Hidup hanya untuk berjalan di atas luka, itulah yang dialami oleh gadis bernama Anindira Sarasvati. Sejak kecil, ia tak pernah mendapat kasih sayang karena ibunya meninggal saat melahirkan dirinya, dan ayahnya menyalahkan Anin atas kematian istrinya karena melahirkan Anin.
Tak hanya itu, Anin juga selalu mendapat perlakuan tak adil dari ibu dan adik tirinya.
Suatu hari, ayahnya menjodohkan Anin dengan putra sahabatnya sewaktu berperang melawan penjajah. Anin tak memiliki pilihan lain, dia pun terpaksa menikahi pria bernama Giandra itu.
Bagaimana kisah mereka selanjutnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dina Aisha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Hamil?
Dua bulan telah berlalu, di ruang makan keluarga Wijaya—suasana tegang menggantung di udara.
Anin duduk berhadapan dengan Sri dan abang iparnya—Hanung Wijaya. Di sampingnya, Giandra duduk sembari menatap wajah Anin—tampak pucat.
“Kalau nggak enak badan, kamu istirahat di kamar ya,” ujar Giandra sembari mengusap punggung Anin.
“Halah, paling cuma kecapekan. Ngapain dikhawatirin? Kayak bisa kasih keturunan aja,” cibir Sri.
Giandra melempar tatapan tajam. “Diam atau opor panas itu pindah ke wajahmu sekarang!” ancamnya.
Sri tertegun, menyunggingkan bibir, lalu membuang mukanya.
“Selamat malam semuanya.” Yasir melangkah masuk sembari merangkul Ningrum yang berjalan di sisinya.
“Kenapa suruh kita makan malam bersama? Bapak tahu kan kalau saya sibuk,” ketus Hanung tanpa basi-basi.
Yasir hanya tersenyum tipis. Ia menarik kursi untuk Ningrum, membiarkannya duduk, lalu ikut duduk di sebelahnya.
“Bapak mau kasih kabar bahagia untuk keluarga kita,” ungkap Yasir tenang.
“Kabar bahagia?” Sri menatapnya lekat sembari mengernyitkan dahi. “Bapak mau membagi warisan?”
Yasir menggeleng pelan.
“Lalu apa?” Astri ikut bertanya.
Yasir menghela napas. “Ningrum sedang mengandung enam bulan.”
“Apa?”
Astri, Hanung, dan Sri saling melempar tatapan. Wajah mereka mengeras, dan tatapan sinis menghujani Ningrum.
“Bapak yakin itu anak bapak? Siapa tahu perempuan murahan itu tidur dengan laki-laki lain,” tuduh Hanung.
Ningrum terperanjat. “Astaghfirullah, Hanung! Saya memang istri kedua tapi saya tidak pernah disentuh oleh laki-laki, selain bapakmu!”
“Terus kenapa dirahasiakan? Pasti ada apa-apanya!” desak Astri.
“Karena saya yang suruh. Saya tidak mau nyawa Ningrum terancam dan kembali keguguran,” jawab Yasir.
“Jadi kamu tuduh aku?” tanya Astri.
“Saya tidak menuduh siapa pun, tapi sepertinya kamu merasa sendiri,” jawab Yasir, lalu menyeringai kecil.
Astri mematung sejenak, matanya menyala menatap Ningrum.
“Gundik tak tahu diri! Kau rebut segalanya dariku!” pekik Astri.
Astri bangkit, berjalan mendekati Ningrum, lalu menarik rambutnya.
“Aww!!” Ningrum menjerit, berusaha menarik tangan Astri.
“Lepasin istriku!” bentak Yasir.
Yasir menepis kasar tangan Astri, lalu merangkul erat tubuh Ningrum.
“Aku juga istrimu!” teriak Astri.
“Tapi aku tidak pernah mencintaimu!” Suara Yasir ikut meninggi.
“A–apa?” Bibir Astri bergetar.
“Sejak awal pernikahan kita, aku tidak mencintaimu karena cintaku sudah habis untuk Ningrum,” ungkap Yasir.
“Lalu ... Kenapa kau menikahiku?” Suara Astri melemah.
“Karena bapak memaksaku menikahiku. Bapakku tidak merestui hubunganku dengan Ningrum karena Ningrum adalah anak dari hasil hubungan gelap gadis di kampung ini dengan tentara Belanda. Namun, setelah bapak meninggal, aku mencari Ningrum lagi dan menikahinya,” ungkap Yasir.
Astri terpaku, perlahan air mata mengalir, membasahi pipinya. “Apa kekuranganku? Kenapa aku tidak bisa membuatmu jatuh cinta?”
