Elena hanya ingin menguji. Setelah terbuai kata-kata manis dari seorang duda bernama Rd. Arya Arsya yang memiliki nama asli Panji Asmara. Elena melancarkan ujian kesetiaan kecil, yaitu mengirim foto pribadinya yang tak jujur.
Namun, pengakuan tulusnya disambut dengan tindakan memblokir akun whattsaap, juga akun facebook Elena. Meskipun tindakan memblokir itu bagi Elena sia-sia karena ia tetap tahu setiap postingan dan komentar Panji di media sosial.
Bagi Panji Asmara, ketidakjujuran adalah alarm bahaya yang menyakitkan, karena dipicu oleh trauma masa lalunya yang ditinggalkan oleh istri yang menuduhnya berselingkuh dengan ibu mertua. Ia memilih Ratu Widaningsih Asmara, seorang janda anggun yang taktis dan dewasa, juga seorang dosen sebagai pelabuhan baru.
Mengetahui semua itu, luka Elena berubah menjadi bara dendam yang berkobar. Tapi apakah dendam akan terasa lebih manis dari cinta? Dan bisakah seorang janda meninggalkan jejak pembalasan di jantung duda yang traumatis?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Elena A, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Menjadi Tersangka Utama
Pria bertubuh besar itu melangkah maju. Bayangan dirinya yang diproyeksikan oleh cahaya rembulan memenuhi ruangan, membuat Elena merasa tercekik. Ia tahu, ini bukan lagi tentang dendam, ini adalah pertarungan untuk bertahan hidup.
“Nona Elena. Mari kita selesaikan masalah ini dengan cepat,” ujar pria itu, suaranya berat dan mengancam.
Elena mundur selangkah, otaknya bekerja dengan cepat. Ia tidak bisa melawan kekuatan fisik, tetapi ia harus mengandalkan kecepatan dan pengetahuan tentang apartemennya sendiri, yang ironisnya kini bukan lagi miliknya.
"Siapa kamu? Aku nggak punya urusan dengan Ratu Widaningsih Asmara yang menggunakan preman untuk menyelesaikan masalah!" seru Elena, mencoba memancingnya bicara.
Pria itu hanya menyeringai, mengeluarkan ponselnya. “Ratu hanya ingin kamu diam. Selamanya.”
Saat pria itu sibuk melihat ponsel, Elena melihat peluang. Ia tahu ada tempat yang tidak akan dicari Ratu Widaningsih Asmara atau preman ini.
"Kamu pikir Ratu Widaningsih benar-benar mencintai Panji? Kamu salah, Pak! Dia hanya mau membalas dendam keluarganya. Panji nggak akan memaafkannya!" teriak Elena, bukan untuk pria itu, tetapi untuk memancing suara.
Pria itu terhenti sejenak, terkejut dengan nada suaranya. Saat itulah Elena beraksi.
Ia berlari ke sudut ruangan, pura-pura mencoba kabur ke dapur. Ketika pria itu mengejarnya, Elena berbelok tajam ke kamar mandi. Ia menarik tirai pancuran dengan kuat, menggunakan momentum itu untuk melempar beberapa botol sabun ke lantai marmer yang licin.
Pria itu tergelincir dengan bunyi keras, menjatuhkan diri. Elena tidak menyia-nyiakan waktu. Ia tahu ada safe box kecil tersembunyi di balik cermin kamar tidurnya, tempat ia menyimpan beberapa perhiasan kecil dan yang paling penting adalah sebuah flash drive berisi salinan dokumen kematian suaminya dan beberapa komunikasi penting terakhir almarhum.
Saat ia berlari keluar, ia melihat Ratu Widaningsih Asmara berdiri di ambang pintu kamar tidur. Ratu tersenyum dingin, memegang pistol kecil.
“Aku tahu kamu punya sesuatu yang tersembunyi, Elena. Jangan menyusahkan aku,” kata Ratu, mengarahkan moncong pistolnya.
Elena berhenti, mengangkat tangannya. “Kamu bisa mengambil semua asetku, Ratu. Tapi kamu nggak akan pernah mendapatkan Panji. Dia akan tahu bahwa Renata adalah mata-matamu.”
"Diam, Elena!" Ratu berteriak keras.
Tepat saat Ratu lengah, Elena menunjuk ke arah pintu depan. “Lihat, tuh Ratu! Tuh, Panji datang!”
Ratu secara refleks menoleh. Elena menggunakan momen sepersekian detik itu untuk melompat ke meja rias, meraih lampu duduk yang berat, dan melemparkannya ke arah cermin. Kaca itu pecah berkeping-keping. Di balik pecahan itu, terlihat safe box kecil yang tersembunyi.
Ratu kembali menoleh, amarahnya memuncak. “Dasar tikus kampung!”
Sementara pria suruhan Ratu yang terpeleset di kamar mandi mulai merangkak keluar, Elena berhasil membuka safe box itu dengan cepat. Ia meraih flash drive dan beberapa dokumen.
“Kamu nggak akan pernah bisa menghancurkan semua kebenaran, Ratu!” seru Elena.
Sementara itu, di mobilnya, Panji sedang mengemudi tak tentu arah. Otaknya dipenuhi kekacauan.
“Renata adalah mata-mata Ratu.”
