Kehidupan Aira yang mulanya penuh bahagia tiba-tiba mulai terbalik sejak papanya menikah lagi.
Lukanya diiris kian dalam dari orang terkasihnya. Malvino Algara, pacarnya itu ternyata palsu.
" Pa ... Aira butuh papa. "
" Angel juga butuh papa. Dia ngga punya papa yang menyayanginya, Aira. "
****
" Vin ... Aku sakit liat kamu sama dia. "
" Ngga usah lebai. Dulu lo udah dapat semuanya. Jangan berpikir kalo semuanya harus berpusat ke lo, Ra. "
" Kenapa kamu berubah? "
" Berubah? Gue ngga berubah. Ini gue yang sesungguhnya. Ekspetasi lo aja yang berlebihan. "
****
" Ra ... Apapun yang terjadi. Gue tetap ada disamping lo. "
" Makasih, Alin. "
****
" Putusin. Jangan paksain hubungan kalian. Malvino itu brengsek. Lupain. Banyak cowok yang tulus suka sama lo. Gue bakal lindungin lo."
" Makasih, Rean. "
****
" Alvin ... Aku cape. Kalau aku pergi dari kamu. Kamu bakal kehilangan ngga? "
" Engga sama sekali. "
" Termasuk kalo aku mati? "
" Hm. Itu lebih bagus. "
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sutia Pristika Sari, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Titik awal
Butiran bunga ditabur di atas gundukan tanah merah, " Yang tenang ya, sayang. In syaa Allah, surga adalah tempatmu. Mas udah ikhlas, mas akan kuat demi putri kita. " Ucapan itu terdengar seperti bisikan. Lirih dan bergetar.
Tertulis nama Inaya Karmila Binti Muzzakir di papan nisan. Keluarga besar, kaum kerabat hadir serta mengantarkan jenazah ke peristirahatan terakhir.
Setelah doa terakhir di panjatkan. Suasana di makam mulai sepi. Satu persatu pergi. Yang tersisa tinggal, hanyalah seorang lelaki dengan bayi mungil di gendongannya.
Tak pernah disangka, istri tercintanya menghadap Ilahi terlebih dahulu saat berjuang melahirkan buah cinta mereka ini.
Kanker stadium akhir yang dihidap semasa hidup merenggut nyawa perempuan yang sangat dicintainya.
Terkenang jelas di ingatan. Sebelum Inaya sekarat. Sang istri selalu mengukir senyum bahagia tanpa berkeluh sedikit pun. Tak pernah ia dengar dari mulut perempuan yang sangat cantik kala itu mengadu kepada nya tentang penyakit yang ia hidapi.
Suatu hari, berita kebahagiaan hadir di tengah-tengah pernikahan mereka. Malam itu, saat Abimanyu sedang bersantai di outdoor rumahnya sambil mengerjakan pekerjaan menumpuk dari kantor.
Inaya mendatanginya dengan segelas kopi di tangan. Ceria wajahnya saat meletakkan kopi di samping laptop.
" Mas, aku buatin kopi. Kayak biasanya. Kopi dengan sedikit gula, kesukaan kamu. " Kata Inaya.
Setelahnya ia duduk di kursi yang tersedia. Di samping Abimanyu. Kebetulan, ruangan luar yang berhadapan langsung dengan dapur ini punya satu meja bundar dan dua kursi.
Tak jauh dari pintu, ada satu vas tanaman hijau sebagai penghias. Perlu diketahui, bahwa kedua sejoli ini sangat menyukai tanaman hijau.
Batu-batu seukuran taplak meja dan pohon rindang di sebelah pagar tinggi juga tersusun rapi. Suasananya jadi sangat asri.
" Waw. Makasih, sayang. Pas banget. Kerjaan ku lagi banyak. Mas bisa mengantuk kalo ngga ada kafein enak buatan kamu ini. " Jawab Abimanyu sedikit menggombal. Ya, mereka seperti remaja puber yang lagi mabuk asmara.
" Hehe ... Mas itu ya, bisa aja bikin aku salting."
Inaya tersipu malu. Kepalanya menggeleng kecil. Setelah itu, tangannya tampak merogoh sesuatu dari saku piyama tidurnya.
