Sagala terkejut bukan main saat tetangga depan rumah datang menemuinya dan memintanya untuk menikah dengan putri mereka secepatnya. Permintaan itu bukan tanpa alasan.
Sagala mendadak pusing. Pasalnya, putri tetangga depan rumah adalah bocil manja yang baru lulus SMA. Gadis cerewet yang sering mengganggunya.
Ikuti kisah mereka ya. Ketika abang adek jadi suami istri.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon F.A queen, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Keinginan Terakhir
Suara monitor detak jantung terus berbunyi pelan. Lampu putih di langit-langit memancarkan cahaya redup, membingkai sosok tua yang terbaring lemah di atas ranjang dengan napas terengah-engah. Nenek Annisa.
Di sampingnya, Annisa menggenggam tangan sang nenek erat, seolah ingin mentransfer kekuatannya agar wanita itu tetap bertahan. Namun, kulit yang dulu hangat kini semakin dingin. Tubuh ringkih itu terbaring tanpa daya, kelopak matanya tertutup, hanya nafas tipis yang menjadi bukti bahwa ia masih di sini, di dunia ini.
Di sudut ruangan, Ayah dan Ibu Annisa berbicara dengan suara pelan. Mereka tengah membahas tentang nenek yang sempat mati suri.
"Dokter bilang ini keajaiban tetapi seolah-seolah ibu menunggu sesuatu," ucap Bu Hanifah-ibu Annisa-
Keheningan menyelimuti mereka sejenak. Hanya suara alat medis yang berdering pelan, menyuarakan detakan kehidupan yang tersisa.
Lalu, tiba-tiba, tangan nenek Annisa bergerak sedikit. Jari-jarinya yang lemah mencengkeram tangan Annisa dengan sisa tenaga yang dimilikinya. Perlahan, kelopak matanya terbuka, menatap cucunya dengan pandangan buram.
“Nek?” Annisa langsung mendekat, suaranya bergetar.
Sang nenek tidak berbicara, tetapi sorot matanya berbicara banyak. Ada harapan, ada permohonan, ada sesuatu yang ingin ia sampaikan.
Ibu Annisa buru-buru mendekat. Menatap pilu ibu mertuanya lalu berbisik lirih, “Apakah, Ibu masih menginginkan itu, Bu?”
Neneknya berkedip pelan, satu-satunya isyarat bahwa ia masih sadar. Tatapannya bergeser ke arah Annisa, lalu jemarinya berusaha menguatkan genggamannya.
Annisa tidak mengerti. Tetapi kedua orang tuanya langsung bertukar pandang, seolah memahami pesan yang tersirat dalam tatapan wanita tua itu.
Ayah Annisa-Pak Suprab- menarik napas berat. "Nisa ...." Panggilnya.
Annisa menoleh dengan bingung.
"Ini tentang permintaan terakhir Nenek..."
Jantung Annisa mencelos.
"Beliau ingin melihatmu menikah sebelum pergi." Dengan sangat hati-hati Bu Hanifah mengatakan permintaan terakhir sang nenek.
Ruangan seketika terasa mencekik. Napas Annisa tertahan, otaknya berusaha mencerna kata-kata itu. Pernikahan? Sekarang?
Mulutnya terbuka, tetapi tidak ada kata yang keluar. Di ranjangnya, nenek Annisa tetap menatapnya dengan penuh harap.
Sementara kedua orang tua Annisa bingung harus bagaimana mewujudkan keinginan ibu mereka. Bu Hanifah dan Pak Suprap keluar ruangan untuk berdiskusi.
"Carilah laki-laki yang dewasa dan tanggung jawab untuk putri kita." Bu Hanifah menatap suaminya.
"Ayah tidak tahu siapa yang cocok untuk putri kita," jawab Pak Suprap tampak kebingungan.
Bu Hanifah berpikir sejenak. "Sagala. Bagaimana dengan Sagala." Bu Hanifah menyebutkan satu nama dan itu membuat sang suami langsung menatapnya. Bu Hanifah segera melanjutkan, "kudengar, dia baru kembali dari Ibu Kota kemarin."
"Sagala?" Pak Suprap mengerutkan keningnya. Dia merasa kurang yakin. "Apakah tidak terlalu tua untuk Nisa?" Tanyanya.
Sagala laki-laki berumur tiga puluh lima tahun yang tak kunjung menikah. Sampai-sampai dia dijuluki perjaka tua di kampungnya.
"Laki-laki dewasa kan lebih matang, Yah. Dia bisa membimbing Nisa dan menyayanginya. Kita juga sudah kenal keluarga mereka dengan baik. Sejauh ini, Sagala juga laki-laki yang baik tapi tidak beruntung soal perjodohan atau mungkin memang sebenernya dia adalah jodoh untuk Nisa." Bu Hanifah menjelaskan.
Pak Suprap diam tidak bisa memberikan jawaban apa-apa. Mungkin ucapan istrinya benar. Lagi pula, selain Sagala siapa yang akan mereka pilih untuk Annisa dalam waktu yang mendesak ini.
