Dikhianati oleh suami dan adiknya sendiri, Putri Wei Lian menyaksikan keluarganya dihukum mati demi ambisi kekuasaan. Di saat nyawanya direnggut, ia berdoa pada langit—dan mukjizat terjadi. Ia terbangun sebulan sebelum perjodohan maut itu terjadi. Dengan tekad membara, Wei Lian berjuang membatalkan takdir lamanya dan menghancurkan mereka yang menghancurkannya. Tanpa ia tahu, seorang pria misterius yang menyamar sebagai rakyat biasa tengah mengawasinya—seorang kaisar yang hanya menginginkan satu hati. Saat dendam dan cinta bersilangan, akankah takdir berubah?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon inda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 11
Di istana, Kaisar mulai memerintahkan penyelidikan ulang terhadap semua dokumen militer 10 tahun terakhir. Ia memanggil Menteri Arsip, dan... tak sengaja, salah satu nama tua yang nyaris terhapus ditemukan kembali dalam catatan pasukan: Jenderal Wei. Status: dinyatakan hilang, bukan tewas.
Saat salinan itu sampai ke tangan Putra Mahkota, wajahnya pucat.
Zhuang Chuyan mencengkeram surat itu.
“Kita harus temukan Jenderal Wei... sebelum dia ditemukan oleh putrinya.”
Di ujung malam, Mo Yichen dan Wei Lian berdiri di atas menara pengamatan belakang istana. Mereka tak bicara banyak. Tapi tatapan mereka menyatu.
Wei Lian berkata pelan, “Jika semuanya benar… maka aku akan menggulingkan satu istana demi nama keluargaku.”
Mo Yichen menjawab tak kalah tenang, “Kalau begitu... biar aku yang membawa perisai di sampingmu.”
Dan di bawah cahaya rembulan, dua takdir yang dulu terpisah perlahan bersatu. Namun mereka tak tahu… malam itu, langkah mereka telah dipantau oleh bayangan lain.
Bayangan yang membawa warna darah dan dendam lama.
Kabut tipis menyelimuti hutan bambu di luar Luoyang saat fajar menyingsing. Bayangan dedaunan bergetar lembut, dan embusan angin pagi menyusup di antara pepohonan yang menjulang, membawa aroma tanah dan rahasia masa lalu yang nyaris dilupakan.
Wei Lian berdiri di depan reruntuhan kuil tua—Kuil Seribu Bambu, tempat yang disebut dalam peta lama dan laporan rahasia Mo Yichen. Ia mengenakan jubah perjalanan sederhana berwarna kelabu kebiruan, rambutnya dikepang tinggi dan disembunyikan di balik tudung.
Di sisinya, Mo Yichen dan Yan’er menyamar sebagai pengawal dan pembantu. Ah Rui ditinggal di kediaman, menyamar sebagai dirinya untuk mencegah kecurigaan.
“Aku tak percaya tempat ini masih berdiri, bahkan setelah diberi cap ‘terkutuk’,” gumam Yan’er, matanya menyapu lukisan-lukisan pudar di dinding kuil yang retak.
“Tempat terkutuk justru paling sering menyimpan kebenaran yang tak diinginkan,” balas Zhao Jin ringan, tapi nadanya serius.
Mereka melangkah ke dalam aula utama yang telah setengah runtuh. Di antara puing-puing dan pecahan genteng, Wei Lian menemukan sesuatu: papan kayu kecil di belakang patung bodhisattva yang sudah lapuk—papan itu memuat simbol keluarga Wei, terukir samar.
Ia mengusapnya dengan jari, lalu mengetuk ringan... terdengar suara berongga.
Mo Yichen segera membantu menggeser papan, dan di baliknya... ruang sempit dengan tangga menurun. Udara di dalam lembap dan dingin, seolah menelan cahaya matahari.
Dengan obor kecil yang mereka bawa, Wei Lian turun terlebih dahulu, diikuti oleh Mo Yichen dan Yan’er.
Di bawah sana, ruang batu berbentuk lingkaran menyambut mereka. Di tengahnya, terdapat peti panjang dan rak-rak kayu penuh dokumen usang, catatan militer, laporan rahasia, serta... satu gulungan yang disegel dengan lilin merah berdarah.
