi air matanya tidak berhenti. Karena walau otaknya tahu ini hanya kontrak, hatinya—hati kecil yang masih berharap—mati perlahan malam ini.

---

**JAM 11 MALAM**

Alara sudah berganti piyama—piyama katun sederhana berwarna krem. Ia duduk di tepi tempat tidur besar itu, menatap kosong ke jendela yang memperlihatkan taman gelap di luar.

Ia tidak tidur. Tidak bisa.

Telinganya menajam, menunggu suara pintu terbuka. Menunggu Nathan pulang.

Tapi yang terdengar hanya detak jam dinding yang terus berdetak.

*Tik. Tok. Tik. Tok.*

Setiap detik terasa seperti ejekan.

*Kau sendirian. Kau sendirian. Kau sendirian.*

Jam 12 malam lewat. Alara mulai merasa kantuk menyerang, tapi ia melawan. Ia tidak tahu kenapa, tapi ada bagian kecil dalam dirinya yang ingin—berharap—Nathan akan pulang. Mungkin mengetuk pintu. Mungkin bertanya, "Kau sudah tidur?"

Tapi itu tidak terjadi.

Jam 1 dini hari, Alara mendengar suara mobil masuk garasi. Jantungnya berdegup kencang. Ia bangkit, berdiri di tengah kamar, tidak tahu harus berbuat apa.

Suara langkah kaki terdengar naik tangga. Semakin dekat. Semakin dekat.

Lalu berhenti.

Tepat di depan kamarnya.

Alara menahan napas.

*Ketuk pintu. Kumohon, ketuk pintu.*

Tapi tidak ada ketukan.

Yang terdengar adalah suara pintu sebelah—kamar Nathan—terbuka, lalu tertutup.

Hening.

Alara berdiri membeku. Sesuatu di dadanya remuk. Ia tidak tahu kenapa—ia seharusnya tidak peduli—tapi rasanya seperti ditikam perlahan.

Nathan pulang. Tapi ia bahkan tidak peduli untuk sekadar menyapa.

Alara merosot duduk di lantai, punggungnya bersandar di pintu. Tangannya menutupi mulutnya, mencoba menahan isak yang ingin meledak.

*Jangan nangis. Jangan nangis. Ini hanya kontrak. Ini bukan pernikahan sungguhan. Jangan berharap.*

Tapi air matanya mengalir deras. Tubuhnya bergetar. Ia menggigit punggung tangannya sendiri untuk meredam suara tangisnya—karena ia tidak mau Nathan mendengar. Ia tidak mau terlihat lemah.

Ia menangis dalam diam. Menangis untuk pernikahan tanpa cinta. Menangis untuk malam pertama yang ia habiskan sendirian. Menangis untuk kehilangan yang tidak bisa ia sebut dengan kata-kata.

---

**DI SEBERANG DINDING**

Nathan berdiri di balik pintu kamarnya. Tangannya masih di kenop pintu, tubuhnya tegang.

Ia mendengarnya.

Isak tangis yang diredam dari kamar sebelah.

Ia menutup mata, rahangnya mengeras. Tangannya mengepal erat hingga buku-buku jarinya memutih.

*Jangan peduli. Ini hanya kontrak. Kau tidak boleh peduli.*

Tapi suara tangisan itu terus terngiang. Menusuk sesuatu di dalam dadanya yang sudah lama ia kubur.

Nathan berbalik, berjalan menjauh dari pintu. Ia melepas jasnya, melemparnya sembarangan ke sofa. Dasi dikendurkan dengan gerakan kasar.

Ia berdiri di depan jendela kamarnya, menatap taman yang gelap. Tangannya menyentuh kaca dingin itu, mencoba mengalihkan pikiran.

Tapi suara tangisan Alara masih terngiang.

"Sial," umpatnya pelan.

Ia tahu ia brengsek. Ia tahu ia menyakiti Alara. Tapi inilah cara terbaik—menjaga jarak, tidak memberi harapan, tidak melibatkan perasaan.

Karena Nathan Erlangga sudah belajar—perasaan hanya akan berakhir dengan rasa sakit.

Dan ia tidak akan membiarkan dirinya—atau siapa pun—merasakan sakit itu lagi.

Bahkan jika itu berarti membiarkan istrinya menangis sendirian di malam pertama mereka.

---

**PAGI HARINYA**

Alara bangun dengan mata bengkak. Ia tidak tidur sampai subuh, baru tertidur sebentar di lantai karena kelelahan.

Ia memaksakan diri mandi, berganti pakaian—blouse putih dan rok midi abu-abu. Berusaha tampak normal meski seluruh tubuhnya terasa remuk.

Ketika ia turun ke ruang makan, Nathan sudah duduk di sana. Jas rapi, koran di tangan, secangkir kopi hitam di hadapannya.

Seperti tidak terjadi apa-apa semalam.

"Pagi," sapa Alara pelan, mencoba terdengar biasa.

Nathan mengangkat wajah sebentar. Matanya menatap Alara—dan untuk sesaat, Nathan melihat mata yang sembab, wajah yang pucat.

Tapi ia tidak bertanya.

"Pagi," balasnya datar, lalu kembali membaca koran.

Alara duduk di ujung meja—jauh dari Nathan. Bi Sari menyajikan sarapan, tapi Alara tidak menyentuhnya. Perutnya mual.

Mereka sarapan dalam diam. Tidak ada percakapan. Tidak ada tatapan. Hanya suara sendok dan cangkir yang sesekali bersentuhan.

Seperti dua orang asing yang kebetulan tinggal satu atap.

Dan mungkin memang begitu.

Nathan bangkit, mengambil tasnya. "Aku ke kantor. Jangan tunggu aku pulang."

Lalu ia pergi begitu saja.

Alara menatap punggung Nathan yang menjauh. Sesuatu di dadanya terasa kosong—kosong yang aneh, karena seharusnya ia sudah terbiasa dengan kekosongan ini.

Ia menatap cincin di jari manisnya—cincin perak sederhana yang Nathan berikan kemarin tanpa kata-kata.

Dan untuk pertama kalinya, Alara bertanya pada dirinya sendiri:

*Berapa lama aku bisa bertahan dalam pernikahan tanpa cinta ini?*

Jawabannya belum ia tahu.

Tapi yang ia tahu—setiap hari di mansion ini akan terasa seperti penjara yang indah.

Penjara yang perlahan membunuhnya dari dalam.

---

**[BERSAMBUNG KE BAB 6]**

1
Nunung Nurasiah
kok lemah banget ya ci alara...
Dri Andri: belum saat nya jadi kuat
makasih dah mampir
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!