"Sudah. Sana cepat-cepat. Cepat datang ke rumah Pak Karta" ucap Bu Hanifah. Pak Karta adalah bapak Sagala.
"Bagaimana Ayah harus menjelaskannya."
Bu Hanifah menghembuskan nafas cepat. "Ayo sama Ibu." Bu Hanifah menarik lengan suaminya. Mereka segera berjalan menuju parkiran.
"Apa kita tidak berunding dulu sama Nisa. Bagaimana kalau dia menolak?" Pak Suprap sangat bimbang dengan situasi dan keadaan ini.
"Nisa sangat menyayanginya neneknya. Dia tidak mungkin menolak." Bu Hanifah sudah tidak bisa berpikir yang lain lagi selain segera menuruti keinginan terakhir ibu mertuanya. Hati siapa yang tidak teriris melihat keadaan nenek.
***
Di sana, Sagala tengah duduk di teras. Dia sedang membalas chat pada seseorang.
"Abang, aku sedih." Pesan itu masuk di ponsel Sagala. Pesan dari seorang gadis bernama Annisa. Putri tetangga depan rumah.
"Sedih kenapa? Tadi pagi masih lompat-lompat depan Abang." Balas Sagala.
"Nenek aku kritis, Bang." Balasan dengan banyak emot menangis khas remaja.
"Semoga nenekmu segera melewati masa kritis dan sembuh. Kamu banyak-banyak doa ya," Sagala mencoba menenangkannya.
"Bagaimana kalau nenek mati, Bang. Aku sedih banget."
"Nggak usah berpikir yang bukan-bukan. Nenek pasti sembuh."
Setelah pesan itu terkirim, terlihat mobil parkir di halaman rumah Sagala.
Bu Hanifah berjalan tergesa setelah keluar dari mobil lalu diikuti suaminya.
Sagala segera berdiri. Bukankah nenek tengah kritis lalu kenapa Bu Hanifah dan Pak Suprap malah datang ke rumah, batin Sagala.
"Ibu dan bapak ada Gal?" tanya Pak Suprap menanyakan keberadaan orang tua Sagala.
"Ibu dan bapak lagi kondangan di desa sebelah, Pak," jawab Sagala sopan.
"Baiklah kita bicara dulu sama kamu."
"Mari silahkan duduk." Sagala mempersilahkan kedua orang itu untuk masuk ke dalam rumah.
"Sepertinya sesuatu yang serius," ucap Sagala. Dia meletakkan dua gelas minuman dan sepiring buah untuk tamunya.
"Gal, maaf kalau ibu lancang. Boleh ibu tanya sesuatu?" Bu Hanifah tidak membuang-buang waktu.
"Ya, Bu. Silahkan."
"Kamu udah punya pacar apa belum?" Bu Hanifah bertanya hati-hati.
Sagala terdiam karena terkejut oleh pertanyaan ini. Pertanyaan yang seringkali ia dengar dari orang lain juga.
"Belum." Sagala menjawab rendah.
Bu Hanifah tersenyum lega. Saling menatap dengan Pak Suprap sebelum akhirnya Bu Hanifah berkata, "Nah, Gal. Bagaimana dengan Nisa?"
Kening Sagala berkerut otomatis. "Maksudnya?"
"Bagaimana kalau kamu menikah dengan Nisa?"
Sagala lebih terkejut lagi mendengar jawaban Bu Hanifah. Otaknya berdenyut. Menikah dengan Nisa? Gadis kecil yang baru lulus SMA itu? Mana mungkin. Dia bisa sakit kepala setiap hari jika harus momong bocah.
"Maaf Pak, Bu, saya tidak paham maksud Bapak dan Ibu." Sagala menatap mereka.
"Jadi ...." Bu Hanifah menceritakan semuanya. Tentang permintaan terakhir sang nenek. Dan tentang kondisi nenek yang sempat mati suri. Mereka sudah melakukan berbagai cara untuk kesembuhan nenek tapi tidak berhasil. Nenek terlihat sangat kesakitan tetapi seolah enggan untuk pergi.
Permintaan terakhir nenek adalah ingin melihat Annisa menikah dengan orang yang tepat. Untuk waktu yang mendesak dan keadaan yang seperti ini, selain Sagala mereka tidak tahu lagi.
Meskipun Sagala perjaka tua tapi sepertinya cocok dengan Annisa. Sagala sudah sangat akrab dengan Annisa.
"Tolong Ibu ya, Gal. Nisa meskipun kecil tapi dia punya pikiran dewasa kok. Dia pintar masak dan beberes rumah. Nisa juga cantik." Bu Hanifah tak lupa mempromosikan putrinya dengan baik.
Sagala pusing dengan ini. Dia tidak bisa memberikan jawaban. Dia benar-benar pusing.
"Ibu tunggu jawaban kamu segera ya, Gal." Bu Hanifah dan suaminya pamit dan langsung kembali ke rumah sakit.
🌱🌱🌱
masak gak ngerti sich
yg dimauin Nisa itu cuma dirimu