" Mas. Ada yang mau aku tunjukin ke kamu. " Ujarnya lagi.
" Sesuatu? Apa itu, sayang? "
Abimanyu masih sibuk membaca dokumen-dokumen dari map warna hijau itu. Sejurus kemudian tangan indahnya dengan lihai menari-nari di atas keyboard. Mengetik entah apa. Seraya membenarkan kacamata yang melorot dari pangkal hidung mancungnya.
" Ini. Coba lihat dulu! " Sambung Inaya lagi.
Ia menyerahkan sebuah kotak panjang kecil ke hadapan suaminya.
Pergerakan tangan Abimanyu perlahan terhenti. Ia mengalihkan pandangan dari layar laptop ke arah kotak yang disodorkan oleh Inaya.
Benda itu nampak menarik. Perlahan Abimanyu ambil kotak tersebut yang dalam sekejap mata sudah ada dalam genggaman nya. Mata indah itu berkedip pelan.
" Apa ini? Bikin penasaran aja. Boleh mas buka? " Tanyanya.
" Sure, mas. Bukalah! "
Tanpa basa-basi lagi, segera dibukanya kotak itu. Betapa terkejutnya ia saat melihat isinya. Ia ambil lalu diperlihatkan ke Inaya.
Itu adalah alat tes kehamilan. Terpampang jelas dua garis merah di situ. Artinya, sebentar lagi mereka akan dianugerahi seorang bayi. Makhluk kecil yang setiap hari selalu mereka harapkan.
Ia masih mengedip-ngedipkan mata berulang kali. Takut apa yang dilihatnya salah. Reaksi lucu ini menimbulkan gelak tawa dari Inaya.
" Mas. Jangan dicolok-colok gitu matanya. Nanti sakit. Tuh! Mata kamu udah berair. "
" Ngga apa-apa sayang. Mas cuma masih ngga percaya. Ini benar? Kamu hamil? Aku akan jadi papa? " Tanya Abimanyu bertubi-tubi.
Kantuk dan penat yang sejak tadi sudah menyerang tak lagi terasa. Ini adalah berita bagus. Berita yang membahagiakan.
" Iya. Beneran mas. " Jawab Inaya.
Tak ada lagi yang dapat Abimanyu katakan. Terlalu bahagia sampai ingin menangis rasanya.
Ia susun map-map dengan rapi. Lalu menutup laptop dan meletakkan agak jauh dari hadapannya.
Perhatiannya kini sudah sepenuhnya teralih ke Inaya. Ia genggam kedua tangan lentik itu dan mengecupnya berkali-kali. Mengelus pelan perut sang istri yang masih rata. Sembari mengucapkan syukur tiada tara kepada Tuhan dalam hati.
" Terimakasih, Inaya. Kamu adalah cinta sempurna untuk mas. Untuk semuanya, terimakasih. " Ujar Abimanyu.
" You are also perfect love for me. I love you, mas Abim. "
" Love you more, Inaya Karmila. "
Ungkapan cinta tersebut merupakan kalimat terakhir sebelum tengah malam menyapa.
Awan mulai hitam. Bulan pun pelan-pelan sembunyi di dalamnya. Pertanda ia akan datang di malam berikutnya lagi.
****
Pagi harinya. Inaya bangun lebih dulu. Bersikutat dengan peralatan dapur sejak adzan subuh berkumandang yang terdengar dari seberang jalan.
Perempuan itu sibuk memasak untuk sarapan Abimanyu sebelum berangkat ke kantor. Tangannya cekatan memotong bawang dan bahan-bahan di talenan. Mengambil dua butir telur dari dalam kulkas. Kemudian mengaplikasikannya di wajan ajaibnya.
Konon kata Abimanyu, apapun yang dimasak Inaya akan terasa lezat. Walaupun hanya sekedar menggoreng telur dadar. Huh! Gombal banget.
Padahal kan goreng telur tak pakai banyak bahan. Hanya telur, minyak goreng, bawang, dan penyedap rasa secukupnya. Tapi, itu romantis pula kata Inaya.
