NovelToon NovelToon
Manisnya Dosa Janda Penggoda: Terjerat Paman Direktur

Manisnya Dosa Janda Penggoda: Terjerat Paman Direktur

Status: sedang berlangsung
Genre:CEO / Janda / Konflik etika / Cinta Terlarang / Percintaan Konglomerat / Romansa
Popularitas:4.1k
Nilai: 5
Nama Author: Bangjoe

Mampukah janda muda menahan diri saat godaan datang dari pria yang paling tabu? Setelah kepergian suaminya, Ayana (26) berjuang membesarkan anaknya sendirian. Takdir membawanya bekerja di perusahaan milik keluarga suaminya. Di sana, pesona Arfan (38), paman direktur yang berkarisma, mulai menggoyahkan hatinya. Arfan, duda mapan dengan masa lalu kelam, melihat Ayana bukan hanya sebagai menantu mendiang kakaknya, melainkan wanita memikat yang membangkitkan gairah terpendam. Di antara tatapan curiga dan bisikan sumbang keluarga, mereka terjerat dalam tarik-ulur cinta terlarang. Bagaimana Ayana akan memilih antara kesetiaan pada masa lalu dan gairah yang tak terbendung, di tengah tuntutan etika yang menguji batas?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Bangjoe, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 4: Malam Terlarang dalam Jeratan

Ayana mematung. Tatapan Vina menusuk, seolah mampu membaca setiap detak jantung Ayana yang sedang kalut. Sebuah skenario sempurna, memang. Arfan si paman direktur yang berkuasa, dan Vina si pengawas tak kasat mata.

"Lho, Ayana? Sudah selesai?" Suara Vina terdengar ramah, tapi senyumnya tak sampai ke mata. Dingin dan perhitungan.

Ayana mencoba tersenyum sealami mungkin, meskipun bibirnya terasa kaku. "Iya, Bu Vina. Tadi cuma koordinasi sebentar soal proyek baru." Ia berharap nada suaranya tidak terlalu bergetar.

Vina melangkah mendekat, seolah ingin mencium aroma apa pun yang tertinggal dari ruangan Arfan di tubuh Ayana. "Proyek baru? Kenapa mendadak sekali? Bukannya itu proyek lama, yang Pak Arfan sendiri tangani?"

Jantung Ayana mencelos. Vina tahu. Atau setidaknya, Vina curiga.

"I-iya, Bu. Tapi Pak Arfan minta saya bantu revisi beberapa data awal. Untuk laporannya nanti." Ayana merasa seperti terpojok, mencari-cari alasan yang paling masuk akal di otaknya.

Vina mengangguk pelan, tapi matanya masih mengunci Ayana. "Begitu. Ya sudah kalau begitu. Semangat ya, Ayan. Pak Arfan memang sering kerja lembur sampai larut malam. Kamu jangan sampai ikut-ikutan. Kasihan anakmu di rumah menunggu, kan?" Kalimat terakhir itu diucapkan dengan penekanan yang jelas, sebuah peringatan terselubung.

Ayana menelan ludah. Kata-kata Vina terasa seperti jarum-jarum dingin yang menusuk kulitnya. Ia merasa disudutkan, diperingatkan, dan mungkin, sudah dihakimi. Ada kemarahan kecil yang bergejolak di dadanya, dicampur rasa malu dan takut. Tapi ia hanya bisa mengangguk.

"Terima kasih atas perhatiannya, Bu Vina," ucap Ayana, mencoba terdengar sopan. Ia buru-buru melangkah pergi, tak tahan berlama-lama di bawah tatapan mengintimidasi itu.

Sepanjang jalan menuju mejanya, pikiran Ayana berkecamuk. Ia tahu ini baru permulaan. Vina pasti akan terus mengawasinya. Tapi, apa yang harus ia lakukan? Menolak Arfan adalah bunuh diri. Menuruti Arfan adalah terjun ke dalam jurang yang entah apa dasarnya.

Ayana duduk di mejanya, mencoba fokus pada pekerjaannya, tapi bayangan Arfan terus menari-nari di benaknya. Ia memejamkan mata sesaat. Pria itu berbahaya. Senyumnya, tatapannya, caranya berbicara. Semuanya terasa seperti racun manis yang pelan-pelan merusak akal sehatnya. Ini gila. Ia harus pulang. Ia harus menolak lembur. Tapi bagaimana?

"Ayana." Suara berat itu membuat Ayana terlonjak. Arfan sudah berdiri di samping mejanya, entah sejak kapan. Ia terlihat begitu santai, seolah tidak ada yang baru saja terjadi.

"Ya, Pak?" Ayana berusaha menormalkan napasnya.

"Sudah siap? Saya tunggu di ruangan saya ya. Biar lebih nyaman dan fokus." Arfan tak menunggu jawaban. Ia hanya menatap Ayana dengan sorot yang lagi-lagi membuat Ayana merasa telanjang, lalu berbalik dan kembali ke ruangannya. Seolah-olah Ayana memang tidak punya pilihan lain.

