Prolog:
Claretta Fredelina Beryl adalah seorang wanita dewasa yang belum juga menikah di usianya yang ke 28 tahun.
Dan karena itu Letta sering kali di teror dengan pertanyaan "kapan nikah?" Bahkan keluarga besarnya sampai mengatur sebuah perjodohan dan kencan buta untuknya, tapi dengan tegas Letta menolaknya namun tetap saja keluarganya menjodoh-jodohkannya.
Tanpa keluarga Letta ketahui, sebenarnya Letta mencintai seorang pria namun sayangnya pria itu bukanlah pria yang berstatus lajang. Yah, Letta mencintai seorang pria yang sudah menjadi seorang suami. Meskipun Letta mencintai pria itu Letta tidak pernah memiliki niat untuk menjadi orang ketiga dalam hubungan pria itu.
Lalu bagaimana jika tiba-tiba Letta berubah pikiran? Apa yang menyebabkan Letta berani menjadi orang ketiga di rumah tangga yang harmonis itu? Yuk simak ceritanya!
Selamat Membaca Guy's!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Leo.Nuna_, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Part 10 (Satu Malam, Seribu Beban)
Happy Reading (。•̀ᴗ-)✧
⋇⋆✦⋆⋇
Malam hari, saat dalam perjalanan pulang, Letta duduk diam di kursi penumpang sambil menatap jalanan yang lengang dari balik jendela mobil. Suasana di dalam mobil cukup hening, hanya diisi oleh suara mesin dan alunan musik lembut yang mengalir dari radio.
Tiba-tiba Letta memecah keheningan. Suaranya pelan, namun cukup jelas untuk terdengar oleh Etan yang tengah fokus menyetir.
"Etan."
Mendengar panggilan itu, Etan langsung merespons sambil melirik ke kaca spion, memastikan keadaan Letta.
"Iya, Nona?" sahutnya tenang.
Letta tak langsung menjawab. Ia terlihat ragu, seperti sedang menimbang-nimbang sesuatu dalam pikirannya. Setelah beberapa detik, ia akhirnya bersuara lagi.
"Aku ingin kamu menyelidiki latar belakang keluarga Zidan Ardiansyah... salah satu pekerja di proyek pembangunan hotel kita."
Etan terdiam sejenak, tak menyangka dengan permintaan tersebut. Ini pertama kalinya Letta memintanya untuk menyelidiki seseorang secara pribadi—terlebih lagi, seorang pria.
Matanya kembali fokus ke jalan, namun pikirannya masih dipenuhi tanya. “Baik, Nona. Kalau boleh tahu... ada alasan khusus?”
Letta hanya tersenyum tipis. “Nanti juga kamu akan mengerti.”
Jawaban itu cukup bagi Etan untuk tidak bertanya lebih jauh. Meski bingung, ia tahu satu hal: Letta tidak akan meminta sesuatu tanpa alasan yang kuat.
Suasana di dalam mobil kembali hening. Letta kembali memalingkan wajah ke jendela, menatap pemandangan malam kota A yang melintas perlahan. Lampu jalanan berpendar temaram, seolah mencerminkan pikirannya yang tak sepenuhnya tenang.
Sementara itu, di sudut lain kota, Zidan baru saja tiba di rumah kecilnya. Begitu masuk, ia melihat Felicia sudah ada di rumah. Setelah menyapa ibunya dan adik perempuannya yang tengah bersantai di ruang tengah, Zidan segera mencari istrinya.
Begitu menemukan Felicia di kamar, ia langsung berbicara tanpa basa-basi. Wajahnya serius, nada suaranya tegas.
“Mana gaji aku?” tanyanya langsung.
Felicia yang sedang duduk santai langsung menoleh dengan wajah tak suka. “Apa sih, Mas? Pulang-pulang langsung nagih gaji. Itu kan hak aku,” sahutnya ketus.
Zidan menghela napas panjang, berusaha menahan diri. “Iya, aku tahu itu hak kamu. Tapi kamu juga tahu, sebagian dari uang itu harusnya buat Ibu. Kamu lupa?”
Felicia mendengus, memasang wajah kesal. “Uangnya udah habis,” jawabnya enteng.
Zidan menatap istrinya tak percaya. “Apa kamu bilang?”
“Udah habis,” ulang Felicia, kali ini dengan nada santai, seolah itu bukan masalah besar. “Aku pakai buat belanja tadi.”
Zidan terdiam, dadanya terasa sesak. Ia benar-benar tak habis pikir. Hanya dari gaji itu mereka hidup—membayar kebutuhan rumah, obat-obatan Ibu, bahkan biaya sekolah adiknya. Tapi Felicia menghabiskannya dalam sehari, dan seolah itu hal yang wajar.
“Gila kamu, ya! Kamu tahu gimana kondisi hidup kita sekarang, tapi kamu masih aja mikirin kesenangan sendiri!” seru Zidan, akhirnya tak mampu lagi menahan emosinya.
Felicia yang tak terima langsung membalas, suaranya naik satu oktaf, “Kesenangan aku? Mas, ini hidup aku juga! Aku butuh hiburan, aku butuh bahagia! Jangan cuma mikirin diri sendiri?”
Zidan menatapnya lama, sorot matanya penuh kekecewaan. “Aku nggak mikirin diri sendiri, Fel... Aku mikirin kita. Kamu, aku, Ibu, Aya. Kamu pikir aku senang kerja banting tulang tiap hari, pulang cuma buat denger kamu minta ini itu?”