“Kau tidak memiliki kekurangan sedikit pun, tapi hatiku tidak bisa mencintai dua wanita sekaligus. Aku mengaku bersalah karena tidak jujur sejak awal jadi jangan salahkan siapa pun termasuk Giandra. Aku menikahi Ningrum saat kau sedang mengandung Giandra bukan karena kecantikanmu memudar, tetapi karena cintaku memang untuk Ningrum dan aku tidak rela dia dimiliki pria lain,” jawab Yasir.
“Kau egois! Kau menghancurkan keluarga kita hanya demi nafsumu!” Astri meraung, lalu membanting seluruh piring di meja makan.
Brakk!
Piring berhamburan dan pecah berkeping-keping. Astri terisak, menjatuhkan tubuhnya ke lantai.
“Ibu!!” teriak Hanung.
Hanung berlari menghampiri Astri, merangkul tubuh ibunya. Hanung memandang Yasir. “Bapak jahat!! Inilah alasanku membencimu!” pekiknya.
Hanung menggenggam tangan Astri, kemudian berjalan keluar dapur seraya memapah tubuh Astri yang melemah.
Sementara itu, Giandra masih terpaku di kursinya. Pandangannya tertancap pada ibunya yang perlahan menghilang.
“Kenapa nggak susul mereka?” tanya Anin sembari menyentuh lengan Giandra.
“Percuma. Kehadiranku nggak dibutuhkan. Ibu cuma jadikan aku alat supaya nggak kehilangan bapak sepenuhnya,” jawab Giandra.
Seketika kesunyian memenuhi ruangan. Anin memandang Giandra yang mematung dengan mata berkaca-kaca.
“Kita bersihin pecahan piringnya dulu yuk,” ajak Anin.
Giandra mengangguk pelan, mengambil sapu, dan membersihkan lantai. Sedangkan Yasir, Ningrum, dan Sri sudah meninggalkan dapur.
Huekk.
Anin menutup mulut, tubuhnya membungkuk. Giandra membelalak, bergegas menghampiri Anin.
“Kamu kenapa?” tanya Giandra.
“Nggak tahu. Belakangan ini aku sering mual dan pusing,” jawab Anin.
“Jangan-jangan kamu hamil,” celetuk Giandra.
Anin tertegun, memegang perutnya yang masih datar. “Tapi nggak buncit.”
“Ya nggak langsung buncit, sayang. Buktinya Burum udah hamil enam bulan tapi kita baru tahu sekarang,” sahut Giandra.
Anin mengerucutkan bibir, dan hidungnya kembang-kempis. Giandra menyeringai, lalu mencubit hidungnya.
“Aduh! Sakit tahu!” seru Anin.
“Siapa suruh imut banget.” Giandra terkekeh, kemudian merangkul erat bahu Anin. “Besok kita periksa ke bidan ya,” sambungnya.
Anin mengangguk kecil, lalu kembali menyapu lantai hingga bersih.
...🌹🌹🌹...
Keesokan harinya, Anin dan Giandra berada di rumah milik seorang bidan yang terkenal di kampungnya.
Anin tengah berbaring di tempat tidur, Giandra duduk di sisi ranjang sembari menggenggam erat tangannya.
“Gimana, Bu? Istri saya beneran hamil?” tanya Giandra, tetapi tak ada jawaban.
Bidan fokus meraba aset pribadi milik Anin untuk mengecek mulut rahimnya.
Sementara Giandra mematung, menelan saliva, dan tangannya sedikit gemetar.
“Kamu kenapa? Kok gemetaran? Kan aku yang diperiksa,” ucap Anin.
“Pasti sakit, kan? Aku nggak tega,” jawab Giandra jujur.
Anin tersenyum kecil, mengusap lembut tangan Giandra. “Nggak sakit kok. Lagi pula ini hanya pemeriksaan, dan jauh lebih sakit melahirkan. Buktinya ibu kandungku saja sampai merenggang nyawa karena melahirkan aku.”
Setengah jam kemudian, Anin dan Giandra duduk berhadapan dengan bidan yang telah selesai memeriksa.
“Jika dilihat dari gejala dan hasil pemeriksaan, Anin memang positif hamil. Usia kandungannya sekitar empat minggu,” ungkap bidan itu.
Giandra menatap Anin, senyum merekah di wajahnya. “Alhamdulillah.”
“Tapi ... Usia Anin masih sangat muda. Risiko kegugurannya cukup tinggi jadi kamu harus ekstra menjaganya hingga melahirkan.” Bidan menatap Giandra.
“Siap, Bu! Saya akan jaga istri dan anak saya!” seru Giandra.
Giandra menggenggam jari-jemari Anin, senyum terus terukir di bibirnya.