Lima tahun lalu, malam hujan hampir merenggut nyawa Kapten Shaka Wirantara.
Seorang wanita misterius berhelm hitam menyelamatkannya, lalu menghilang tanpa jejak. Sejak malam itu, Shaka tak pernah berhenti mencari sosok tanpa nama yang ia sebut penjaga takdirnya.
Sebulan kemudian, Shaka dijodohkan dengan Amara, wanita yang ternyata adalah penyelamatnya malam itu. Namun Amara menyembunyikan identitasnya, tak ingin Shaka menikah karena rasa balas budi.
Lima tahun pernikahan mereka berjalan dingin dan penuh jarak.
Ketika cinta mulai tumbuh perlahan, kehadiran Karina, gadis adopsi keluarga wirantara, yang mirip dengan sosok penyelamat di masa lalu, kembali mengguncang perasaan Shaka.
Dan Amara pun sadar, cinta yang dipertahankannya mungkin tak pernah benar-benar ada.
“Mas Kapten,” ucap Amara pelan.
“Ayo kita bercerai.”
Akankah, Shaka dan Amara bercerai? atau Shaka memilih Amara untuk mempertahankan pernikahannya, di mana cinta mungkin mulai tumbuh.
Yuk, simak kisah ini di sini!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aisyah Alfatih, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
16. Kenapa hanya selalu aku yang salah?
Pagi itu, udara di lantai atas gedung Wirantara Air terasa dingin dan tajam nyaris seperti hawa yang dibawa oleh langkah Amara ketika ia keluar dari lift, diikuti oleh Zico yang menenteng map tebal berisi berkas kerja sama.
Raut wajah Amara datar, profesional. Tidak ada lagi rona lembut seperti dulu, hanya sorot tegas dari seorang wanita yang tahu posisinya kini jauh lebih kuat daripada sebelumnya.
“Selamat pagi, Nona Amara,” sapa Haris, asisten pribadi Shaka, begitu mereka tiba di depan ruang CEO. “Kapten Shaka masih di ruang rapat, beliau minta Nona dan Pak Zico menunggu di ruangannya.”
Amara hanya mengangguk. “Baik.”
Begitu Haris membuka pintu, mereka berdua melangkah masuk. Namun, suasana dingin itu seketika berubah ketika Karina muncul dari arah meja resepsionis pribadi Shaka, mengenakan dress putih lembut yang kontras dengan senyum sinis di bibirnya.
“Oh, aku kira yang datang tamu penting,” ujarnya dengan nada tajam. “Ternyata cuma ... Nona Amara, istri yang belum juga sadar diri meskipun sudah ditinggalkan.”
Zico menoleh cepat, tapi Amara hanya diam. Wajahnya tenang, seolah kata-kata itu hanya angin lalu. Namun Karina tidak berhenti di situ. Ia melangkah lebih dekat, melipat kedua tangannya di depan dada.
“Masih saja datang ke sini setiap hari ya? Aku pikir kamu sudah paham, perceraian itu hanya tertunda karena kamu sedang hamil saja mbak Amara.” Suaranya merendah, namun cukup keras untuk menusuk. “Dan jujur saja, Mas Shaka bahkan tidak peduli siapa ayah dari anak yang kamu kandung itu.”
Sekilas, mata Zico berkilat tajam, tapi Amara menahan dengan isyarat halus. Ia menarik napas panjang, mencoba mengabaikan. Tapi Karina tampaknya menikmati setiap detik dari penghinaan itu.
“Oh iya,” lanjut Karina dengan tawa kecil yang penuh sindiran. “Lucu sekali kamu masih pakai baju itu. Kamu tahu nggak, baju itu sebenarnya bukan buat kamu.”
Amara berhenti menatap dokumen di tangannya.
Matanya perlahan beralih ke wajah Karina. “Maksudmu?”
Karina tersenyum puas, melangkah mendekat hingga jarak mereka hanya sejengkal.
“Itu baju yang Mas Shaka belikan waktu dia pulang dari perjalanan bisnis ke Jepang. Awalnya dia belikan untukku, tapi katanya kebesaran di bahuku. Jadi, aku bilang saja ... berikan pada istrimu, biar tidak mubazir.”
Zico menatap Karina dengan dingin, tapi Amara masih diam. Namun di balik ketenangan itu, kedua tangannya mulai terkepal di sisi tubuh.
“Sayang sekali, ya,” lanjut Karina dengan nada merendahkan, “kau bahkan tidak tahu hadiah pertamamu itu sebenarnya hanya sisa yang ditolak.”
Ia menatap ke arah dada Amara, di mana bros berbentuk sayap kecil tersemat di sana. “Dan bros itu ... kalau boleh jujur, itu juga pilihan...”
Belum sempat Karina menyentuh bros itu, Amara menepis tangannya keras.
“Jangan sentuh aku!”
Karina terhuyung sedikit, terkejut, tapi tatapannya berubah tajam seperti pisau. Zico melangkah maju, siap melindungi Amara kalau situasi memburuk.
Namun di detik yang sama, pintu ruang CEO terbuka lebar. Suara berat dan dingin milik Shaka terdengar dari ambang pintu.
“Amara!”
Amara menoleh kaget, Haris berdiri di belakang Shaka dengan wajah tegang, sementara Karina cepat-cepat memegang pergelangan tangannya yang tadi ditepis, seolah sedang terluka.
Shaka bersuara lagi, kali ini lebih keras, penuh amarah,
"Apa yang kamu lakukan, Amara?!" Gema suara itu memenuhi seluruh ruangan.
Amara menatapnya, tidak menunduk, tidak gentar. Tapi di matanya, tampak jelas satu hal, kekecewaan yang nyaris menenggelamkan logika. Bahkan, kedua tangannya terkepal.
bagaimana rasanya Shaka, bertemu dengan anak sendiri dan Amara ?
silahkan bangkit, bangun kejayaan lagi. jadi pria peka & bertanggung jawab. pantaskan dirimu dlu, baru kejar Amara.
ingat, buang si licik dr hidupmu !!
jangan sampai si ulet bulu itu masih berkeliaran dan menganggu Shaka