Felicia mendengus dan menyilangkan tangan di dada. “Mas selalu bawa-bawa keluarga! Tapi pernah nggak mas mikirin aku sebagai istri? Aku juga pengin dandan bagus, jalan bareng teman-teman tanpa harus mikir isi dompet!”
Zidan menghela napas panjang, lalu menggeleng pelan. “Kalau yang kamu kejar cuma itu... mungkin aku memang bukan suami yang kamu butuhkan.”
Ucapan itu membuat Felicia terdiam sejenak. Matanya menyipit, ekspresi wajahnya berubah, antara tersinggung dan terkejut. Tapi gengsi membuatnya tetap berdiri tegak.
“Jadi sekarang Mas nyalahin aku?” suaranya dingin.
“Bukan nyalahin,” jawab Zidan lirih tapi tegas. “Tapi kamu juga harus sadar, kita hidup di dunia nyata, bukan dalam mimpi. Kita punya tanggung jawab. Hidup bukan soal senang-senang aja.”
Felicia melangkah maju, wajahnya kini memerah karena emosi. “Aku muak dengar kata 'tanggung jawab' dari mulut Mas! Tanggung jawab yang bikin aku hidup menderita? Aku cuma pengin sedikit bahagia! Apa itu salah?”
Zidan menatap Felicia dengan luka yang dalam di matanya. “Tapi kalau cara kamu mencari bahagia malah nyakitin orang lain... itu bukan bahagia, Fel. Itu egois.”
Ia menunduk sesaat, suaranya nyaris bergetar. “Aku kerja siang malam bukan buat hidup mewah, tapi supaya kita bisa makan, beli obat buat Ibu, bantu biaya sekolah Aya. Kalau kamu nggak bisa lihat itu, aku benar-benar nggak tahu lagi harus gimana.”
Keheningan menggantung di udara. Ruangan kecil itu mendadak terasa sesak oleh emosi yang membuncah.
Tanpa berkata apa pun lagi, Felicia melangkah pergi, membuka pintu kamar dengan kasar lalu membantingnya ringan di belakangnya.
Zidan terduduk di tepi ranjang, diam, menatap lantai tanpa fokus. Suara pintu yang tertutup menjadi satu-satunya penanda bahwa ia kini benar-benar sendiri dalam kelelahan dan kecewa yang mendalam.
Malam itu, Zidan hanya bisa duduk termenung di kamar sempitnya yang gelap. Kepalanya bersandar di dinding, pandangannya kosong menembus jendela. Pikirannya kalut, memikirkan masa depan yang kian samar.
Haruskah ia mencari pekerjaan tambahan? Tapi bagaimana mungkin? Waktunya sudah habis tersita oleh proyek pembangunan hotel milik Letta. Energinya terkuras habis tiap hari, bahkan untuk sekadar istirahat pun sulit. Namun masalah terbesarnya malam ini bukan sekadar lelah—melainkan kenyataan bahwa uang yang seharusnya digunakan untuk kebutuhan ibunya sudah habis di tangan Felicia.
Jika sesuatu terjadi pada ibunya—jika tiba-tiba beliau sakit atau butuh pengobatan—Zidan tak tahu harus berbuat apa. Satu-satunya uang yang tersisa adalah milik adiknya, Aya. Dan ia tak sampai hati mengambilnya.
Sejak ayahnya meninggal tepat di hari kelulusannya, beban keluarga langsung jatuh ke pundaknya. Ia tak sempat menikmati euforia menjadi lulusan SMA, karena harus segera berpikir tentang bagaimana caranya menjaga dan menghidupi keluarganya.
Padahal saat itu, Zidan telah diterima di universitas ternama dengan beasiswa penuh. Mimpi besar yang sudah lama ia idamkan—sirna dalam sekejap, karena kenyataan pahit muncul tak lama setelah kematian sang ayah: utang besar yang tak pernah diketahui keluarga sebelumnya.
Tanpa pikir panjang, Zidan mundur dari beasiswanya. Ia memilih turun langsung ke dunia kerja, mengambil pekerjaan serabutan demi melunasi utang-utang almarhum ayahnya. Butuh bertahun-tahun baginya untuk menyelesaikan semuanya. Dan akhirnya, satu tahun sebelum ia menikahi Felicia, semua utang itu lunas.
Zidan sempat merasa sedikit lega saat itu. Ia pikir, mungkin hidup akan mulai membaik. Ia memutuskan untuk menikahi Felicia, wanita yang saat itu setia mendampinginya. Bersamaan dengan itu, ia juga mulai membangun usaha kecil bersama seorang teman.
Namun semua berubah begitu cepat. Tepat sebulan setelah pernikahannya, Zidan ditipu habis-habisan oleh orang yang ia percaya. Uang modal, semangat, bahkan harapan—semuanya hancur dalam satu malam.
Sejak saat itu, hidup kembali terasa berat. Awalnya Felicia masih sabar dan setia. Tapi tahun demi tahun berjalan, dan kini Zidan bisa melihat jelas perubahan istrinya. Felicia sering mengeluh, sering membandingkan hidup mereka dengan orang lain, dan yang paling sering—membahas soal uang.
Zidan menghela napas berat. Di luar, malam semakin larut. Tapi di dalam dadanya, badai baru saja mulai.
TBC...