Pak jono seorang pedagang gorengan yang bangkrut akibat pandemi.
menerima tawaran kerja sebagai nelayan dengan gaji besar,Namun nasib buruk menimpanya ketika kapalnya meledak di kawasan ranjau laut.
Mereka Terombang-ambing di lautan, lalu ia dan beberapa awak kapal terdampar di pulau terpencil yang dihuni suku kanibal.
Tanpa skill dan kemampuan bertahan hidup,Pak Jono harus berusaha menghadapi kelaparan, penyakit,dan ancaman suku pemakan manusia....Akankah ia dan kawan-kawannya selamat? atau justru menjadi santapan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ilalangbuana, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
kerisis diplomatik
sebuah ruang berita sore di TV nasional, wajah pembawa acara tampak serius saat menyampaikan kabar terkini:
“Pencarian korban kapal tenggelam KM Laut Jaya 08 terus mengalami hambatan.
Hingga kini, tim SAR dari Indonesia masih belum mendapatkan akses penuh untuk menjelajahi wilayah sekitar Pulau Sentinel, India.
Pemerintah pusat melalui Kementerian Luar Negeri masih berupaya melakukan pendekatan diplomatik dengan otoritas India, guna membuka akses kemanusiaan ke kawasan tersebut yang disinyalir sebagai lokasi terakhir kapal sebelum hilang kontak...”
Layar televisi itu menyala di ruang tamu sederhana rumah Bu Ani, istri Pak Jono.
Matanya sembab, dengan wajah letih setelah berhari-hari menunggu kabar tanpa kepastian.
Di sampingnya, Siti, Rudi, dan Ayu duduk tanpa suara, memperhatikan layar TV tanpa benar-benar memahami apa yang disampaikan.
Hanya Siti yang mulai bisa menangkap makna,
bahwa ayahnya,Pak Jono belum tentu kembali.
Tangis Bu Ani akhirnya pecah kembali, tak kuasa menahan kepedihan yang selama ini ia tahan di depan anak-anak.
Siti memeluk ibunya erat, mencoba kuat meski dirinya sendiri ketakutan.
Di meja ruang tamu, beberapa amplop coklat dari relawan dan instansi pemerintah menumpuk. Bantuan sudah datang.
dalam bentuk sembako dan santunan sementara,namun tidak ada satu pun dari itu yang bisa menggantikan kehadiran seorang suami dan ayah.
---
Sementara itu, di Gedung Pancasila, tempat Kementerian Luar Negeri RI berkantor, suasana juga sedang panas.
Beberapa diplomat senior tampak sibuk keluar-masuk ruang pertemuan, membawa berkas, dokumen perjanjian, dan hasil komunikasi dengan Kedutaan Besar India.
Menteri Luar Negeri, Ibu Retno, memimpin rapat darurat dengan nada suara tegas namun diplomatis.
“India masih menolak permintaan akses tim kita ke sekitar Pulau Sentinel.
Mereka menganggap wilayah itu sangat sensitif. Mereka bilang: 'any contact with Sentinelese people might lead to disaster,either for them or for us'.”
Seorang pejabat dari bagian Asia Selatan menimpali, “Pihak India trauma dengan insiden sebelumnya. Bahkan beberapa tahun lalu, seorang misionaris Amerika dibunuh ketika mencoba mendekati pulau itu. Sejak itu, semua bentuk akses ke Sentinel dikunci rapat.”
“Bagaimana dengan pengajuan kita soal jalur kemanusiaan dan evakuasi?”
tanya Menteri Retno.
“Masih digodok. Mereka khawatir bukan hanya soal keamanan penduduk asli, tapi juga soal penularan penyakit.
Mereka anggap korban kapal kita bisa membawa virus atau bakteri yang mematikan bagi suku-suku yang belum pernah terpapar dunia luar.”
Menteri Retno menghela napas dalam.
“Kita tidak minta intervensi, hanya akses pencarian. Kita tidak berniat mendekati suku tersebut.
Kita hanya minta jalur pantau udara dan pendaratan di titik aman…”
“India bersikeras. Bahkan drone kita yang sempat mendeteksi skoci terdampar itu juga jadi masalah. Mereka bilang itu melanggar kedaulatan mereka.”
Rapat menjadi hening.
Situasi makin rumit. Di satu sisi, pemerintah Indonesia sedang ditekan oleh keluarga para korban yang menuntut kejelasan dan tindakan nyata.
Di sisi lain, akses wilayah kunci pencarian berada di bawah kekuasaan negara lain,dan bukan sekadar negara lain, tapi sebuah wilayah yang dijaga ketat karena alasan etnis dan sejarah.
