Nama: Alethea Novira
Usia saat meninggal: 21 tahun
Kepribadian: Cerdas, sinis, tapi diam-diam berhati lembut
Alethea adalah seorang mahasiswi sastra yang memiliki obsesi aneh pada novel-novel tragis, alethea meninggal dalam sebuah kecelakaan mobil yang di kendarai supir nya , bukan nya ke alam baka ia malah justru bertransmigrasi ke novel the love yang ia baca dalam perjalanan sebelum kecelakaan, ia bertransmigrasi ke dalam buku novel menjadi alethea alegria
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Agya Faeyza, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
kecelakaan yang di sengaja
Alethea Novira tidak pernah menyukai perpisahan, tapi ia tidak menyangka perpisahan terakhirnya datang begitu cepat—dan begitu kejam.
Hari itu hujan turun deras, seolah langit sendiri tahu sesuatu yang buruk akan terjadi. Alethea duduk di bangku penumpang, menggenggam ponselnya dengan gelisah, membalas pesan terakhir dari sahabatnya. Sopir yang mengantarnya bekerja sudah puluhan kali melintasi jalanan berkelok di lereng itu. Tidak ada alasan untuk merasa takut.
Sampai mobil itu mulai meluncur tanpa kendali.
"Ada apa ini?!" teriak sopir panik, rem diinjak berulang kali, tapi mobil tak melambat. Alethea hanya bisa membeku, tubuhnya menegang saat suara logam berderit memenuhi telinga mereka. Hujan memburamkan pandangan, kabut menyembunyikan jurang di sisi jalan, sampai akhirnya semuanya lenyap—dalam benturan yang sunyi namun mematikan.
Mobil itu jatuh. Menghantam bebatuan. Terbalik. Hening.
Dan ia tahu, kematiannya bukan kecelakaan. Seseorang telah memotong rem itu.
Dan jika dia tidak menemukan siapa, dunia baru ini mungkin menjadi kuburannya yang kedua.
Hari itu seharusnya menjadi hari biasa—tidak istimewa, tidak juga buruk. Alethea Novira bangun sedikit terlambat, rambut masih acak-acakan saat ia menyambar roti bakar dari meja dapur dan mengeluh soal kopi yang terlalu pahit. Ia mengenakan mantel favoritnya, yang warnanya sudah mulai pudar tapi tetap nyaman, dan memasukkan buku tebal ke dalam tas—novel klasik yang ia baca berulang kali seolah mencari arti di balik kalimat-kalimat yang selalu menggantung.
"Alethea, kamu yakin nggak mau mobil lain aja? Mobilnya udah tua," tanya ibunya tadi pagi, sedikit cemas.
Tapi Alethea hanya tersenyum. “Kita semua tau, Ma. Yang penting masih bisa jalan.”
Dia tidak tahu bahwa kalimat itu akan menjadi yang terakhir ia ucapkan pada ibunya.
Perjalanan ke acara seminar sastra itu seharusnya memakan waktu kurang dari dua jam. Hujan mengguyur jalanan sejak pagi, kabut tipis mulai turun perlahan. Alethea duduk tenang di bangku penumpang, earphone di telinga, alunan musik klasik mengisi ruang di antara suara hujan yang menari di kaca jendela.
Ia menatap keluar jendela, melihat pohon-pohon yang berlari mundur, jalanan yang basah dan berkelok... dan rasa aneh mulai merayap di dadanya. Seperti firasat. Seperti bisikan samar bahwa ada sesuatu yang tidak beres. Tapi ia abaikan. Ia selalu mengabaikan perasaan-perasaan semacam itu.
Hingga sopir tiba-tiba mengumpat, mencoba menginjak rem. Sekali. Dua kali. Panik mulai melesak ke dalam ruang kecil itu. Mobil meluncur semakin cepat, tikungan semakin dekat, dan Alethea—untuk pertama kalinya dalam hidupnya—benar-benar merasa takut.
Dan saat dunia mulai berputar di luar kendali, satu pikiran melintas dalam kepalanya:
Ini bukan kecelakaan.
Hujan belum berhenti ketika regu penyelamat menemukan bangkai mobil yang ringsek di dasar jurang. Logamnya terpelintir, kaca pecah berserakan, dan bau bensin yang samar masih menguar di udara. Di dalamnya, tubuh Alethea Novira terjepit di antara sisa-sisa kehidupan yang tak lagi berdenyut. Matanya tertutup, kulitnya pucat seperti bulan yang tertutup awan—tenang, seolah hanya tertidur, padahal jiwa telah lama pergi.
Para petugas bekerja dalam diam, hujan menyamarkan suara langkah, dan wajah-wajah mereka tertunduk, tahu bahwa mereka tidak sedang menyelamatkan seseorang hari ini—mereka hanya membawa pulang apa yang tersisa.
Tubuh Alethea dimasukkan ke kantung jenazah dengan hati-hati. Seakan, meskipun sudah tiada, dia masih layak diperlakukan dengan lembut. Mobil ambulans menunggu di tepi jalan, lampu merahnya berkedip pelan, seperti detak jantung yang menolak berhenti.
Saat ambulans mulai melaju perlahan, membawa tubuh Alethea kembali ke rumah, dunia terasa terlalu sunyi. Sopir ambulans tak berkata apa-apa. Hanya suara hujan yang mengetuk-ngetuk atap mobil, mengiringi perjalanan terakhir seorang gadis yang terlalu muda untuk mati.
Di rumah alethea Novira, suasana sudah tegang. Sang ibu duduk di ruang tamu, menatap kosong ke arah pintu. Telepon yang masih tergenggam di tangannya tak lagi berdering, seolah waktu ikut membeku. Ayah Aletha mondar-mandir, mencoba tetap kuat, tapi jemarinya gemetar, dan matanya merah, penuh air mata yang belum sempat jatuh.