Kalimat Elena itu terus berulang dan terngiang di telinga Panji. Panji kini melihat Renata, mantan istrinya, bukan sebagai pengkhianat cinta, tetapi sebagai korban yang dimanipulasi oleh Ratu dan ibunya. Panji tahu, Ratu tidak akan pernah mau membocorkan kata sandi Renata jika itu akan membersihkan nama Renata. Ratu pasti menggunakan kata sandi itu untuk memeras Renata atau untuk mengumpulkan informasi tentang Panji.
Panji memukul kemudi. Ia telah mengkhianati Elena, wanita yang baru saja mempertaruhkan nyawanya demi memberikan Panji sebuah kebenaran yang jujur. Ia telah memilih Ratu, kebohongan yang manis, hanya karena Ratu bisa menenangkan trauma masa lalunya.
“Aku harus kembali. Aku harus memercayai Elena,” gumam Panji.
Ia memutar mobilnya, mengemudi kencang menuju apartemen Elena. Ia harus memastikan Elena selamat, dan ia harus melihat sendiri apa yang Ratu rencanakan.
Elena berhasil keluar dari apartemennya, melompati pria suruhan Ratu yang masih linglung karena tergelincir. Ia berlari menuruni tangga darurat. Di tangannya, flash drive itu terasa seperti harta karun terakhirnya.
Tiba-tiba, ia berpapasan dengan Panji di tangga lantai lima. Panji terlihat berantakan, dasinya longgar, wajahnya penuh kekhawatiran.
"Anin! Kamu baik-baik saja?" Panji memanggilnya dengan panggilan yang biasa ia gunakan di Linky dan WhatsApp, memeluknya erat, pelukan yang jujur, tanpa rencana, dan penuh penyesalan.
Elena mendorong Panji menjauh. "Jangan sentuh aku! Kamu udah mengkhianatiku, Panji! Kamu udah meninggalkan aku sendirian di sana!"
"Aku tahu. Aku salah. Tapi izinkan aku kembali. Ratu Widaningsih ada di atas! Dia memegang pistol! Dia mengakui bahwa dia adalah putri dari rival bisnisku!" jelas Panji, raut wajahnya panik.
"Dia bukan hanya putri rival, Panji! Dia yang menghancurkan Renata! Dia yang merencanakan segalanya!" seru Elena, menahan napasnya yang tersengal.
Saat mereka bicara, pria suruhan Ratu muncul di tangga. Dia melihat Panji dan Elena.
"Bosku melarang dia pergi!" teriak pria itu, melompat ke arah mereka.
Panji mendorong Elena ke belakangnya, melindungi Elena. Panji adalah seorang pria yang terdidik dalam olahraga bela diri ringan, dan ia membalas serangan pria itu dengan pukulan cepat ke wajahnya.
Elena menggunakan kesempatan itu untuk berlari, tetapi ia menyadari bahwa Panji kini dalam bahaya.
"Ini, Panji! Ambil ini! Ini flash drive milik suamiku! Ratu pasti mencari ini!" Elena melempar flash drive itu ke Panji.
Panji menangkapnya, sementara ia masih bergumul dengan pria itu.
"Apa isinya?" teriak Panji.
"Kebenaran! Seluruh rencana Ratu dan Renata ada di sana! Buka dan kamu akan tahu bagaimana kamu tertipu selama ini!"
Pria itu berhasil melumpuhkan Panji dengan pukulan keras ke perut. Panji terbatuk, berpegangan pada pegangan tangga.
Ratu Widaningsih Asmara muncul di puncak tangga, pistol masih di tangannya. Ia melihat flash drive di tangan Panji.
"Jatuhkan itu, Panji! Sekarang! Kamu tidak mau tahu isinya!" teriak Ratu, wajahnya panik.
Panji melihat Elena yang kini terpojok di tangga di bawahnya. Ia melihat Ratu yang kini tampak sangat ketakutan. Panji membuat keputusan final. Ia percaya pada kebohongan yang membawa kebenaran Elena, daripada kebenaran yang membawa kebohongan Ratu.
Arsya melempar flash drive itu ke arah Elena, bukan ke arah Ratu. "Pergi, dek Anin! Amankan flash drive itu! Aku akan mengurusnya!"
Elena berlari. Ia tidak melihat ke belakang, tetapi ia mendengar Ratu berteriak histeris, dan suara tembakan yang menggelegar di tangga darurat itu.
Ia terus berlari keluar gedung. Ia berhasil mencapai jalan raya, memanggil taksi.
Di dalam taksi, Elena gemetar, memeluk flash drive itu erat-erat. Ia melihat tangannya, dan ia menyadari ada darah di sana. Bukan darahnya.
Ia melihat ke belakang, ke gedung apartemennya yang kini dipenuhi mobil polisi dan sirene yang menyala.
Ia mencoba menghubungi Panji, tetapi ponsel Arsya tidak aktif.
Tiba-tiba, ia menerima sebuah pesan dari nomor tak dikenal.
“Kamu lolos, Elena. Tapi kamu tidak akan lari jauh. Sekarang, kamu menjadi buronan. Aku sudah memanggil polisi. Aku melaporkanmu, Elena, atas percobaan pembunuhan terhadapku di apartemen itu. Selamat menikmati perburuan.”
Elena membeku. Ratu telah membalikkan keadaan. Ratu kini menjadi korban, dan Elena, kini menjadi tersangka utama dalam kasus percobaan pembunuhan.