Di kantor pusat BASARNAS, para petugas sibuk memeriksa peta wilayah perairan Andaman dan Nicobar.
Di layar besar tampak citra satelit dan jalur kemungkinan arus laut yang mengarah ke pulau-pulau kecil di sekitarnya.
“Kalau ini benar Pulau Sentinel,maka posisi skoci yang terdeteksi sangat dekat dengan batas zona larangan milik India,”
jelas seorang analis senior.
“Dan kalau korban selamat ada di sana, maka kemungkinan kita hanya bisa bertindak dengan kerjasama penuh dari India.”
Seorang teknisi menunjukkan layar drone hasil pemantauan dua hari lalu.
“Tapi lihat ini. Ada jejak asap di sisi barat pulau. Sangat tipis, tapi terlihat alami. Entah itu pertanda kehidupan... atau sinyal yang mereka buat.”
Komandan operasi SAR mengangguk tegas.
“Kalau benar mereka ada di sana... kita tidak bisa diam. Kita harus dorong jalur diplomasi lebih agresif.”
Sementara itu, berita-berita viral di media sosial mulai menggaungkan
#SelamatkanKMJaya08. Beberapa aktivis kemanusiaan, bahkan artis, ikut bersuara. Seorang influencer dengan jutaan pengikut membuat unggahan:
“Bagaimana bisa kita berdiam diri ketika kemungkinan korban selamat masih ada di luar sana? Kenapa kita harus takut pada aturan negara lain kalau nyawa saudara kita dipertaruhkan? #SaveKMJaya08 #KemanusiaanTanpaBatas”
Media mulai menyorot kisah keluarga korban. Termasuk Bu Ani, yang kini wajahnya muncul di layar berita lokal.
“Suami saya pergi demi keluarga. Demi anak-anak kami.
Saya mohon... kalau dia masih hidup... tolong selamatkan dia…”
Tangisnya di layar membuat banyak orang tersentuh.
Di ruang dalam Kementerian Luar Negeri, Menteri Retno akhirnya mengambil keputusan:
“Kita kirim tim kecil ke Kedutaan Besar India di Jakarta. Langsung. Kita buka semua data drone, semua titik pencarian, dan semua prosedur evakuasi yang tidak melibatkan kontak dengan penduduk lokal. Kita tunjukkan bahwa ini murni misi kemanusiaan. Tidak ada niat politik. Tidak ada pelanggaran etika.”
“Dan... pastikan media tahu. Kita tak akan tinggal diam.”
Sementara itu, di pangkalan utama TNI Angkatan Laut I (Belawan), Brigjen TNI (Mar) Jasiman Purba, S.E., CHRMP., Komandan Pangkalan Utama TNI Angkatan Laut (Danlantamal I), mulai memberikan pendapat dan masukan mengenai operasi pencarian yang sedang berlangsung.
Di ruang rapat yang dipenuhi pejabat militer dan perwakilan Kementerian Luar Negeri, Brigjen Jasiman tampak serius, memberikan analisis dan masukan berdasarkan pengalaman dan strategi yang dimilikinya.
“Pencarian korban kapal KM Laut Jaya 08 membutuhkan kekuatan yang lebih terkoordinasi dan tidak terbatas pada operasi SAR saja,”
ujar Brigjen Jasiman dengan suara tegas.
“Jika benar ada kemungkinan mereka terdampar di sekitar Pulau Sentinel atau di perairan yang sulit diakses, maka Angkatan Laut Republik Indonesia siap untuk membantu.Tentunya ini akan dilakukan dengan koordinasi penuh dengan TNI dan sesuai dengan persetujuan Panglima TNI.”
Di seberang meja, seorang pejabat Kementerian Luar Negeri mengangguk dengan serius.
"Kami telah melakukan komunikasi dengan Kedutaan Besar India. Namun, seperti yang kita ketahui, masalah kedaulatan dan keamanan di kawasan itu sangat sensitif. Kami tidak ingin membuat situasi semakin rumit."
Brigjen Jasiman menyandarkan tubuhnya di kursi, matanya tajam menatap peta perairan yang terhampar di hadapan mereka.
“Saya mengerti kekhawatiran mereka. Namun, ini bukan soal kedaulatan lagi, ini soal nyawa. Kami memiliki kemampuan untuk mengakses kawasan yang lebih terbuka di sekitar perairan yang diduga menjadi lokasi terdamparnya korban. Kalau memang mereka terdampar di sana, kita tidak bisa menunggu terlalu lama.”
“Namun, ini bukan hanya soal menyelamatkan nyawa,” jawab pejabat tersebut. “Ada risiko besar jika kita memasuki zona yang dilarang.
