Berjalan Di Atas Luka
Di tengah deretan murid yang duduk berdampingan dengan orang tua mereka, seorang gadis kecil berseragam putih merah tampak terasing. Tubuh mungilnya kaku, kedua tangannya bertaut erat di pangkuan. Ia menatap kosong ke arah panggung kecil di depan kelas—tempat seorang temannya tengah membacakan puisi untuk sang ibu.
Senyuman bahagia, tepuk tangan hangat, dan pelukan haru mengalir di ruangan itu. Namun, tidak ada satu pun menyentuh Anindira Sarasvati Sudibyo.
“Anin ... Kamu datang sendiri? Orang tuamu mana? Ini hari kelulusan. Masa mereka nggak datang?” tanya wanita paruh baya yang duduk di depannya.
Anin menoleh pelan, kemudian menggeleng seraya tersenyum tipis. “Mereka memang nggak mau datang, Bu. Jadi aku datang sendiri.”
Wanita itu terdiam sejenak, tatapannya mengeras oleh rasa prihatin. “Astaga, ibu tirimu keterlaluan. Masa di hari penting, dia nggak datang?”
Anin tersenyum kecut, kembali memalingkan pandangan ke arah panggung. Di sana, temannya tengah berlari menghampiri ibunya yang menunggu dengan tangan terbuka, kemudian mereka berpelukan dengan tawa dan air mata bahagia. Hatinya mengatup pelan-pelan, seperti pintu yang ditutup agar tak ada lagi yang masuk atau keluar.
“Kapan aku bisa seperti mereka? Kapan aku punya seseorang yang akan memelukku seperti itu?” gumamnya.
Dia menarik napas dalam-dalam, tetapi dadanya tetap sesak. Tatapannya jatuh pada kotak camilan di meja yang tak tersentuh sejak tadi. Rasanya tawar seperti hidup yang dirinya telan dalam diam.
“Selanjutnya, puisi indah untuk orang tua akan dibacakan oleh Anindira Maheswari,” tutur pembawa acara.
Anin mengangkat wajahnya, lalu berdiri. Dengan langkah pelan, ia naik ke atas panggung. Pengisi acara memberikan mikrofon, dan Anin pun menggenggamnya dengan erat.
“Assalamualaikum dan selamat pagi semua. Saya—Anindira Sarasvati Sudibyo. Saya nggak akan membaca puisi untuk orang tua karena saya nggak punya tapi saya tetap berdiri di sini untuk membaca puisi lain meskipun nggak seindah puisi kalian, setidaknya saya ingin kalian bersyukur memiliki keluarga utuh karena nggak semua anak seberuntung kalian.”
Ruangan hening. Tak ada bisik, tak ada gerakan. Hanya suara kecil Anin yang bergema seperti doa yang patah.
“Silakan dibacakan Anin,” titah kepala sekolah.
Anin memejamkan mata, menghela napas panjang, membiarkan sesaknya luruh perlahan. Saat matanya kembali terbuka, ia menatap lurus ke depan.
Aku lahir bukan karena kupinta.
Namun, sejak tangis pertamaku
Aku hanya mendapat luka.
Ibuku pergi saat aku datang
Dan kata bahagia tak ada di hidupku.
Ayah menganggap aku sebagai anak pembawa sial.
Ibu tiriku tak pernah menyebutku anak. Namun, adik tiriku bagai pertama
Sementara aku hanya butiran debu.
Terkadang aku bertanya pada Tuhan
Apa benar aku pembawa sial?
Dan mengapa aku dilahirkan jika hanya hidup untuk berjalan di atas luka?
Aku tak pernah mengenal peluk ibu
Aku juga tak pernah mengenal cinta ayah pada putrinya.
Namun, ada harapan kecil dalam hatiku. Suatu saat, aku pasti dicintai.
Bukan karena siapa yang kulahirkan
Tapi karena aku layak untuk dicintai.
Meski aku tumbuh dari luka
Aku berjanji takkan mewarisi rasa trauma pada keturunanku nanti.
Selesai membaca, Anin menurunkan mikrofon. Dia mematung, tatapannya kosong, dan matanya sembap. Semua mata tertuju padanya. Tak percaya jika siswi yang dikenal ceria ternyata menyimpan lautan luka yang tak pernah mereka lihat.
Bersambung.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 25 Episodes
Comments