NovelToon NovelToon
MENJADI PILIHAN KEDUA SAHABATKU

MENJADI PILIHAN KEDUA SAHABATKU

Status: sedang berlangsung
Genre:CEO / Pengantin Pengganti / Nikah Kontrak
Popularitas:3k
Nilai: 5
Nama Author: Ibu Cantik

Sadewa dan Gendis sudah bersahabat dari kecil. Terbiasa bersama membuat Gendis memendam perasaan kepada Sadewa sayang tidak dengan Sadewa,dia memiliki gadis lain sebagai tambatan hatinya yang merupakan sahabat Gendis.

Setelah sepuluh tahun berpacaran Sadewa memutuskan untuk menikahi kekasihnya,tapi saat hari H wanita itu pergi meninggalkannya, orang tua Sadewa yang tidak ingin menanggung malu memutuskan agar Gendis menjadi pengantin pengganti.

Sadewa menolak usulan keluarganya karena apapun yang terjadi dia hanya ingin menikah dengan kekasihnya,tapi melihat orangtuanya yang sangat memohon kepadanya membuat dia akhirnya menyetujui keputusan tersebut.

Lali bagaimana kisah perjalanan Sadewa dan Gendis dalam menjalani pernikahan paksa ini, akankah persahabatan mereka tetap berlanjut atau usai sampai di sini?.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ibu Cantik, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

bagian 21

Pagi itu rasanya berbeda. Entah angin apa yang bertiup di apartemen milik Sadewa, tapi atmosfer yang biasanya dingin dan penuh jarak seolah punya celah kecil untuk hangat masuk menyelinap.

Bianca bangun dengan perasaan ringan. Semalam, sepulang dari kantor, ia menyempatkan mampir ke supermarket. Tangannya cekatan memilih bahan ayam kampung, kentang, wortel, seledri, bawang merah-putih, dan kecap manis. Dia tidak tahu kenapa dia repot-repot. Tidak ada yang meminta. Tidak ada yang mengharuskan. Tapi… rasanya ingin melakukan sesuatu yang baik. Mungkin sekecil apapun, ia harap bisa sedikit mengisi ruang kosong yang menganga di antara mereka.

Sup ayam mengepul di atas kompor. Aroma gurihnya menyebar memenuhi dapur. Perkedel kentang yang ia goreng perlahan berubah kecokelatan sempurna. Bianca juga menyiapkan sambal kecap sederhana cabe rawit, bawang merah cincang, kecap, sedikit air jeruk nipis.

Semua tampak lezat. Semua tampak seperti rumah sungguhan.

Bianca bersenandung pelan tanpa sadar.

---

Di kamar, Sadewa memasang dasi di depan cermin. Tangannya cekatan tapi wajahnya tampak lebih lembut dari biasanya. Mungkin efek tidur cukup. Mungkin sisa mimpi yang masih samar tentang hangatnya seseorang di pelukannya. Ia mencoba mengusir pikiran itu terutama bagian di mana ia mengingat jelas wajah Bianca yang begitu dekat dengannya.

“Bodoh,” gumamnya pada diri sendiri sambil menghela napas.

Namun begitu ia membuka pintu, langkahnya terhenti.

Aroma itu.

Bukan bau kopi pahit yang biasa ia hirup setiap pagi, bukan juga bau pembersih lantai yang menusuk hidung. Tapi aroma masakan rumahan. Sup hangat. Sambal kecap. Perkedel. Aroma yang mengingatkan akan sesuatu yang nyaris lupa kehadiran seorang yang bahkan tidak pernah berada di dapurnya.

Dadanya terasa aneh. Berat, tapi hangat.

Langkahnya bergerak sendiri menuju dapur.

---

Bianca fokus memotong daun bawang untuk taburan sup. Nada suaranya masih bersenandung kecil, rambutnya ia ikat rapi, apron pastel melingkar di pinggangnya. Dia tidak sadar bahwa seseorang sedang berdiri tepat di belakangnya.

Sampai suara berat itu terdengar.

“Apa yang kamu masak?”

