Sebuah insiden kecil memaksa Teresia, CEO cantik umur 27 tahun, menikah dengan Arga, pemuda desa tampan umur 20 tahun, demi menutup aib. Pernikahan tanpa cinta ini penuh gengsi, luka, dan pengkhianatan. Saat Teresia kehilangan, barulah ia menyadari... cintanya telah pergi terlalu jauh.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Helliosi Saja, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 11
Pagi menjelang siang, matahari mulai memanggang atap rumah sederhana itu. Arga duduk sendirian di kursi kayu depan rumah. Matanya menatap kosong ke arah kebun kecil yang membentang di samping rumah. Angin bertiup pelan, menggoyang ranting-ranting pohon pisang. Sunyi. Hanya suara burung dan desir angin yang terdengar.
Arga menghela napas berat. Sudah dua hari rumah ini terasa lebih sepi dari biasanya. Sejak kepergian Tere bersama orang tuanya, hatinya terasa hampa. Sesekali bayangan Tere hadir di benaknya — wajah cantiknya, kata-kata pedasnya, tatapan marahnya, bahkan... senyum tipisnya yang langka.
“Ya Allah... aku kenapa malah kepikiran dia terus, sih?” Arga mengusap wajahnya, mencoba mengusir bayangan itu.
Tiba-tiba terdengar suara langkah tergesa dan suara cempreng yang sudah tak asing lagi.
“Assalamualaikum, Ga! Woi, Ga! Kamu ngapain melamun kayak nenek-nenek ditinggal kakeknya?”
Arga langsung tersenyum. “Waalaikumussalam, Jak. Masuk dulu, kamu. Jangan teriak-teriak kayak mau dagang bakso!”
Jaka, sahabat sejak kecilnya, muncul dengan kaos lusuh dan celana pendek bolong di lutut. Wajahnya penuh semangat, tapi rambutnya acak-acakan seperti belum disisir sejak pagi.
“Eh, kamu ini diem-diem aja di rumah. Aku datang mau curhat, malah kamu ngatain aku dagang bakso. Nggak sopan!” kata Jaka pura-pura marah sambil menjatuhkan diri ke kursi sebelah Arga.
Arga tertawa kecil. “Curhat apaan lagi, Jak? Kamu mah tiap hari curhat, tapi kelakuan nggak berubah.”
Jaka menepuk dahinya sendiri dengan dramatis. “Itu dia masalahnya, Ga! Aku tuh di rumah diomelin emak, dimarahin bapak. Katanya aku nganggur, nggak ada kerjaan, cuma modal ganteng aja nggak cukup buat masa depan! Padahal kan aku ini... aset desa, Ga!”
Jaka menepuk dadanya bangga.
Arga geleng-geleng kepala. “Aset kepala kamu pitak! Udah, kamu mah memang harus cari kerja. Masa mau ngandelin ganteng doang, sih?”
Jaka mendesah keras, lalu wajahnya berubah serius — yang jarang sekali terjadi.
“Makanya, Ga. Aku ke sini mau ngajak kamu. Kita merantau, yuk. Kita cari kerja di kota. Siapa tahu nasib kita berubah. Kamu juga, daripada bengong nungguin istri kamu yang entah bakal balik apa enggak, mending ikut aku.”
Arga tertegun. Ia memandang Jaka lekat-lekat. Sahabatnya itu memang kocak, tapi di balik itu hatinya tulus. Ia peduli pada Arga.
“Kamu serius, Jak? Merantau ke mana?”
Jaka nyengir lebar. “Ke Jakarta lah! Katanya Jakarta itu tempatnya orang cari rezeki. Masa kita kalah sama orang-orang dari jauh? Kita kan asli sini, harus berani juga dong!”
Arga menggaruk kepalanya yang tak gatal.
“Jak... aku ini belum bisa pergi gitu aja. Aku ada tanggung jawab di sini. Kebun ini siapa yang urus? Terus... soal Tere... aku masih berharap dia mau terima aku.”
Jaka menepuk bahu Arga dengan gaya dramatis.
“Ga... Ga... kamu tuh terlalu baik. Orang kayak aku ini malah kalau jadi kamu, udah aku tinggalin aja tuh cewek. Ngapain mikirin orang yang nggak mikirin kamu? Yuk lah, Ga! Ntar kita di sana tinggal bareng, kerja bareng. Aku janji deh nggak bakal nyusahin. Paling cuma nebeng makan dikit...”
Arga tertawa keras. “Nah, itu dia. Baru aja bilang nggak nyusahin, udah ngomong nebeng makan.”
Mereka berdua tertawa bersama, tawa yang lama hilang dari rumah Arga. Suasana hati Arga sedikit lebih ringan. Meski hatinya tetap bimbang, kehadiran Jaka memberinya semangat baru.
“Ya udah, Jak. Aku pikir-pikir dulu. Kamu tunggu kabar aku, ya?” kata Arga sambil tersenyum.
“Siap, Bos Arga!” sahut Jaka sambil memberi hormat gaya tentara. “Kalau kamu mau, aku siap berangkat kapan aja. Yang penting... jangan lupa traktir aku bakso sebelum berangkat!”
Arga tertawa lagi, dan di bawah langit biru siang itu, untuk pertama kalinya setelah sekian hari, ia merasa... hidupnya tidak sesepi yang ia kira.
---