Terlebih, kita tahu, Pulau Sentinel adalah wilayah yang dijaga ketat, tidak hanya oleh militer India, tetapi juga oleh adat yang sangat melarang kontak dengan dunia luar.
Bahkan jika kita berhasil mengakses wilayah itu, risiko bagi penduduk asli juga harus diperhitungkan.”
Brigjen Jasiman tidak langsung menanggapi. Sebaliknya, ia memperhatikan pergerakan tangan salah seorang staf yang sedang menggambar rute kemungkinan pencarian di atas peta.
Ia menunggu sebentar sebelum berbicara lagi.
“Saya tahu betul risiko yang dimaksud, tetapi dalam hal ini, kita tidak bisa hanya diam menunggu. Pencarian yang terbatas dengan keterbatasan akses hanya akan berakhir dengan kegagalan.
Kita harus memikirkan langkah yang lebih drastis jika perlu. Saya siap melibatkan KRI (Kapal Republik Indonesia) dan personel dari Komando Pasukan Katak (Kopaska) untuk melakukan pencarian di lokasi yang lebih aman dan memungkinkan untuk evakuasi.”
Suasana dalam ruangan semakin tegang. Kebutuhan untuk bertindak dengan cepat dan tepat seakan semakin mendesak.
Wajah para pejabat di sekeliling Brigjen Jasiman tampak berpikir keras, mencoba meresapi setiap kata yang diucapkannya.
“Jika Panglima TNI memberikan persetujuan, kami akan segera mengerahkan kapal-kapal yang memiliki daya jelajah lebih jauh. Namun, tentu saja, kami tetap perlu pertimbangan dari Kementerian Luar Negeri dan tim diplomatik untuk menjaga hubungan dengan India,”
lanjut Brigjen Jasiman, matanya masih fokus pada peta perairan yang ditandai dengan titik-titik yang berpotensi menjadi lokasi pencarian.
Pejabat Kementerian Luar Negeri menghela napas panjang. "Kita akan melakukan koordinasi lanjutan dengan India. Namun, saya sangat berharap, seperti yang Anda katakan, kita dapat menjaga hubungan diplomatik yang baik dengan negara tersebut, meskipun kita memahami keadaan genting ini."
Sebelum sesi rapat selesai, Brigjen Jasiman menambahkan,
“Saya akan menyiapkan pasukan dan peralatan untuk segera siap digunakan, jika kami diberikan lampu hijau. Tentu saja, misi ini harus dilakukan dengan hati-hati. Kami semua di Angkatan Laut siap membantu, dengan segala kemampuan yang kami miliki. Semua demi kemanusiaan.”
Setelah rapat tersebut, suasana di dalam ruangan sedikit mengendur, meskipun ketegangan tetap membayangi setiap keputusan yang akan diambil.
Kembali ke Rumah Bu Ani
Sementara itu, di rumah Bu Ani, suasana semakin tegang. Sebuah laporan baru muncul di berita sore, yang disiarkan di saluran utama. Berita itu mengabarkan tentang pernyataan terakhir dari Brigjen Jasiman Purba yang memberikan harapan baru bagi para keluarga korban kapal KM Laut Jaya 08.
“Angkatan Laut RI siap mengerahkan kapal dan personel untuk membantu pencarian di kawasan yang lebih aman di sekitar pulau-pulau terdekat. Meskipun ada keterbatasan akses, pihak militer berharap bisa berkoordinasi dengan pihak India untuk memastikan keselamatan korban,” kata pembawa acara itu.
Bu Ani yang sedang duduk di ruang tamu mendengar berita tersebut, matanya berbinar sedikit. Meskipun hati dan pikirannya penuh dengan keraguan, ada secercah harapan yang kembali menyala.
“Mungkin... mungkin suamiku masih ada di sana,” gumam Bu Ani, dengan suara bergetar.
Namun, di sisi lain, ketidakpastian tetap menggelayuti pikirannya.
Seiring dengan setiap pemberitaan yang muncul, ada harapan, namun juga rasa cemas yang mendalam.
Apa yang terjadi di balik sana, di pulau yang tak terjamah itu, hanya bisa mereka bayangkan,sama seperti para keluarga yang lainnya...
Pencarian ini belum berakhir, dan setiap detik yang berlalu semakin membuat ketegangan melingkupi keluarga yang ditinggalkan. Di tengah perjuangan diplomatik antara kedua negara, di luar sana, di pulau yang belum terpetakan, Pak Jono dan teman-temannya berjuang bertahan hidup, tanpa mengetahui bahwa harapan mereka semakin diperjuangkan oleh keluarga dan negara mereka.