Setelah selesai, masakannya dituangkan ke atas piring sebelum disajikan di meja makan. Tak lupa dengan dua gelas susu sebagai pelengkap. Tentu satu gelas susu hamil untuknya.
Inaya naik ke lantai atas dimana letak kamar mereka berada. Membuka pintu kamar sambil tersenyum lebar. Tampak suami tercinta masih bergelung dalam selimut tebal bercorak bunga-bunga bougenville warna ungu tua. Sebelah kakinya terjulur ke bawah ranjang. Bantal ditumpukkan menjadi dua.
Memang, Abimanyu tak bisa tidur nyenyak tanpa bantal yang tinggi. Bikin sakit kepala katanya.
Inaya bergegas menghampiri lelaki itu. Menggoyang pelan tubuh kekar tersebut dan memanggil singkat namanya.
" Mas Abim, bangun! Udah jam berapa ini? Ayo bangun dulu! Waktunya sarapan dan pergi kerja. " Ujarnya santun.
Inaya duduk di samping kepala ranjang. Masih menatap suaminya yang tenggelam di selimut dengan nyaman. Beberapa saat, terasa pergerakan dari insan yang berbaring tadi.
Lelaki dewasa itu mengerjap pelan kedua matanya sembari menyesuaikan cahaya yang masuk di pandangan melalui tirai panjang jendela di sudut kiri. Menampakkan balkon dan cuaca cerah pagi hari. Ia regangkan otot ke kanan-kiri. Rambutnya sedikit acak-acakan.
Inaya diam dan tersipu. Sungguh, ini pemandangan paling indah yang pernah ia lihat. Meskipun sudah memasuki usia kepala tiga, namun ayah dari calon anaknya ini sangat tampan. Serius, Inaya tak bohong.
Membuyarkan kekaguman yang entah untuk ke berapa kalinya. Inaya kembali bersuara. Tak lupa tangan lentiknya memberi usapan sekaligus merapikan rambut lembut yang berjatuhan itu.
Tak bisa lama-lama dibiarkannya Abimanyu dalam keadaan begini. Bisa pingsan dirinya.
" Nyenyak banget tidurnya. Mas kecapekan atau gimana, hm? " Katanya.
" Ini karena efek terlalu bahagia sayang. Sampai mas mimpi indah banget. Tapi, mimpinya hilang waktu kamu bangunkan mas." Jawab Abimanyu. Menatap dalam perempuan di depannya.
" Hahaha. Sampai kebawa mimpi? Lucu banget kamu. Ya, tapi aku harus mutusin mimpi kamu yang indah itu. Karena, suamiku ini harus pergi kerja. " Sambung Inaya lagi.
Alisnya naik turun menggoda sang suami. Abimanyu hanya terkekeh pelan. Mendekap istrinya sebentar sebelum memutuskan ke kamar mandi.
" Oke baiklah sayang . Mas faham. Segala titah beta kerjakan. Kamu tunggu di bawah dulu. Secepatnya mas menyusul, ya? "
Secepat kilat ia berdiri tegap dengan tangan di atas alisnya, ambil sikap hormat. Hal ini tak luput mengundang tawa Inaya.
Di meja makan, semuanya telah tersedia. Tepat pukul 06.15 pagi. Abimanyu menuruni tangga.
Ia Sudah berpakaian rapi dan wangi. Menenteng satu buah tas ditangan kanan. Tersampir jas biru tua yang belum sempat di pakaikan ke badan. Jam rolex import berharga ratusan juta setia melingkar di pergelangan tangan kiri.
Ia bergerak pelan saat sampai di bawah. Menarik pelan kursi yang biasanya ia pakai. Menatap penuh minat pada makanan yang baginya mengunggah selera. Dua piring nasi goreng dan dua gelas susu. Apalagi yang membuatkan adalah istrinya. Spesial banget, gumamnya.
Perlahan Inaya mengangsurkan satu piring ke suaminya. Mereka makan dengan lahap tanpa suara. Tak ada yang membuka obrolan. Tak ada ponsel di meja makan. Itu adalah aturan yang sepakat mereka buat.