Tidak punya pilihan. Frasa itu terus terngiang di kepala Ayana. Ia mengambil ponselnya, mengetik pesan singkat untuk Bi Narti, pengasuh anaknya, Raya. *Bi, nanti saya pulangnya telat sekali. Ada lembur mendadak. Tolong jagain Raya ya. Maaf.*

Selesai mengirim pesan itu, Ayana menghela napas panjang. Ada rasa bersalah yang menusuk, tapi juga sedikit rasa penasaran yang terlarang. Perasaan apa ini? Kenapa ia tidak bisa sepenuhnya membenci situasi ini? Kenapa ada bagian dari dirinya yang justru berdebar, menanti apa yang akan terjadi?

Ia bangkit, merapikan meja, lalu melangkah pelan menuju ruangan Arfan. Setiap langkah terasa berat, namun ada dorongan tak terlihat yang menariknya mendekat. Koridor sudah sepi. Lampu-lampu mulai dipadamkan satu per satu, meninggalkan suasana remang-remang yang terasa lebih intim dan personal.

Ketika ia sampai di depan pintu ruangan Arfan, ia ragu sejenak. Tangannya terangkat, tapi tak jadi mengetuk. Haruskah ia benar-benar masuk? Tapi terlambat. Pintu itu sedikit terbuka, dan dari celah itu, ia bisa melihat Arfan duduk di kursi kerjanya, menghadap monitor, tapi seolah tahu ia sudah di sana.

"Masuk, Ayana." Suara Arfan pelan, nyaris seperti bisikan, namun jelas terdengar di keheningan malam.

Ayana mendorong pintu perlahan, melangkah masuk. Ruangan itu terlihat berbeda di malam hari. Lampu utama dimatikan, hanya menyisakan cahaya temaram dari lampu meja dan beberapa lampu sorot kecil yang menyoroti koleksi buku dan lukisan di dinding. Aroma maskulin Arfan, bercampur dengan wangi kopi dan sedikit tembakau halus, memenuhi indra penciumannya. Ruangan itu terasa seperti kepompong, terisolasi dari dunia luar.

Arfan menoleh, senyum tipis tersungging di bibirnya. "Kemari, Ayana. Ada beberapa data yang perlu kita sinkronkan. Duduk di sini." Ia menunjuk kursi di sampingnya, terlalu dekat, terlalu personal.

Ayana mendekat, jantungnya berdebar tak karuan. Ia menarik kursi itu, duduk, mencoba menjaga jarak fisik sejauh mungkin. Tapi meja kerja itu terlalu kecil, dan Arfan terlalu dekat. Lengan mereka nyaris bersentuhan. Ia bisa merasakan kehangatan tubuh Arfan, dan itu membuatnya merinding.

"Jadi, ini datanya, Ayana. Kita perlu periksa ulang angka-angka ini." Arfan menunjuk layar monitor, jarinya nyaris menyentuh jari Ayana yang juga ikut menunjuk. Sentuhan singkat itu terasa seperti sengatan listrik, menjalar cepat ke seluruh tubuh Ayana.

Ayana menarik tangannya secepat kilat. "Maaf, Pak." Ia pura-pura batuk, mencoba menyamarkan kegugupannya. Arfan hanya tersenyum tipis, seolah menyadari reaksinya, dan itu semakin membuat Ayana salah tingkah.

Mereka mulai bekerja. Atau setidaknya, Ayana mencoba bekerja. Pikiran Ayana terus menerawang, sulit fokus pada angka-angka di layar. Otaknya sibuk menganalisis setiap gerakan Arfan, setiap tarikan napasnya yang tenang, setiap tatapan matanya yang kadang-kadang mencuri pandang ke arah Ayana.

"Kau tahu, Ayana," Arfan tiba-tiba memulai, suaranya pelan dan dalam, "kau mengingatkan saya pada seseorang."

Ayana menoleh, kaget. "Siapa, Pak?"

Arfan tidak langsung menjawab. Ia menatap Ayana lurus di mata, sorotnya lembut, namun penuh makna. "Seseorang yang sangat saya hargai. Sosok yang kuat, tangguh, dan sangat berani. Seperti dirimu."

Pujian itu, dari Arfan, membuat pipi Ayana memanas. Ia merasa malu, tapi juga ada semacam kebanggaan terlarang. Ia menunduk, mencoba menyembunyikan wajahnya.

"Jangan merendah, Ayana. Saya serius." Arfan meraih tangannya yang ada di atas meja, menghentikan Ayana yang hendak menariknya. Jemarinya yang panjang dan hangat melingkupi tangan Ayana dengan lembut, perlahan membelai punggung tangannya. Sensasi itu terlalu intens, terlalu dekat, terlalu... berbahaya.