Wei Lian mengambilnya perlahan. Lilin segel itu memuat lambang pribadi milik ayahnya.
“Ini... tulisan tangan Ayah,” bisiknya. Tangan Wei Lian gemetar saat membuka gulungan itu.
Mo Yichen dan Yan’er serta Zhao Jin diam, membiarkannya membaca.
**“Putriku Lian’er,
Jika gulungan ini sampai di tanganmu, itu berarti aku gagal kembali. Tapi aku tak menyesal. Aku hanya ingin kau tahu bahwa Ayah tak pernah mengkhianati siapa pun. Aku menjalankan tugas—mengawal pasukan bayangan menuju titik perbatasan selatan untuk menyergap mata-mata yang telah menyusup. Tapi di tengah perjalanan, kami dijebak. Ada pengkhianat di dalam istana, lebih tinggi dari yang kita kira.
Jangan percaya pada mereka yang mengaku saudara, atau pada janji manis darah bangsawan.
Kalau aku tidak kembali... lindungi nama keluarga kita. Dan... maafkan Ayah, karena tak ada di sisimu saat kau terluka.”**
Wei Lian tak mampu menahan air mata yang jatuh. Meski hidup kembali, luka itu tetap menyayat sama dalamnya.
Yan’er memalingkan wajah. Mo Yichen menatapnya lama, lalu perlahan duduk di sebelahnya.
“Ayahmu tahu... hanya kau yang bisa membersihkan nama keluarga ini.”
Wei Lian menatap obor yang gemetar. “Berarti... Ayah tak mati?”
Mo Yichen mengangguk pelan. “Tidak ada bukti kematian. Tidak ada tubuh. Dan orang yang menyerahkan surat ini ke ruang rahasia... diyakini tewas, tapi itu pun tidak pasti.”
“Jadi... ada kemungkinan Ayah disembunyikan atau ditahan oleh pihak yang takut dia buka suara.”
Wei Lian berdiri. “Kita harus menyusuri jalur bayangan di luar kota. Aku ingin tahu siapa saja yang ikut misi itu, dan siapa yang selamat.”
Yan’er menambahkan, “Aku bisa menyelidiki di jalur kuda pos mereka kadang menyimpan arsip bayangan secara lisan.”
Zhao Jin mengangguk. “Dan aku akan selidiki siapa yang menandatangani pemalsuan surat asli ke Kaisar.”
Wei Lian menghela napas. “Mereka pikir aku akan tunduk dan diam. Tapi mereka salah. Aku tak akan menikah demi politik. Aku tak akan duduk diam melihat keluargaku dicoreng.”
Mo Yichen tersenyum samar. “Apa kau akhirnya mau menerima bantuanku sebagai lebih dari sekadar pedagang teh?”
Wei Lian menatapnya. “Kau bukan pedagang teh. Kau... penyamar ulung yang terlalu banyak tahu dan terlalu sering muncul saat aku butuh kaisar Hanbei.”
“Dan karena itu, kau diam-diam menantikan kedatanganku,” balas Mo Yichen, separuh menggoda.
Yan’er berdeham keras.
Mereka tertawa kecil. Untuk pertama kalinya dalam beberapa waktu, tawa terdengar lebih lepas—meski hanya sebentar.
Sementara itu, di tempat lain...
Putra Mahkota menerima pesan mendesak dari seorang prajurit bayangan. Surat itu singkat:
“Dia mulai menyusuri jejak lama. Jika dia menemukan tempat itu… permainan kita tamat.”
Putra Mahkota meremas surat itu.
“Panggil Zhuang Chuyan. Dan siapkan rencana kedua.”
Di sisi lain kota, seorang wanita tua dengan bekas luka melintang di wajahnya, duduk di bawah pohon di dekat sungai. Ia mengenakan jubah usang, matanya tajam seperti baja tua. Di tangannya... ukiran kayu kecil berbentuk burung.
Ia menatap ke langit. Lalu bergumam,
“Lian’er… jika kau masih hidup… apa kau juga sedang mencariku?”
---Bibi Zhen
bersambung