Dan ketika suara sirene terdengar dari kejauhan, hati mereka runtuh seketika.
Ambulans berhenti di depan rumah. Dua petugas turun, membuka pintu belakang dengan gerakan perlahan, seolah tahu mereka tidak hanya membawa tubuh—mereka membawa duka yang tak bisa diucapkan kata. Kantung jenazah itu dibaringkan di ruang tamu, di atas permadani yang biasa aletha di injak alethea tiap pagi .
Dan ketika resleting di buka dunia runtuh dalam sekejap .
ibu nya menjerit, bukan seperti tangisan , tapi seperti suara hati yang robek.
ayah nya jatuh berlutut menatap wajah anak nya yang tak lagi hangat.
Semua orang yang dirumah berkabung. Tidak ada yang bisa menerima kenyataan bahwa sosok yang mereka cintai kini hanya tubuh yang diam.
tapi di luar tetap hujanturun membasahi tanah,seolah ikut menangis .
Yang mereka tak tau, adalah bahwa di tempat lain , di dunia asing . Dunia yang seharusnya fiksi , alethea novira membuka matanya .iya terbangun di tubuh yang asing , dengan ingatan yang utuh dan pertanyaan yang menggema di hatinya ......
Cahaya redup dari lampu langit-langit menusuk perlahan kelopak matanya. Bau antiseptik yang khas memenuhi udara. Detak monitor jantung berdetak stabil di sebelahnya. Alethea mengerjapkan mata—pelan, bingung, dan… asing.
Lehernya kaku. Tubuhnya terasa ringan, terlalu kecil. Jemarinya kurus, bukan miliknya. Ia mengangkat tangan perlahan dan menatapnya—jari-jarinya tak lagi sama. Bukan tangannya. Bukan tubuhnya. Bahkan suaranya yang tercekat pun terdengar asing di telinganya sendiri.
“Dia… dia gerak! Mama! Kak, dia bangun!” seruan panik—tapi penuh harapan—meledak di sisi kanan tempat tidur. Langkah-langkah bergegas menghampiri. Suara kursi tergeser, suara napas tercekat, dan lalu… tangan-tangan hangat menggenggam jemarinya.
"Alethea… sayang… kamu dengar Mama?"
Suara itu gemetar, basah oleh air mata. Seorang wanita dengan wajah lembut, mata sembab dan senyum gemetar memandangnya seolah dunia berhenti berputar. Di belakangnya, tiga laki-laki berdiri—semuanya memiliki kemiripan di wajah. Salah satu dari mereka, yang tertua, bahkan menutup mulutnya dengan tangan, berusaha keras menahan tangis.
Alethea menatap mereka, masih dalam kabut kebingungan. “Siapa… aku…?”
Suasana seketika hening.
Wanita itu—yang ternyata adalah ibunya—tersenyum meski air mata mengalir deras. Ia membelai rambut Alethea dengan lembut.
"Kamu anak Mama… Alethea Alegria. Kamu koma selama dua bulan. Tapi kami semua di sini, menunggu kamu bangun. Setiap hari."
Kakak keduanya, yang berwajah dingin tapi matanya merah, melangkah maju dan berjongkok di sisi ranjang.
"Kamu nggak ingat kami? Aku, Ares. Ini Aryan, dan ini arvel kakak ketigamu. Kami kakak-kakakmu, Thea."
Alethea menatap mereka satu per satu. Hatinya berdebar tak karuan. Nama-nama itu tidak asing. Entah kenapa, ia merasa pernah membacanya… di suatu tempat. Di… novel?
Namun di balik kepanikannya, ada sesuatu yang menghangatkan hatinya. Pelukan ibu yang tulus, genggaman kakak-kakak yang kuat namun penuh kasih. Senyuman yang tak memaksa.
"Kami pikir kamu nggak akan bangun," ujar Arvel, kakak ketiga, suaranya pecah. "Tapi kami tetap tunggu. Karena kamu adik kami. Kamu... rumah kami."
Dan untuk pertama kalinya dalam hidup—atau mungkin dalam hidup barunya—Alethea merasakan sesuatu yang belum pernah ia rasakan sejak lama:
Dicintai. Diharapkan. Diterima, bahkan dalam tubuh yang asing.
Namun jauh di lubuk hatinya, Alethea tahu satu hal: ini bukan mimpi. Ini bukan dunia lamanya. Tapi ini... mungkin adalah kesempatan kedua.
Dan ia bersumpah, kali ini ia tidak akan menyia-nyiakannya.
Kalau kalian suka, kita bisa lanjutkan ke hari-hari pertama Alethea mencoba menyesuaikan diri di keluarga barunya sambil menyembunyikan kenyataan bahwa ia bukan Alethea Alegria yang mereka kenal. Mau dilanjut?
Tpi saya mw sedikit berkomentar, saya membaca novel kk karna tertarik membaca sinopsisnya.
Tapi menurut saya, percakapan ringannya terlalu banyak, membuat pembaca cepat bosan. Coba kakak kurangi percakapan2nya, tpi lebih menggambarkannya aja dan alur konfliknya buat lebih dalam kata2nya.
Terus penggambaran tokohnya agak kurang menjalankan perannya. seperti papa bram( kaya, hebat, punya banyak pengawal) tpi knapa anaknya kurang terjaga, gk ada pengawal yg memantauan dari dekat/jauh.
Arvel ( berjanji mau jaga adeknya di sekolah) tpi gk tw adek tersesat, pergi menyelatkan Aliando.
Gitu aja sih thor, semoga kedepannya lebih bagus, dan mohon jangan tersinggung dengan komentar saya.😊