Ayana terpaku. Seluruh tubuhnya tegang, tapi anehnya, ia tidak bisa menarik tangannya. Sentuhan Arfan terasa membakar, namun sekaligus menghanyutkan. Ia menatap mata Arfan, mencari tahu maksud di balik sentuhan itu. Apakah ini hanya basa-basi seorang atasan? Atau ada maksud lain yang lebih dalam, lebih terlarang?

Mata Arfan begitu dekat. Ia bisa melihat bayangan dirinya sendiri di sana, tercermin dalam kegelapan bola mata Arfan yang misterius. Senyum tipis masih terukir di bibirnya. Jemarinya perlahan mengusap ibu jari Ayana, membuat gelombang sensasi aneh menjalar di lengannya, naik ke bahu, lalu langsung ke dadanya. Jantungnya bergemuruh tak terkendali.

"Kau tahu, Ayana..." bisik Arfan, suaranya kini begitu dekat hingga Ayana bisa merasakan embusan napasnya di pipinya. "Ada hal-hal yang tidak bisa disembunyikan. Seperti ketertarikan ini..." Ia sedikit condong ke depan, mendekat, mendekat, seolah akan menciumnya. "...antara kita berdua."

Ayana menahan napas. Ruangan itu terasa semakin panas, semakin sempit. Ia ingin lari, tapi tubuhnya terpaku. Ia ingin berteriak, tapi suaranya tercekat. Ia hanya bisa menatap Arfan, yang kini wajahnya hanya berjarak beberapa sentimeter dari wajahnya. Arfan membelai punggung tangannya semakin lembut, tatapannya tak beralih dari mata Ayana, seolah meminta izin. Memohon. Menggoda.

"Apa... apa maksud Bapak?" Ayana berhasil bersuara, nyaris tak terdengar.

Arfan tidak menjawab dengan kata-kata. Ia hanya tersenyum lagi, senyum yang begitu manis namun penuh dosa. Matanya menatap bibir Ayana, lalu kembali ke matanya. Tangan Arfan yang lain terangkat, menyentuh pipi Ayana, mengusapnya dengan ibu jari. Sentuhan itu membuat Ayana memejamkan mata sesaat, merasakan aliran panas yang begitu kuat.

"Ayana..." bisiknya lagi, dan kali ini, suaranya benar-benar seperti racun manis yang siap merasuki seluruh indranya. Ia condong lagi, semakin dekat, begitu dekat hingga Ayana bisa merasakan napasnya beradu dengan napasnya sendiri. Bibirnya nyaris menyentuh bibir Ayana, mengambang di sana, menunggu.

Ayana tahu ini salah. Ini sangat salah. Ia janda, ia seorang ibu, ia bekerja di perusahaan keluarga mendiang suaminya. Arfan adalah paman direktur. Tapi kenapa, di momen ini, semua pikiran rasional itu seolah menguap begitu saja? Yang tersisa hanya sensasi sentuhan Arfan, aroma tubuhnya, dan keinginan terlarang yang tiba-tiba meledak dalam dirinya. Ia harus menarik diri. Tapi ia tidak bisa. Ia justru... menunggu. Menunggu apa yang akan terjadi selanjutnya. Apakah ia akan membiarkan Arfan menciumnya?

Dan Arfan semakin mendekat, menundukkan kepalanya perlahan, mata Ayana terpejam rapat, bibirnya sedikit terbuka, menanti sentuhan bibir Arfan yang hangat itu...

Tiba-tiba, suara ketukan keras dari luar pintu membuat keduanya terlonjak kaget. Pintu itu terbuka, dan...

1
zaire biscaya dite
Gw trs trg bingung dgn jln ceritanya novel ini, selain berganti2 nama para tokoh yg ada, jg perbedaan rahasia yg diungkapkan oleh Arfan kpd Ayana
Benar2 membingungkan & bikin gw jd malas utk membaca novel ini lg
panjul man09
bosan
panjul man09
sudah janda koq ,bisa memilih jalan hidup , siapa vina , bisa bisanya mengatur hidup orang .
panjul man09
siapa nama anak ayana , maya , kirana atau raka ?
zaire biscaya dite
Tolong perhatikan dgn benar ttg nama tokoh dlm novel ini, spt nama anak yg selalu berganti2 nama, Arsy, Maya, Raka, Alisha
Jgn membingungkan pembaca yg berminat utk membaca novel ini
panjul man09
mereka boleh menikah, karna mereka bukan mahrom
panjul man09
lanjuut
zaire biscaya dite
Betul, tlg diperhatikan dgn baik nama yg ada di dlm novel ini. Nama suami itu Adnan atau Daniel, nama anaknya itu Arsy, Maya, Kirana atau Raja ? Jgn smpe ceritanya bagus, tp malah bikin binging yg baca krn ketdkkonsistenan penyebutan nama tokoh di dlmnya, y
Bang joe: terimakasih atas masukannya kak 🙏
total 1 replies
Greenindya
yg bnr yg mana ya kok nama anaknya gonta ganti Kirana maya raka
Bang joe: mohon maaf atas kekeliruannya kak
total 3 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!