Damai kelihatannya. Semuanya berlangsung khidmat. Setelah sarapan, Abimanyu pun berpamitan untuk berangkat ke kantor.
****
Matahari yang hampir terbenam tanda senja kembali datang. Inaya yang sedang sibuk membereskan pekerjaan rumah, tiba-tiba merasakan sensasi pusing yang hebat di kepalanya. Darah pun mengalir lumayan deras dari hidungnya. Menetes ke ubin yang baru selesai di sapu. Ia terperangah.
Perempuan itu segera berlari ke dapur menuju wastafel. Berdiri membelakangi sambil mencapit kedua hidungnya seraya mendongakkan kepalanya ke atas. Agar darah tersebut berhenti keluar.
Dirasa sedikit aman. Ia berbalik menghidupkan keran guna membersihkan seluruh hidung. Meraih tisu di meja makan. Menyeka hidung dan muka sampai air terserap semuanya.
Ia menetralkan napasnya. Kepalanya masih berdenyut. Setelah berfikir cukup lama, ia memutuskan untuk ke rumah sakit. Rasanya sakit di kepala ini bukan pusing biasa.
Benar adanya. Inaya keluar dari rumah sakit yang bertuliskan Grand hospital itu dengan raut sedih. Sesampainya di ruangan pemeriksaan tadi. Dokter mengatakan sesuatu padanya.
Perkataan dokter tersebut membuat nafasnya tercekat. Ia diagnosa mengidap kanker stadium akhir. Dan hanya mampu bertahan dalam beberapa bulan saja.
Tangannya bergetar mengelus perutnya. Baru saja mereka merasa bahagia akan kehadiran makhluk kecil di rahimnya. Tapi, apa ini? Seolah baru saja di terbang kemudian dijatuhkan dari ketinggian.
Hatinya terasa tercubit. Ditambah dengan bayangan wajah bahagia Abimanyu semalam. Bagaiamana ini? Apa yang harus dilakukannya? Apa reaksi suaminya ketika mendengar berita ini nanti? Tidak. Inaya tidak akan membiarkan senyum indah itu sirna.
Inaya memutuskan untuk segera pulang. Sebelum Abimanyu sampai di rumah terlebih dahulu. Ia beranjak dari kursi panjang di depan telepon umum itu, dan masuk ke dalam mobil yang sudah sedari tadi menunggu.
" Nyetirnya agak cepat ya pak. Lewat jalan yang biasa aja. Saya nggak mau terjebak macet." Ujarnya ke sopir pribadinya. Dibalas anggukan oleh sopir tersebut.
" Baik Nyonya." Setelahnya mobil bergerak meluncur dengan kecepatan agak laju. Sesuai permintaan si Nyonya.
Sesekali ia melihat kebelakang dari kaca dashboard. Memperhatikan Inaya yang membuang mukanya ke luar jendela. Dengan raut wajah yang suram dan air mata di pipinya. Tak mau bertanya. Namun, penasaran itu tetap ada. Nyonya Ina, kenapa? Katanya dalam hati.
Lampu-lampu di sepanjang jalan menerangi perjalanan sendu itu. Kendaraan lainnya berlalu lalang di pandangan. Sementara di ujung sana. Tepatnya di pertigaan simpang jalan ke rumahnya. Terlihat anak-anak bersuka ria.
Ada yang lari-lari kecil. Berjalan sambil mengobrol dengan teman di sebelah. Memakai peci untuk laki-laki dan jilbab untuk perempuan. Ditangan masing-masing membawa Al-Qur'an, Iqra' -- sejenisnya di depan dada. Tampak bahagia sekali mereka.
Seulas senyum mendadak muncul di wajah Inaya. Berandai-andai, kelak makhluk kecil dalam rahimnya akan seperti mereka setelah lahir nanti. Cuma sebentar. Cuma sebentar senyum itu terukir. Kembali ia menetralkan ekspresinya.
Pak Rahman pun ikut menghela napas.Ya! sopir yang sudah bertahun-tahun kerja dengan Abimanyu. Bahkan sebelum kehadiran Inaya dalam rumah itu. Lagi dan lagi seperti itu. Nyonya bersedih lagi. Gumam hati kecilnya juga.
****