Penasaran dengan ceritanya yuk langsung aja kita baca
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mbak Ainun, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 9: Pengejaran di Kota Hujan
Kereta komuter melaju membelah kegelapan yang mulai merayap. Aris menyandarkan kepalanya di jendela yang bergetar, menatap titik-titik air hujan yang mulai membasahi kaca. Bogor menyambutnya dengan aroma tanah basah dan hawa dingin yang menusuk hingga ke sendi-sendinya yang tua. Di tangannya, ia meremas secarik kertas berisi alamat yang dikirimkan Maya.
Stasiun Bogor sangat ramai malam itu. Aris berjalan tergesa-gesa, mengabaikan tawaran para pengemudi ojek yang mengerumuninya. Ia memilih berjalan kaki menuju sebuah kawasan bengkel kayu di pinggiran kota, tempat yang dikatakan sebagai persembunyian Hendra.
Setiap langkahnya terasa berat. Pikirannya melayang pada kejadian sepuluh tahun lalu, saat Hendra—pria yang sudah ia anggap seperti adik sendiri—menundukkan kepala saat Aris dikawal keluar dari kantor Grup Mahakarya. Hendra tetap diam saat itu, dan diamnya adalah pengkhianatan yang paling menyakitkan bagi Aris.
"Permisi, apakah ada yang bernama Hendra di sini?" tanya Aris pada seorang pria yang sedang merapikan tumpukan papan kayu di sebuah bengkel tua yang remang-remang.
Pria itu menunjuk ke arah belakang, ke sebuah ruangan kecil yang diterangi lampu kuning redup. Di sana, seorang pria dengan rambut yang sudah memutih dan tangan yang penuh noda serbuk kayu sedang asyik memahat. Itu adalah Hendra. Ia tampak jauh lebih tua dari usianya.
"Hendra," panggil Aris pelan.
Pria itu tersentak. Pahat di tangannya jatuh ke lantai semen. Saat matanya bertemu dengan mata Aris, ada ketakutan yang murni terpancar di sana, diikuti oleh rasa malu yang mendalam.
"Pak... Pak Aris?" suara Hendra serak.
"Sepuluh tahun, Hendra. Dan kamu masih bersembunyi di balik kayu-kayu ini," ucap Aris, melangkah masuk ke dalam ruangan yang berbau serut gergaji itu.
Hendra mundur selangkah. "Saya tidak punya pilihan, Pak. Baskoro mengancam keluarga saya. Uang pesangon itu... saya gunakan untuk pengobatan ibu saya yang sakit keras saat itu. Saya terpaksa tutup mulut."
"Dan sekarang dia menyerangku lagi, Hendra. Dia menyebarkan berita bahwa aku yang memanipulasi data kekuatan beton itu. Dia ingin menghancurkan 'Rumah Senja', satu-satunya mimpi yang tersisa dariku dan Sarah," suara Aris bergetar oleh emosi.
Hendra tertunduk, bahunya merosot. "Saya melihat berita itu di televisi tadi sore. Saya tahu ini akan terjadi. Baskoro tidak pernah membiarkan korbannya bangkit."
Tiba-tiba, suara derit ban mobil yang direm mendadak terdengar di depan bengkel. Aris dan Hendra saling berpandangan. Dua pria berbadan tegap dengan jaket hitam turun dari sebuah mobil SUV gelap. Mereka bukan wartawan; mereka adalah jenis pria yang dikirim Baskoro untuk "menyelesaikan masalah".
"Hendra! Keluar!" teriak salah satu dari mereka.
"Mereka datang," bisik Hendra panik. "Bapak harus pergi lewat pintu belakang. Mereka tidak boleh melihat Bapak di sini."
"Tidak tanpa kamu, Hendra!" Aris mencengkeram lengan Hendra kuat-kuat. "Ini saatnya kamu membayar hutangmu pada kebenaran. Jika kamu tetap diam, kamu akan mati sebagai pengecut di bengkel ini. Ikutlah denganku, bantu aku menyelamatkan warga bantaran!"
Hendra ragu sejenak. Ia melihat ke arah pahatnya, lalu ke arah wajah Aris yang penuh tekad. Di luar, suara langkah kaki semakin mendekat, menendang tumpukan kayu dengan kasar.
"Cepat, Pak! Lewat sini!" Hendra akhirnya membuat keputusan. Ia menyambar sebuah tas kecil yang berisi dokumen-dokumen usang yang ternyata selama ini ia simpan sebagai "asuransi" nyawanya.
Mereka berlari menembus kegelapan di belakang bengkel, melewati gang-gang sempit yang becek. Aris terengah-engah, dadanya terasa panas, namun ia terus berlari. Di belakang mereka, suara teriakan para pengejar terdengar semakin dekat.
"Masuk ke sini!" Hendra menarik Aris ke dalam sebuah angkutan kota yang sedang menunggu penumpang di ujung jalan.
Angkot itu melaju tepat saat para pria berjaket hitam muncul di mulut gang. Aris melihat dari kaca belakang, melihat para pengejar itu tertinggal dalam kabut hujan Bogor.
Di dalam angkot yang berbau bensin dan jok kulit tua, Hendra membuka tasnya. Ia mengeluarkan sebuah buku catatan lapangan asli yang sudah menguning. "Ini adalah catatan asli kekuatan beton Sektor 12-B sepuluh tahun lalu, Pak. Di sini tertera jelas perintah Baskoro untuk mengurangi campuran semen sebesar tiga puluh persen. Saya menyimpannya... untuk berjaga-jaga jika suatu hari Bapak datang mencari saya."
Aris menerima buku itu dengan tangan gemetar. Air mata jatuh di atas sampulnya yang berdebu. Ini bukan sekadar kertas; ini adalah senjata yang akan meruntuhkan kerajaan kaca Baskoro.
"Terima kasih, Hendra," bisik Aris.
"Jangan berterima kasih dulu, Pak," jawab Hendra, menatap keluar jendela ke arah hujan yang semakin deras. "Baskoro tidak akan membiarkan kita sampai di Jakarta dengan selamat. Malam ini akan menjadi malam yang sangat panjang."
Kereta terakhir menuju Jakarta menunggu mereka di stasiun. Aris tahu, di ujung rel itu, pertempuran terakhir sedang menanti. Senja telah lama hilang, digantikan malam yang pekat, namun di tangan Aris, cahaya kebenaran kini menyala lebih terang dari sebelumnya.