Memergoki sepasang manusia yang sedang bercinta, membuat Kumala Rasya Putri—Kurap—harus terjerat sebuah perjanjian konyol dengan lelaki itu. Pandu Nugraha Andaksa—Panu—harus menahan emosi setiap kali berhadapan dengan Rasya yang begitu menguji kesabarannya.
Lantas, akankah mereka terjebak dengan sebuah pernikahan seperti kisah novel pada umumnya? Atau akan ada kejutan luar biasa yang mampu membuat kedua orang itu saling jatuh cinta?
Mau tahu jawabannya? Baca kisah ini dan jangan lupa beri dukungan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rita Tatha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
25
Rasya duduk bersandar tembok di teras rumah. Pandangan matanya menatap kotak kecil di tangan juga langit gelap secara bergantian. Dia masih belum menyangka kalau Pandu akan membeli kembali perhiasan yang baru dia jual kemarin. Bahkan lelaki itu membayarkan seluruh biaya rumah sakit ayahnya.
"Anak perawan pamali malam-malam di depan rumah, dikawinin genderuwo baru tahu rasa kamu, Kum."
"Astaga, punya Abang satu mulutnya kaya air comberan. Kuatkan hamba Ya Tuhan ... Aduh! Sakit, Mas!" Rasya mengusap pundaknya yang ditepuk kencang oleh Agus.
"Mulut kamu tuh, kaya comberan. Masuk!" suruh Agus, tetapi Rasya tetap bergeming di tempatnya. "Kumala Rasya Putri!"
Mendengar suara Agus yang meninggi, Rasya pun akhirnya masuk dan duduk di sofa ruang tamu bersama Agus. Dia hanya diam saja saat Agus membuatkan teh panas untuknya.
"Makasih, Mas. Tidak perlu repot-repot, jangan lupa sama camilannya," ledek Rasya saat Agus menaruh cangkir teh itu di depannya.
"Dasar adik durhaka!" umpat Agus, tetapi Rasya justru terkekeh. "Kum!"
"Hmm." Rasya begitu sibuk melihat kotak kecil di tangannya.
"Kamu lihatin apa, sih? Serius banget?" tanya Agus. Dia merebut kotak kecil di tangan Rasya hingga membuat gadis itu terlonjak.
"Balikin, Mas!" pekik Rasya berusaha merebut kotak itu. Namun, Agus tidak peduli dan tetap mengangkat kotak itu tinggi-tinggi hingga membuat tubuh mungil Rasya tidak bisa menggapai.
"Ini dari siapa?" tanya Agus penuh selidik. Dia melihat isi kotak itu. "Weh, cincin sama kalung dari siapa, Kum?"
"Kepo!" Rasya merebut kotak itu dan segera berlari ke kamar. Agus yang melihat itu hanya menggeleng.
Sesampainya di kamar, Rasya berdiri di depan cermin lalu mengalungkan kalung itu di lehernya juga memakai cincinnya. Rasya menghela napas panjang.
"Besok aku kasih uang empat juta itu aja deh buat Om Panu. Kasihan dia." Rasya pun merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur untuk berisitirahat.
***
Keesokan paginya, Rasya dan Agus kembali ke rumah sakit untuk menjemput sang ayah yang sudah diperbolehkan pulang. Dengan meminjam mobil rental, mereka berangkat jam tujuh pagi karena masih harus mengurus kepulangan Paijo.
"Kalian sudah datang?" Wajah Paijo tampak semringah. Bagaimana tidak? Dua hari di rumah sakit membuat lelaki paruh baya itu merasa jenuh. Apalagi dia sudah terbiasa bekerja.
"Sudah, Pak. Seneng banget mau pulang. Udah mantep mau pulang ini, Pak?" tanya Rasya, bibirnya menyeringai tipis. Paijo menghirup napas dalam-dalam. Dia berharap semoga mulut putrinya tidak berbicara macam-macam hingga dia harus menerima omelan istrinya.
"Sudahlah, Kum. Bapak udah jenuh di sini. Walaupun akhirnya gratis tidur di kasur empuk, bapak lebih milih tidur di kasur kapuk," balas Paijo.
"Nanti jangan-jangan Bapak kangen lagi sama suster di sini. Bagaimana, Pak? Apa sudah mendingan?" Rasya menggoda dengan menirukan suara perawat yang biasa mengontrol Paijo.
"Tidaklah, Kum. Bagi bapak tuh, ibumu saja sudah cukup," elak Paijo. Dia melirik istrinya yang mulai memberikan tatapan tajam.
"Pret! Kemarin Bapak bilang sama Kukum katanya enak di sini, udah dikasih perhatian, diingetin makan, lihat yang bening-bening pula. Aduh, aduh, aduh, sakit, Mas." Rasya berteriak saat Agus menjewer telinganya kencang bahkan sampai memerah. Bukan hanya telinga, mata Rasya pun ikut berkaca-kaca karena merasakan panasnya bekas jeweran itu.
"Kamu ini jangan suka jadi kompor! Hobi banget bikin bapak sama ibu bertengkar!" hardik Agus. Rasya tidak menjawab, tetapi menghembuskan napasnya secara kasar.
"Kalau kamu masih terus bikin mereka berantem, Mas enggak akan segan-segan jewer telinga kamu sampai putus!"
"Ya Tuhan, ngeri sekali, Mas. Kamu jadi seperti psycopat!" cibir Rasya.
"Biarin!" ketus Agus, "Kamu sekali-kali harus di—"
"Mbak Ajeng," teriak Rasya menghentikan Omelan Agus.
"Mas tidak bisa kamu bohongi lagi!" Kali ini, Agus tidak mau tertipu untuk yang kesekian kali oleh adiknya.
"Yee, dibilangin enggak percaya. Tuh, Mbak Ajeng dateng sama Mas Abrar," ucap Rasya dengan sangat yakin. Agus pun berbalik dan terkejut saat melihat pujaan hatinya datang bersama kakaknya. Amarah Agus kepada Rasya pun memudar seketika. Berganti senyum manis untuk memikat sang gebetan.
"Ciee ... enggak usah cari muka gitu. Muka udah jelek mah, bibir senyum semanis apa pun bakal tetep jelek," ledek Rasya diiringi gelakan tawa.
"Allahu Akbar. Pak, Bu, aku mau ganti adek boleh enggak sih, tukar tambah aku nambah banyak enggak papa, daripada punya adek kaya gini modelannya," ucap Agus saking kesalnya.
"Jahat banget kamu, Mas." Rasya melipat tangan di depan dada dengan bibir mengerucut. Agus tidak peduli. Dia justru menyalami Abrar dan tersenyum lebar ke arah Ajeng.
"Ciee, yang sok kecakepan." Rasya benar-benar tidak kapok. Agus berbalik dan menatap adiknya tajam. Melihat sang kakak yang mulai marah, Rasya pun memasang ancang-ancang dan bersiap untuk kabur. Ketika Agus berjalan mendekat, Rasya segera berlari ke pintu untuk menghindari jeweran sang kakak.
"Perawan gue ilang!" latah Rasya saat sampai di pintu, dirinya menabrak seseorang hingga tubuhnya mendarat bebas dan pantatnya mencium lantai dengan mesra.
"Kenapa kamu begitu ceroboh!"
Rasya mengembuskan napas kasar saat orang tersebut bukannya menolong, dan justru marah-marah padanya.