“AaaAAHH!!”

Bianca tersentak kaget, pisau hampir terlepas dari tangannya. Ia memegang dada, wajahnya merah karena terkejut.

“Dewa!” serunya dengan mata mengerjap cepat. “Ya ampun… aku kira hantu.”

Sadewa mengangkat alis, menahan senyum yang nyaris muncul. “Kalau aku hantu, kamu udah pingsan dari tadi.”

Bianca mendengus pelan, merasa malu.

Sadewa melangkah lebih dekat, memperhatikan panci dan piring yang tertata rapi.

“Sup ayam?” tanyanya datar.

Bianca mengangguk, kembali mencoba bersikap biasa. “Iya. Sama perkedel. Sama sambal kecap. Aku belanja tadi malam. Aku pikir… ya… lumayan buat sarapan.”

Sadewa menatapnya beberapa detik. Diam. Hening. Bianca mulai gelisah.

“Aku tahu kamu mungkin nggak suka makananku,” lanjut Bianca cepat, seolah ingin menjelaskan diri. “Tapi aku pikir daripada membiarkan kulkas kosong, ya aku masak saja. Kamu nggak harus makan, kok. Aku bisa—”

“Aku mau.”

Bianca terdiam.

“…apa?” tanyanya pelan, memastikan.

Sadewa mencondongkan tubuh sedikit, melihat sup yang mengepul. “Aku bilang aku mau. Supnya. Perkedelnya juga.”

Ada sesuatu di nada suaranya bukan hangat, bukan lembut, tapi tidak dingin juga. Netral, tapi jujur.

Bianca mengangguk cepat. “Oh,baik! Aku… aku siapkan di meja ya.”

Sadewa mengangguk lalu berjalan ke meja makan. Duduk. Meletakkan tas kerjanya di kursi sebelah. Jantung Bianca berdetak cepat entah kenapa.

---

Beberapa menit kemudian meja makan sudah tertata. Sup ayam dalam mangkuk besar, perkedel tersusun rapi, sambal kecap dalam wadah kecil. Bianca duduk di seberang Sadewa jauh sedikit, menjaga batas.

Sadewa menyendok supnya. Uap panas menyentuh wajahnya. Disuapkannya perlahan.

Bianca menunggu.

Sadewa mengunyah. Diam.

Bianca menelan ludah. “…gimana?”

Sadewa meletakkan sendok.

“Enak,” jawabnya singkat.

Bianca menatapnya, seolah tidak percaya. “Beneran?”

Sadewa menatapnya balik. “Kalau nggak enak, aku nggak akan bilang enak.”

Kalimat itu sederhana, tapi bagi Bianca rasanya seperti pujian terbaik yang pernah ia dapatkan. Pipinya memerah, senyuman kecil muncul tanpa bisa ia tahan.

Suasana sarapan itu canggung, tapi menyenangkan. Seperti dua orang yang terbiasa saling bermusuhan, mendadak belajar berkata baik tanpa merasa kalah.

Sesekali mata mereka bertemu cepat-cepat dialihkan lagi. Sesekali sendok beradu. Sesekali Sadewa terlihat menahan tawa karena Bianca tersedak perkedel sendiri.

Mereka bukan pasangan romantis. Bukan pasangan yang saling mencintai.

Tapi pagi itu… mereka tidak terlihat seperti dua orang asing yang dipaksa menikah.

Mereka seperti… dua orang yang sedang belajar.

---

Setelah selesai sarapan, Bianca berdiri cepat dan merapikan piring.

“Aku yang cuci piring. Kamu harus ke kantor,” katanya.

Sadewa mengambil jaketnya, tapi sebelum melangkah pergi, ia berhenti di ambang pintu.

“Bianca.”

Bianca menoleh.

Sadewa menatapnya sebentar mata gelapnya tidak sedingin biasanya. “Terima kasih.”

Bianca membeku.

Ia mengerjap, jantung hampir berhenti.

“Untuk sarapannya,” lanjut Sadewa. “Ini… sudah lama sejak terakhir kali aku makan masakan kamu.”

Bianca hanya mampu mengangguk, bibirnya bergetar menahan senyum. “Sama-sama, Dewa.”

Sadewa membuka pintu.

Sebelum keluar, ia sempat menengok sedikit, tatapannya singkat tapi cukup untuk membuat Bianca kembali salah tingkah.

“Jangan lupa makan siang,” pesannya pelan.

Pintu tertutup.

Bianca memegang dadanya. Detak jantungnya berisik sekali. Rasanya ingin tertawa. Rasanya ingin menangis. Rasanya ingin percaya bahwa hari ini bukan mimpi.

“Mungkin… mungkin aku bisa bertahan,” gumamnya lirih.

Karena untuk pertama kalinya…

…ada celah kecil di dinding dingin Sadewa.

Dan celah sekecil itu cukup untuk membuat Bianca berharap.

Di balik pintu apartemen, begitu pintu tertutup, ekspresi Sadewa langsung berubah. Napasnya terengah pelan seolah ia baru saja melakukan hal paling melelahkan di dunia menjadi sedikit baik.

Dia bersandar ke dinding koridor, menunduk sambil memijat batang hidungnya.

“Apa yang barusan gue lakuin…?”

Dadanya naik turun. Telinganya terasa panas. Kata-kata yang meluncur dari bibirnya tadi seolah bukan miliknya sendiri. Terima kasih? Jangan lupa makan siang? Itu bukan bahasa Sadewa yang dia kenal.

Sadewa menyentak dirinya sendiri dengan pukulan ringan ke dahinya.

“Sial. Gue kenapa?”

“Kenapa kayak… orang normal?”

“Bilang ‘terima kasih’? Serius, Wa? SERIUS?”

Dia merutuk pelan, mendengus keras.

Langkahnya baru bergerak ke lift ketika otaknya kembali memutar adegan tadi. Bianca dengan senyum kecil yang malu-malu. Bianca dengan apron pastel. Bianca yang mencium tangan sebelum pergi kerja. Bianca yang memasak sup ayam yang enak. Terlalu enak sampai dia makan dua porsi tanpa sadar.

Dada Sadewa terasa aneh lagi.

“Bukan salah supnya, kan? Enak sih… tapi…”

Ia berhenti lagi. Mengacak-acak rambutnya yang sudah rapi.

“Stop. Lo cuma lapar. Itu doang. Lo bukan… seneng. Itu cuma… insting. Badan lo butuh makanan. Udah. Titik.”

Nada suaranya merendah, seolah ia mencoba meyakinkan dirinya sendiri, bukan orang lain.

Lift berdenting. Pintu terbuka. Sadewa melangkah masuk sambil menekan tombol lantai dasar. Begitu pintu menutup, ia menatap refleksi dirinya di dinding logam.

Kemeja rapi. Setelan mahal. Tatapan tajam. Tapi di balik itu, ada kekacauan kecil yang mulai tumbuh dan tidak bisa ia kendalikan.

"Sarah yang lo cari."

"Bukan Bianca."

"Sarah. Sarah. Sarah.

Sadewa meremas gagang tas kerjanya.

Dan semakin ia menyebut nama itu, semakin wajah lain muncul di kepalanya.

Wajah dengan senyum yang tidak pernah memaksa apa-apa darinya.

Wajah Bianca.

“…astaga. Ini kacau.”

Lift berdenting lagi. Pintu terbuka.

Sadewa keluar dengan langkah cepat seolah kabur dari pikirannya sendiri. Tapi gumaman kesalnya tetap terdengar lirih sebelum ia menghilang di lobi.

“Gue harus jaga jarak. Mulai sekarang. Nggak boleh aneh-aneh lagi.”

“Nggak boleh tertarik.”

“Nggak boleh.”

Sayangnya, larangan yang ia ucapkan

baru punya kekuatan kalau hatinya masih patuh.

Dan hati Sadewa?

Dia bahkan tidak sadar sudah mulai membangkang.

1
Dewi Susanti
lanjut kak
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!